29 June 2007

Dengan Sinetron "Membegokan" Bangsa

WACANA bahwa acara seperti sinetron di TV telah dipakai sebagai alat untuk membodohkan bangsa ini beberapa kali saya dengar dalam acara Newsdotcom di Metro TV. Pola pembodohannya cukup canggih dan terkesan “ilmiah”. Melibatkan juga antara lain lembaga rating yang secara kontinyu mengabari kita bahwa tontonan-tontonan “sampah” seperti sinetron itulah yang ternyata menjadi suguhan yang “paling dicari” penonton.

Dengan modal rekomendasi lembaga rating itulah kemudian pihak stasiun televisi menyusun program acaranya. Lha karena sinetron adalah item yang paling “recommended”, maka banjirlah televisi kita dengan suguhan sinetron kelas “sampah” itu. Kalau kita komplein soal ini pihak televisi selalu berkilah bahwa mereka hanya bekerja mengikuti “selera pasar” yang tercermin dari hasil rating itu.

Jadi pertanyaan besarnya adalah sungguh sahihkah hasil rating itu sehingga pihak stasiun televisi harus patuh menyembahnya, dan kita pun terpaksa pula percaya bahwa kualitas intelektual penonton televisi kita sebegitu parahnya? Lebih krusial lagi adalah menjawab “apa” atau “siapa” gerangan berdiri di belakang lembaga rating yang kita sembah-sembah itu. Jangan-jangan lembaga-lembaga itu memang tidak pantas dipercaya.

Sebagai wacana, kecurigaan bahwa hasil rating itu semata akal-akalan yang pada gilirannya dimanfaatkan sebagai jembatan untuk tambah menyengsarakan bangsa ini lewat kebodohan-kebodohannya layak dicermati. Tapi haruslah wacana itu didukung hasil survey yang juga valid supaya tidak jatuh menjadi gosip yang lain lagi. Belajarlah menuduh dengan cerdas.

Saya teringat pada statemen sarkastik Syumanjaya (alm) sewaktu mengomentari situasi perfilman nasional dekade 80-an yang saat itu dibanjiri film-film “sampah” semodel “Nyi Blorong cs”. Film-film seperti itu, katanya, adalah film-film bodoh, dibuat oleh orang-orang bodoh, untuk orang-orang bodoh. Jadi, film-film “sampah”, sinetron-sinetron “tolol” ternyata memang selalu punya basis dan pendukungnya dari masa ke masa.

Hanya seberapa kukuhkah keberadaan mereka sebetulnya sehingga secara signifikan sanggup membentuk panorama televisi kita menjadi seperti sekarang, itulah pertanyaan yang masih harus dicari jawabnya. Untuk tujuan itu, memang kita tidak diharuskan percaya pada lembaga rating “anu” yang selama ini banyak dipertanyakan kebenaran hasil ratingnya itu..

27 June 2007

Bendera Parpolnya Aja Berantakan ...

TIDAK susah ternyata mengukur tingkat kepedulian seorang politikus kepada rakyat. Cukup amati saja bendera parpol politikus yang bersangkutan. Bendera, dalam pemahaman saya, merupakan representasi kelompok yang memiliki bendera itu. Karena itu bendera seharusnya digagas & didesain secara matang, dengan memasukkan selain kaidah artistik juga kaidah moral di dalamnya.

Bendera yang baik dengan begitu akan menggambarkan dengan tepat visi dan karakteristik kelompok yang mau diwakilkan dengan bendera itu. Bendera yang didesain dengan sembarangan, tanpa citra artistik yang memadai, dengan gamblang membuktikan ketidakseriusan—dan bisa jadi juga ketidakbecusan--kelompok yang bernaung di bawah bendera itu.

Dalam kaitan dengan bendera parpol, maka bendera parpol yang dibuat serampangan—dan pasti terburu-buru pula—menjelaskan kepada kita betapa tidak serius dan “sembarangan”nya parpol yang bersangkutan mengurus pekerjaan politiknya.Dan “kesembarangan” itu hanyalah bisa terjadi kalau parpol yang bersangkutan memang penuh dimuati orang-orang yang juga “sembarangan” mutunya.

Mereka inilah para petualang politik yang terus mencoba mencari peluang untuk bisa memanjat naik ke puncak kekuasaan—atau minimal berkesempatan mendapat cipratan berkah kekuasaan itu. Maka sungguh konyol dan mengerikan kalau kemudian negeri ini jatuh dalam kekuasaan kelompok petualang politik—untuk tidak menyebut mereka pencoleng—seperti mereka ini, yang bahkan membikin bendera parpolnya saja tidak becus.

25 June 2007

Blogmu adalah "Tokomu"

SAYA pernah menulis suatu kali bahwa merawat blog itu mirip dengan mengurus toko. Kalau pengandaian “blog” dan “toko” itu bisa disepakati maka kita pun bisa mencoba mencari kesepakatan faktor-faktor apa saja gerangan yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan dan keberhasilan sebuah blog, dengan mengambil analogi kasus sebuah toko. Nah, bayangkanlah sekarang sebuah toko—toko apa saja tak soal.

Pengunjung toko tentu mengharap toko yang dikunjunginya tertata rapi dan bersih. Kalau suasana tokonya gurem, acak-acakan, susunan barang tidak terpola, penjaga tokonya jutek, mana pengunjung betah datang berlama-lama ke toko itu. Suasana toko bisalah disamakan dengan theme dalam blog. Theme untuk sebuah blog mewakili spirit utama blog. Kalau theme blognya ngawur, nggak nyaman dipandang, navigasinya ruwet, mana pengunjung blog betah datang kesitu, bukan?

Pengunjung tentu mengharap juga barang dalam toko selalu baru dan masih fresh. Blog yang jarang diupdate—apalagi kalau umurnya masih bocah—akan dengan gampang ditinggal pengunjungnya. Pengunjung blog selalu mengharap mendapat kejutan, hal-hal tak terduga dari blog yang didatanginya. Maka kalau blog itu isinya cuma kabar-kabar basi atau opini yang tidak menawarkan sudut pandang baru, mereka akan kapok datang lagi.

Hal-hal lain yang dituntut dari sebuah blog adalah akurasi. Ini untuk mengimbangi subyektifitas yang menjadi ciri utama blog. Tanpa akurasi sebuah blog terancam hanya akan menjadi tempat sampah, atau seperti toko yang menjual barang-barang dengan merek palsu. Motto “pembeli adalah raja” juga berlaku dalam dunia blog. Sering pengunjung menuntut hal-hal yang kelewat ideal—seraya lupa bahwa seorang pemilik “toko” juga hanya manusia biasa. Tapi nggak ada jalan lain kecuali mencoba memuaskan “libido” mereka sebisanya kalau kepingin blog kita awet.

Sekarang, silakan berkunjung ke Kampung Blog atau Blog Indonesia. Blog-blog yang selalu nangkring sebagai blog papan atas di sana mestinya blog-blog yang sudah memenuhi persyaratan sebuah toko yang berhasil. Kalau ternyata tidak begitu, yah itu artinya tulisan ini ternyata ngawur. Atau, hasil pemeringkatan blog di dua situs itu tidak sepenuhnya valid dan obyektif?

22 June 2007

Tahyul Anjing dan Kucing

KALAU anda penyuka hewan anjing atau kucing, memelihara salah satu atau salah duanya, dan anda tergolong orang yang lumayan peduli juga pada "tahyul" seputar dua jenis hewan itu, sebaiknya anda perhatikan tulisan ini. Kalau tidak, ya cukup jadi pendengar eh pembaca saja. Siapa tahu ada manfaatnya juga.

Kalau anda pemgamat setia "tahyul" dunia perhewanan pastilah anda sering, atau minimal pernah mendengar omongan bahwa memelihara kucing itu katanya berpengaruh baik pada rejeki kita. Hanya saja mungkin tidak semua kita paham alasan "logis" apa yang ada di belakang "nasehat" itu. Konon juga katanya, kalau harus memilih memelihara anjing atau kucing, sebaiknya hewan kedualah yang dipilih.

Nah, inilah ternyata alasannya. Kucing itu konon hewan yang resik, suka tempat yang bersih. Kucing, kata sang empunya cerita, selalu bermimpi bisa tidur di atas kasur yang empuk dan hangat. Karena itu kucing selalu rajin berdoa supaya majikannya tambah makmur dan kaya. Lha, kalau majikannya kere terus, kapan bisa kesampaian angan-angannya itu, bukan?

Bagaimana dengan anjing? Anjing, juga kata sang empunya kisah, adalah jenis hewan yang rakus dan sudah begitu sering berangasan. Apa yang selalu dipikirkannya adalah bagaimana bisa makan kenyang, dan menu favoritnya--anda mungkin sudah tahu--adalah tulang. Maka anjing, masih kata sang empunya cerita, diam-diam rajin berdoa supaya majikannya "cepat mati". Lho? Ya, supaya ia pun bisa segera menyantap tulang-tulangnya.

Nah, sekarang tinggal terpulang pada anda. Mau tetap sayang sama si Doggie, atau lebih memilih kelonan dengan si resik Cattie. Mau cepat mati--dan nggak bisa ngeblog lagi hehehe--apa mau cepat kaya, seraya bisa terus tetap ngeblog tiap hari. Silakan mulai merenungkannya.

20 June 2007

Mentang-Mentang Mayoritas

BELUM lama ini saya membaca di sebuah koran ibu kota berita tentang perlakuan diskriminatif yang dipertontonkan penguasa dan sekelompok publik di negeri Abang Sam terhadap kelompok muslim di sana. Disebutkan dalam berita itu jumlah pengaduan atas tindakan diskriminatif kepada mereka--pasca 11 September 2001--terus meningkat sampai di atas 20 persen (Kompas, 16 Juni 2007).

Sewaktu membaca berita itu saya langsung teringat pada perlakuan berat sebelah yang juga sering diterima kelompok minoritas di negeri kita sendiri. Mendadak saya pun sadar bahwa praktek-praktek diskriminatif ini ternyata bersifat universal, bukan menjadi monopoli kelompok etnik, ras atau keyakinan tertentu saja.

Pada diri setiap manusia--mungkin juga pada setiap mahluk?--rupanya ada kecenderungan untuk selalu mau ber "show of force", dan kecenderungan itu kemudian seperti mendapatkan "pembenaran" manakala ia beruntung terhisap ke dalam kelompok mayoritas, yang mengantarnya pada posisi "aman" dan "sah" untuk memaksa pihak sana, yang kebetulan monoritas, menuruti apa maunya.

Naluri "mentang-mentang mayoritas" ini sangat kelihatan pada saat bocah. Dan rupanya tidak semua naluri "beast" itu bisa dihilangkan sewaktu kita berangkat dewasa. Setiap kita rupanya punya potensi untuk selalu gagal menetralisir naluri agresif itu, tidak peduli apa warna kulit, atau merek keyakinan kita. Tidak setiap kita berhasil keluar dari kurungan atmosfir "kebocahan" yang jadi penanda awal kehadiran kita.

Umur kita boleh saja bertanbah, tapi perilaku kita bisa saja terus "mboys". Itulah yang dipertontonkan sekelompok publik Amerika di awal tulisan ini, dan itu juga yang kerap dipamerkan oleh kelompok mayoritas dari agama tertentu di republik tercinta kita ini.

17 June 2007

Ringkas + (Kalau Bisa) "Cerdas"

MENULIS berpanjang-panjang memiliki resiko, karena menulis bukan sekedar kerja menyambung-nyambung kata. Tema yang hebat belum tentu bisa jadi tulisan yang hebat juga. Itu sangat tergantung pada bagaimana cara sang koki meramu tema itu. Salah satu soal yang dihadapi sang koki adalah bagaimana menjaga ritme tulisan. Dan menjaga ritme itu sangat bergantung pada ketahanan stamina atau mood kita. Penulis yang baik tahu menakar seberapa fit stamina dan moodnya.

Untuk amannya—dalam kaitan dengan blog, kalau boleh saya menyarankan--sebaiknya memilih menulis ringkas, daripada berpanjang-panjang kemudian kedodoran di tengah jalan dan tulisan berujung pada kehambaran. Lagi pula konon tulisan pendek lebih digemari pembaca blog yang maunya serba cepat dan mudah. Tulisan pendek dengan begitu lebih punya peluang untuk dibaca.

Itulah mungkin formula yang bisa disarankan untuk penulisan di blog. Tulisan yang ringkas tidak mesti kalah bermutu dengan tulisan panjang, asal saja syarat kedua, yaitu tulisan itu juga“cerdas”, dipenuhi pula. Menulis ringkas dan padat itu masalah teknis belaka, kalau kita rajin berlatih mencobanya lama-lama kita akan terbiasa dengan gaya itu.

Tapi membuat tulisan itu juga kelihatan “cerdas”, lebih repot urusannya. Catatan ringkas ini tidak memiliki jawabannya. Catatan ringkas ini tidak berpretensi mengajari anda dengan berpura-pura hebat seraya menyodorkan resep atau obat-obat palsu. Rasanya, untuk urusan ini anda mesti mencari sendiri resep dan obatnya.

14 June 2007

Menulis dengan Gairah

WAJIB setor tulisan 3 kali seminggu adalah salah satu aturan main yang diterapkan AsiaBlogging kepada para blogger yang mereka rekrut. Maksud aturan ini barangkali untuk menegaskan bahwa ngeblog adalah sebuah perkara serius, bukan main-main--meskipun "bermain-main" menjadi salah satu daya-tarik ngeblog. Membuat tulisan bagus bagi sebagian orang mungkin bukan urusan sulit, tapi menjaga kosistensi untuk tetap menulis secara teratur sungguh bukan pekerjaan gampang.

Sekiranya saya ada dalam posisi sebagai penulis AsiaBlogging, maka saban minggu saya harus selalu menyiapkan 9 tulisan. Kenapa sembilan? Karena saya juga harus mengudapte 2 blog saya sendiri. Aturan wajib setor 3 kali seminggu itu memang sudah lama saya paksakan juga dalam blog saya. Jadi untuk masing-masing blog itu harus selalu disiapkan 3 tulisan fresh setiap minggunya. Apa mungkin ya?

Alhamdulilah untuk 2 blog selama ini "setoran" berjalan lancar, meskipun kadang ngos-ngosan juga memenuhinya. Tapi misalkan harus ditambah 3 tulisan lagi--karena saya ceritanya penulis di AsiaBlogging--kayaknya mendingan saya buru-buru angkat tangan. Menulis memang sebuah "ritual" yang mengasyikkan, tapi kalau kemudian "ritual" itu dibebani terget jumlah, plus ada juga tenggat waktu yang mesti dipatuhi, rasanya menulis berubah jadi kewajiban yang nggak menarik lagi..

Menulis baru terasa sedap kalau dilakukan dengan wajar, kalau prosesnya berjalan natural, tidak diuber-uber tenggat , dan kalau tema atau topiknya tidak juga dibatas-batasi. Menulis dengan passion, dengan gairah, dalam kasus saya, hanya bisa terjadi kalau persyaratan di atas dipenuhi. Maka kalau dipaksa memilih mungkin saya tetap tidak akan rela menukar kenyamanan menulis secara alami itu meskipun dengan sejumlah imbalan honor umpamanya. Kecuali kalau honornya gede banget hehehe.

12 June 2007

Tidak Ada yang "Kebetulan"

MARI kita bicara sedikit perihal "sang kebetulan". Kita mulai dengan sejumlah contoh yang "kebetulan" saya ingat saat ini : "Kebetulan saya bekerja di perusahaan ini", "Kebetulan saya seorang penulis", "Kebetulan saja saya kenal padanya", "Kebetulan tadi pagi saya terlambat bangun jadi bisa ketemu kamu pas berangkat", atau "Kebetulan saya terlahir miskin", lagi "Kebetulan waktu itu presidennya masih pak Harto", dan seterusnya.

Kalau kita menyebut "kebetulan" tentu jelas maksudnya ada sebuah atau serangkaian kejadian atau peristiwa yang sudah terjadi "begitu saja" tanpa kita merencanakannya lebih dulu. Ada orang yang percaya bahwa kehidupan ini terjadi dan tersusun dari serangkaian peristiwa kebetulan. Aduh, jangan-jangan dulu Tuhan juga mencipta karena kebetulan?

Tapi betulkah begitu duduk soalnya? Kita comot saja pernyataan "kebetulan" yang pertama di atas. Kalau kita setuju pada paham "kebetulan-isme" itu berarti "saya" dalam contoh pernyataan di atas berada dalam kondisi 'tertidur pulas' atau 'pingsan', lalu sekonyong-konyong "saya" mendusin dan mendapatkan dirinya "sedang bekerja di perusahaan ini". Padahal tidak begitu, bukan?

Tapi bagaimana menjelaskan begitu banyak "kebetulan" lain yang ada di sekitar kita, dan begitu banyak "kebetulan" yang juga terjadi pada kita masing-masing? Musti buru-buru dikatakan dulu bahwa tidak akan pernah ada jawaban memadai untuk itu. Hidup akan tetap tinggal sebagai teka-teki. Pada suatu hari kita lahir, pada suatu hari kita menjadi tua, lalu pada suatu hari yang lain kita pun mati--siklus itu berlangsung kekal dan tak pernah ada jawaban memadai tentangnya, bukan?

Kecuali kalau kita, dengan segala kerendahan hati, mau mengakui segala "keterbatasan" kita, lalu dengan sepenuh hati berpaling kepada yang "tidak terbatas" di luar kita. Terserah anda mau menamakan yang "tak terbatas" itu "Apa" atau "Siapa". Hanya jika kita sungguh mau berpaling, maka "yang tak terbatas" itu akan membimbing dan meyakinkan anda bahwa tidak pernah ada yang "kebetulan" dalam hidup anda.

10 June 2007

Blog Sederhana nan Menawan

ADA banyak sekali blog yang saya suka dan secara rutin saya sambangi. Biasanya faktor tampilan blog menjadi daya tarik pertama yang membetot perhatian saya. Ini mungkin lumrah dan manusiawi ya. Seperti kita biasanya naksir buku dari “cover”nya dulu. Urusan blog juga mirip. Baru kalau tampilannya “oke” jeroannya mulai saya korek-korek. Nah, blog yang bisa menjaga keseimbangan antara “kemasan” dan “jeroan”nya itulah yang kemudian saya pacari dengan serius.

Ada sebuah blog yang sebetulnya tidak memenuhi syarat keseimbangan itu, tapi anehnya begitu memesona saya. Meskipun “tidak seimbang” tidak ragu-ragu saya menjadikannya salah satu “pacar” saya. Tampilan blog ini sederhana sekali. Templatenya juga memakai template pinjaman, alias gratisan, dan tidak dimodifikasi sedikitpun.

Hampir tak ada pernik dan hiasan sama sekali. Hanya ada tiga. Yang pertama adalah penunjuk Page Rank (PR), foto sang blogger, dan penanda keikutsertaan pada Blogshares Listed. Pun tak ada Blogroll samasekali, apalagi shoutbox segala. Jadi bisa saja lantas timbul kesan ini orang “sok” dan “pede betul” ya.

Blog ini sungguh secara konsisten sudah mempraktekkan jargon “konten adalah raja” sebagai penopang mati hidupnya. Tapi lucunya--atau tidak lucu ya?--jadwal postingya nggak teratur, kadang sebulan cuma ada satu atau dua tulisan baru. Ini kalau menurut suhu Cosa Aranda tentu tidak bisa dibenarkan, karena jadwal update konten yang sembarangan diyakini akan “merusak” hubungan harmonis antara blog dengan mesin pencari.

Tapi blogger kita yang satu ini tampaknya tak peduli amat dengan segala tetek bengek jurus-jurus SEO itu. Kesan percaya dirinya menonjol kuat sekali. Dan buktinya, walaupun sepertinya tak ambil pusing dengan SEO-SEO-an , nilai PR blognya termasuk tinggi untuk ukuran blog di Indonesia umumnya. Nah, sebagian dari anda mungkin sudah bisa menebak blog dan blogger yang saya maksud. Kalau masih belum ngeh juga ya sudah silakan klik aja di sini.

08 June 2007

Ngeblog Dibayar di AsiaBlogging

SESUDAH bikin geger dengan keputusannya keluar dari Tempo dan menjadi full Blogger, Budi Putra bersama "geng"nya kembali membikin gebrakan dengan meluncurkan Jaringan Blog Asia atau AsiaBlogging beberapa hari yang lalu. Saat ini sudah terkumpul 70 blog di jaringan itu, semuanya blog lokal. Ke depan akan dibuka juga kesempatan untuk blog dari luar, khususnya dari Asia.

Saat ini AsiaBlogging tengah mencari penulis untuk direkrut menjadi permanent blogger yang bertugas menulis secara rutin di situs itu. Tersedia sejumlah kategori yang bisa dipilih : teknologi, sains, musik, film, sastra, dan beberapa lagi. Penambahan kategori masih sangat terbuka apabila memang diperlukan.

Yang agaknya merupakan langkah terobosan besar adalah bahwa AsiaBlogging menyediakan honor bulanan untuk penulis yang berkiprah di sana. Keikutsertaan seorang blogger diatur dalam kontrak yang akan dievaluasi setiap tiga bulan. Kalau dinilai "konduite"nya bagus, umurnya di jaringan akan diperpanjang. Menarik bukan? Nah kalau kesengsem dan butuh informasi lebih lengkap datangi saja blognya Budi Putra, atau bisa langsung tancap ke AsiaBlogging.

06 June 2007

DPR atau "Dewan Pengibul Rakyat"

SEPAK terjang anggota DPR sudah lama bikin mual saya—mungkin anda juga merasa begitu? Di zaman Orba dulu mereka dikenal sebagai tukang stempel pemerintah, yang kerjanya cuma 4 D alias “datang, duduk, diam, duit”. Satu-satunya kata yang mereka tahu dan berani mereka ucapkan di ruang sidang adalah “setuju”. Ini sungguh beda dengan anggota DPR yang sekarang, yang sebentar-sebentar menjerit “interupsi!”—mungkin sembari dengan gagah mengebrak meja dan menaikinya. Seolah mereka mau bilang “saya menginterupsi, karena itu saya ada.”

Satu-satunya hal yang masih bisa “menghibur” saya adalah kenyataan bahwa saya dulu tidak ikutan nyoblos waktu Pemilu. Jadi kalau ada teman yang pada ribut memasalahkan perilaku aneh-aneh anggota DPR, saya bisa bilang dengan sedikit “bangga” bahwa “saya dulu nggak ikut memilih, jadi saya nggak ikut bertanggung jawab dengan kualitas anggota DPR kita yang ancur-ancuran begitu.” Ternyata keputusan saya dulu memilih menjadi golput tidak keliru.

Penamaan “TK” alias Taman Kanak-Kanak oleh Gus Dus ke alamat anggota parlemen sungguh tidak keliru. Tapi mungkin boleh juga kita menambahnya beberapa lagi mengingat perilaku dan “prestasi” TK Senayan ini memang sangat fenomenal. Bagaimana kalau misalnya DPR itu kita sebut saja kependekan dari “Dewan Pengibul Rakyat”? Faktanya kerja mereka sejauh ini memang hanya mengibuli rakyat yang sudah susah payah memilih mereka, bukan?

Bagaimana kalau “Dewan Penjarah Rakyat”, atau lebih halus sedikit “Dewan Penilep Rakyat”? Koran Tempo hari ini dalam portalnya memberi masukan baru, yaitu “Dewan Pembuat Ribut”. Lagi-lagi tidak salah, karena faktanya memang DPR ini kerjanya cuma ngeributin soal-soal yang sering nggak jelas urgensinya buat orang banyak. Misalnya, ribut-ribut interpelasi resolusi PBB atas Iran itu.

Daripada ngurusin Iran—yang juga kagak ngurusin kita—bukankah lebih “merakyat” dan elegan kalau mereka meributkan saja urusan lumpur Lapindo, kelangkaan minyak goreng, atau kisruhnya distribusi beras murah buat orang susah? Tapi barangkali di mata para “siswa-siswi” TK Senayan urusan beginian tidak tergolong “high politics”, jadi tidak perlulah dijadikan prioritas dan diributkan.

03 June 2007

Thank You Mr Agregator!

POPULASI blog terus bertambah setiap harinya. Blog yang terdaftar pada Technorati saja saat ini sudah di atas angka 70 juta. Belum ada data akurat berapa jumlah blog di Indonesia sekarang, tapi menurut Enda Nasution jumlahnya tidak akan jauh dari angka 100.000. Dengan populasi sepadat itu jelaslah bukan pekerjaan gampang dan menyenangkan mencari dan menemukan blog yang kita anggap bagus.

Situasi seperti inilah yang kemudian mendorong lahirnya situs-situs agregator seperti Merdeka Agregator, Planet Terasi, Planet Blogger, dan beberapa lainnya. Sayangnya situs-situs ini terkesan angkuh dan kurang suka gaul. Merdeka Agregator, umpamanya, sangat selektif dalam menerima anggota—dan saat ini sedang tidak butuh anggota baru. Kelihatannya juga hanya mereks yang sudah dianggap “blogger besar”lah yang diperkenankan jadi anggota.

Untunglah tidak semua situs agregator suka “jual mahal” dan “sok hebat” seperti itu Masih ada, misalnya, Blog Indonesia. Situs agregator yang masih tergolong baru ini, menerima siapa saja yang mau gabung. Saat ini di sana terdaftar sekitar 3.600 blog dan yang sedang dalam proses antre 200-an blog. Fitur-fitur yang disediakan lumayan lengkap dan menarik, dan sangat membantu kalau kita niat berburu blog yang kita anggap bagus.

Di luar Blog Indonesia saya menemukan Microsia, juga sebuah agregator yang lumayan lengkap fiturnya, dan kayaknya juga tergolong masih fresh alias baru. Berbeda dengan agregator lain yang “memaksa” kita mendaftar dulu sebelum bisa ikutan mejeng, Microsia Agregator tidak menyuruh kita ngapa-ngapain. Merekalah yang diam-diam memantau aktivitas blog kita, dan misalnya ada tulisan bagus, mereka akan memboyong tulisan itu ke situs mereka, dengan mencantumkan juga alamat blog kita di sana.

Dua tulisan saya—tentang blog FPI dan Arswendo--belum lama ini terpilih mejeng di halaman Microsia. Bagi saya ini sebuah stimulus yang lumayan berarti. Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sini adalah bahwa tulisan bagus ternyata juga bisa kita temukan di blog yang “kurang terdengar”, yang bloggernya “gurem”, “ndusun”, dan bukan seleb, kayak gue ini. Dan untuk menemukan yang seperti itu besarlah peranan sehuah situs aggregator. So, thank you Mr Agregator!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...