29 July 2007

Apakah Tuhan Ikut Bermain Bola?

PENJAGA gawang sudah hilang posisi, gawangnya menganga terbuka, tinggal satu sontekan enteng dan akan tercipta gol. Tapi secara ajaib bola malah membentur tiang gawang dan gol pun batal. Kalau anda penggila bola momen semacam itu pasti tidak asing buat anda. Apakah yang sebetulnya terjadi? Sebuah kesialan? Sebuah mujizat? Relavankah kalau Tuhan kita bawa-bawa dalam urusan ini?

Ketika terjadi drama adu penalti antara Jepang melawan Australia dalam perempat final Asian Cup belum lama ini kamera televisi beberapa kali menyorot pelatih Australia, Graham Arnold. Apa yang kita lihat adalah bahwa sang pelatih itu sedang menunduk sembari mulutnya komat-kamit. Ah, dia boleh jadi sedang berdoa. Pada momen genting itu, Tuhan dimintai bantuanNya supaya gawang Australia tidak jebol.

Presiden SBY pun secara khusus meminta “seluruh rakyat” membantu dengan doa supaya tim nasional sepak bola kita sukses membuat sejarah dalam forum Asian Cup tahun ini. Menpora Adhyaksa Daud juga melakukan hal yang sama. Dan saya percaya bahwa banyak dari kita yang sungguh-sungguh berdoa untuk kemenangan tim nasional kemarin.

Kesimpulan apa yang bias ditarik dari paparan di atas? Mungkin setidaknya ada dua hal. Kabar baiknya adalah bahwa banyak dari kita ternyata masih percaya adanya “tangan tersembunyi” di tengah timbunan persoalan kita, dan kita pun percaya bahwa “beliau” sudi dimintai tolong. Dan kita memang tidak diharamkan malu melakukannya.

Kabar buruknya adalah bahwa pemahaman kita padaNya masih begitu naifnya. Sebagian besar kita tampaknya hanya ingat padaNya saat kepepet. Dan lebih konyol lagi, kita cenderung memperlakukannya sebagai, maaf, “pesuruh”, atau “algojo” guna pemuasan hasrat mau menang sendiri kita sendiri. Kita sering kecewa—mungkin juga mengomel—kalau merasa permohonan kita tidak terpenuhi. Kita kerap lupa bahwa Dia memang bukan “pesuruh” gajian kita.

Nanti malam, saat tim Arab Saudi berlaga melawan Irak dalam final Asian Cup 2007, marilah kita tidak mendoakan kemenangan atau kekalahan salah satu tim itu. Biarlah “sang tangan tersembunyi” bermain dengan leluasa. Kita cukup duduk dengan berdebar menunggu kesudahannya.

26 July 2007

Let's Blog Walking

BERKUNJUNG atau bersilaturahmi ke blog lain—istilah “kampung”nya Blog Walking--adalah salah satu kebiasaan yang banyak dianjurkan. Berkunjung—dengan niat tulus bertamu, atau sekedar “setor muka”—adalah bagian dari kegiatan ngeblog yang asyik, meskipun kadang bisa saja kita kecewa karena kunjungan itu tak membuahkan hasil. Misalnya, karena blog yang kita datangi sudah lama tidak diupdate, sehingga “jauh-jauh datang” kita hanya dapat suguhan “basi”.

Lewat silaturahmi ini kita pun boleh berharap akan mendapat kunjungan balik. Jadi blog walking adalah salah satu kiat yang juga bisa diandalkan untuk menambah jumlah kunjungan ke blog kita—meskipun ada sebagian blogger—biasanya blogger yang telanjur merasa sudah “hebat”--menganggap kunjungan balik ini bukan “wajib”, melainkan hanya “sunnah” saja hukumnya. Dan penafsiran seperti itu sah-sah saja.

Selain dari itu, berkunjung ke blog lain adalah juga salah satu trik yang sangat dianjurkan apabila kita sedang kehabisan ide tulisan. Sembari bertamu kita bisa diam-diam mengintip tulisan apa yang digarap di blog tetangga. Kita bisa mencoba mencari celah yang luput tidak digarap dalam tulisan itu.

Atau kita bisa mencoba mencari dan mendapatkan sudut pandang lain dari tema yang digarap teman kita itu, kemudian dengan bekal itu kita kembali ke blog kita untuk “menuntaskan” ide tulisan yang belum terselesaikan di blog tetangga kita itu. Yah, ada banyak cara sebetulnya untuk menjaga supaya sajian di blog kita tidak jadi basi. Artikel ini pun saya dapat dari hasil “setor muka” ke sebuah blog tetangga.

22 July 2007

Pilkada Jakarta dalam Ancaman Golput

PILKADA DKI sudah di depan pintu. Kalau tak ada aral luar biasa hajatan yang baru pertama kali diadakan di ibu kota itu akan digelar 8 Agustus 2007 nanti. Tapi meskipun sudah tinggal pukul gong untuk dimulai, suasana di Jakarta masih relatif adem ayem. Mungkinkah itu karena hajatan sepak bola Piala Asia—yang saat tulisan ini disusun masih berjalan—jauh lebih menarik perhatian warga?

Lepas dari urusan sepak menyepak bola itu, Pilkada DKI mungkin memang bukan dagangan yang menarik bagi sebagian besar warga Jakarta. Koran Tempo Jum’at, 20 Agustus 2007 memuat perkiraan pemilih yang akan mengambil sikap “golput” dalam Pilkada ini mencapai 65% (survey LSI).. Apa penyebab tingginya angka “golput” itu? Koran itu menyebut faktor ketidakberesan administratif—registrasi pemilih yang berantakan--sebagai penyebab utamanya.

Faktor lain adalah karena warga rupanya menganggap “betapa tidak menariknya” calon yang tersedia untuk dipilih. Survey itu menyebut juga misalnya bahwa kelompok “terpelajar” dan “kaya” tidak menganggap hajatan ini perlu apalagi penting. Tapi, sikap apatis warga mungkin sekali bukan hanya terjadi di level “pintar” dan ‘kaya”. Sangat boleh jadi perilaku apatis itu sudah merembes ke level “bawah” pula. Karena merekalah sejatinya yang selama ini paling merasakan perlakuan “diskriminatif” penguasa.

Jadi, kalau dulu Arief Budiman cs harus bersusah-payah mengampanyekan Gerakan Putih alias “golput” ini supaya mendapatkan massa pengikut yang signifikan jumlahnya, kini tanpa harus disuruh-suruh, dibujuk, apalagi dipaksa, “golput” sebagai “ gerakan”, pun sebagai “dagangan” sudah tak bisa lagi dipungkiri eksistensinya. Dan mestinya ini menjadi bahan belajar buat penguasa bahwa rakyat sudah tidak gampang lagi dikibuli. Berjayanya “golput” membuktikan betapa gawatnya tingkat kekecewaan mereka.

18 July 2007

Bagaimana Anda Marah?

ADA banyak cara atau trik untuk menilai kualitas pribadi seseorang. Misalnya kita bisa langsung menerka kualitas seseorang dari bobot pertanyaan yang diajukannya. Orang-orang dengan kualitas “A” niscaya hanya akan mengajukan pertanyaan yang mutunya “A” juga, yang biasanya membuat kita terhenyak mendengarnya. Nah, kalau Anda tidak mau diperlakukan sepele, hati-hatilah dalam mengajukan pertanyaan.

Sudah barang tentu kualitas seseorang juga bisa diukur dari cara yang bersangkutan menjawab pertanyaan. Orang-orang dengan kualifikasi “A” biasanya juga menyodorkan jawaban-jawaban yang kelas “A” juga. Semakin “sembarangan” dan “tidak nyambung” jawaban kita, semakin “sembarangan” juga orang lain akan memperlakukan kita. Jadi, bertanya dan menjawab itu bukan perkara asal mengeluarkan suara atau bunyi—seperti dengan fasih diperlihatkan banyak pejabat kita.

Kita juga bisa menakar kualitas pribadi seseorang dari caranya mengekspresikan kemarahan. Sungguh menarik menyimak bagaimana masing-masing orang melepaskan hawa amarahnya. Ada yang kalau marah jadi bungkam seribu bahasa, berhari-hari lagi. Sebaliknya ada yang kalau marah bukan cuma mulutnya yang “rame” tapi tangannya ikut membantu.marah-marah. Misalnya dengan merusak, melempar, menggampar, dan sebagainya.

Tentu saja kita tidak bisa selalu merekayasa dan mengatur ekpresi marah kita. Masing-masing kita agaknya sudah “ditakdirkan” punya gaya marahnya sendiri-sendiri. Berbahagialah bila Anda dikarunia kemampuan untuk marah dengan tetap bisa santun. Sehingga orang yang Anda marahi alih-alih ikut sewot—atau ketakutan--malah jadi takluk, menyerah tanpa syarat. Saya kepingin sekali bisa seperti itu—marah tapi bisa tetap mesem--tapi bagaimana ya cara latihannya …

15 July 2007

Blog Munggur : White as Milk

SAYA mengenal blog Munggur ini via Technorati karena ada sebuah artikel blog itu melink ke blog saya. Sudah sejak kunjungan pertama terus terang saya kepincut oleh blog ini. Dengan mengusung tema white as milk, Munggur hadir dengan tampilan yang didominasi warna putih bersih, bersahaja, tanpa harus kelihatan “miskin” dan garing.

Dari jenis kontennya, Munggur adalah jenis blog yang tidak niche, malah full gado-gado. Munggur agaknya penjelajah yang tak kenal lelah. Setidaknya ada 15 tema yang menjejali blog itu. Bisa disebut di sini misalnya : bahasa, internet, berita, blog, jalan2, komputer, teknologi, dan beberapa lagi. Munggur juga “menolak” menghiasi blognya dengan image dan pernik aneh-aneh. Ah, pastilah ia salah satu penganut fanatik jargon “content is the king”.

Yang juga bagi saya luar biasa adalah Munggur menulis begitu banyak. Blog ini mulai digelar September 2006, jadi umurnya belum lagi setahun, tapi jumlah postingnya kalau tak salah hitung sudah tidak jauh dari jumlah 400. Posting terbanyak terdapat pada Mei 2007, sebanyak 89 artikel. Itu artinya seharinya Munggur menulis sekitar 2 ½ tulisan pada bulan itu. Gile betul …

Bagaimana dengan kunjungan? Statistik blog itu mencatat jumlah 42.705 kunjungan ketika tulisan ini disusun. Bagi saya ini juga prestasi fantastik setidaknya kalau dibandingkan dengan situs saya sendiri yang sama-sama launching September 2006 tapi hingga saat ini baru didatangi 3000-an pengunjung.

Berada di blog ini sungguh saya bisa merasakan “nikmatnya ngeblog”. Dan jika Anda selama ini sungguh mendambakan kehadiran seorang passionate blogger, saya tak ragu lagi menganjurkan agar Anda segera mendatangi halaman Munggur, sebuah blog “where the idea and opinion flow without limitation”.

11 July 2007

Masih Percaya Mujizat?

MASIHKAH anda percaya pada “mujizat”? Jawaban anda atas pertanyaan itu sangat tergantung pada pemahaman anda tentang apa itu “mujizat”. Ya, apa sebetulnya “mujizat”? Bagi kebanyakan orang kata itu akan membawa pada pengertian sesuatu yang dalam takaran akal sehat adalah “mustahil”. Mujizatlah namanya apabila seorang yang sudah divonis dokter bakal “lewat”, umpamanya, ternyata malah bugar kembali.

Persepsi kita tentang “mujizat” adalah seperti itu. Mujizat adalah sebuah atau serangkaian peristiwa yang “melawan akal sehat”, atau lebih spesifik lagi, mujizat adalah sebuah peristiwa yang spektakuler. Seperti kisah laut yang terbelah dua dalam Perjanjian Lama sewaktu iring-iringan orang Israel diuber-uber bala tentara Fir’aun, misalnya. Atau seperti ketika Sang Guru mengubah air menjadi anggur dalam sebuah pesta pernikahan.

Pemahaman “mujizat” sebagai sebuah atau serangkain kejadian yang “spektakuler” dan melawan akal sehat, sebetulnya tidak salah samasekali. Masalahnya adalah kejadian atau peristiwa apa sajakah yang layak disebut “spektakuler” dan “melawan akal” itu? Kalau persepsi kita terkurung pada model cerita lama seperti dicontohkan di atas, kita akan tidak ragu mengatakan bahwa zaman “mujizat” kini sudah lewat.

Untunglah zaman “mujizat” dengan sebenarnya memang belum lewat. Yang “melawan akal” dan yang “spektakuler” masih terus berlangsung setiap hari. Masalahnya adalah kebanyakan kita sudah menjadi begitu tumpul untuk bisa merasakan itu. Banyak dari kita bangun setiap pagi seraya mengeluh karena merasa segalanya masih sama, atau bertambah buruk—tanpa pernah menyadari bahwa “mujizatlah” namanya kalau kita masih bisa mendusin dari tidur kita, lantas masih bisa bebas pula menyedot oksigen tanpa dimintai bayaran.

06 July 2007

Pasang Iklan di Blog

MEMASANG iklan dalam blog adalah hal yang sudah jamak dilakukan banyak blogger. Menjadikan pekerjaan ngeblog sebagai cara mendapatkan tambahan penghasilan—lewat iklan yang dipajang di blog itu--bahkan menjadikan itu sebagai pilihan bisnis utama, juga bukan perkara baru lagi. Tapi karena saya sungguh masih “anak kemaren sore” dalam urusan ngeblog, memasang iklan menjadi sebuah urusan “besar” buat saya.

Pada awal mula ngeblog dulu, memasang iklan tidak masuk agenda samasekali. Ketika itu kalau ada orang yang nyasar berkunjung saja senangnya sudah bukan main. Pada fase selanjutnya saya terobsesi pada cara bagaimana supaya bisa “mengakali” mesin pencari agar apa yang sudah ditulis di blog bisa selalu tampil pada halaman depan sewaktu kebetulan ada yang mencarinya.

Lalu ketika memutuskan untuk ikut ber-iklan ria jujur saja motivasi saya adalah uang. Anehnya, sewaktu mengambil putusan itu saya sedikit mengalami “konflik” di dalam diri. Mendadak saya merasa seperti “berkhianat” sudah meninggalkan spirit ngeblog yang “murni”. Kasarnya saya sempat merasa sudah “melacur” dengan melakukan pemasangan iklan di situs saya itu. Untunglah tidak berlama-lama saya terkurung dalam “kebimbangan” moral itu.

Bukankah pemasangan iklan itu hanya bisa sukses menghasilkan uang apabila jumlah kunjungan ke situs kita bisa tetap bagus. Dan kunjungan yang bagus itu hanya bisa dicapai melalui updating konten yang tetap konsisten mutu dan juga jumlahnya. Jadi dilihat dari sudut pandang ini, memasang iklan di blog sebetulnya tidak harus menimbulkan pertengkaran batin apa pun. Iklan dan spirit “murni” ngeblog ternyata tidak bertentangan, malah saling menunjang.

04 July 2007

Kesombongan Institusi

BELUM lama ini beberapa puisi saya dimuat sebuah koran ibukota. Karena pemuatan di koran tersebut sudah beberapa kali terjadi saya segera bisa menduga-duga berapa jumlah honorarium yang bakal saya terima nantinya. Sewaktu transfer honor dari koran itu masuk ternyata jumlahnya jauh di bawah yang saya perkirakan.

Sedikit heran dan penasaran saya pun iseng menyurati koran tersebut, menanyakan dengan baik dan santun perihal honor yang jauh di bawah perkiraan itu. Seraya berharap memang ada kekeliruan dari pihak koran itu sehingga masih ada tambahan uang masuk buat saya.

Tapi sampai tulisan ini dibuat koran itu tidak juga menjawab pertanyaan saya. Padahal, menurut pikiran saya yang suka naif ini, apa susahnya sekedar mengetikkan beberapa kalimat menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi, lalu mengirimnya by e-mail. Menurut saya itu pekerjaan yang sangat mudah, tidak merepotkan, dan malah bakal mengundang respek—ya minimal dari saya.

Tapi koran besar itu agaknya punya pertimbangan lain, dan memutuskan tidak menjawab saja pertanyaan sepele itu. Menurut saya, yang suka naif, itu adalah bukti “kesombongan” kepada sesosok “person” yang notabene memang tak punya power apa pun—kecuali mungkin “power of ngomel”. Marilah kita namakan ini kesombongan institusi. Huh.

01 July 2007

Supaya Tidak Kehabisan Ide Tulisan

PENYAIR Joko Pinurbo punya kebiasaan ke mana-mana mengantongi sebuah buku catatan kecil—sebagian kita mungkin terbiasa menyebutnya notes—yang digunakannya untuk mencatat apa saja yang menarik perhatiannya. Mungkin itu ide atau tema, atau gagasan yang sekonyong muncul di kepala, atau apa sajalah yang dianggapnya penting untuk nantinya digarap menjadi sebuah tulisan utuh. Saya pernah menyebut ini sebagai gaya penyair "pengrajin".

Tidak dinyana kebiasaan “sepele” itu—mengantongi notes ke mana-mana—ternyata juga dilakoni Prof Ikhlasul Amal. Beliau pun menganjurkan untuk kita tidak ragu melakukan hal yang sama, karena memang banyak juga manfaat yang bisa didapat dari kebiasaan itu. Dari mulai sekedar mencatat alamat situs menarik yang nggak sengaja kita temukan misalnya, sampai—mungkin ini yang paling penting—mencatat ide-ide untuk nantinya dijadikan artikel di blog kita.

Belum lama ini saya menulis artikel Menulis dengan Gairah di halaman ini. Di situ saya ceritakan bahwa saya punya kebiasaan mengupdate blog saya 3 kali seminggu. Ternyata ada yang penasaran dan kasih komen bahwa itu target yang kelewat berat baginya. Sebetulnya saya pun tidak menganggap target posting 3 kali seminggu itu ringan, tapi syukurlah sampai sejauh ini semua berjalan lancar.

Posting 3 X seminggu bukan target yang mudah karena memang tidak gampang menemukan bahan untuk dituliskan. Tapi ada penulis yang bilang bahwa “menulis itu seperti ngobrol” dan saya rasanya setuju, tapi tetap saja susah mempraktekkan jurus itu. Pertama, karena memang menulis punya banyak “aturan” beda dengan ngobrol, jadi buat mereka yang memang malas berlatih—apalagi dasarnya nggak suka—kerja menulis akan selalu menjadi semacam beban dan siksaan..

Kedua, menyangkut bahan atau topik untuk dituliskan. Sebetulnya, ini masalah kejelian kita belaka. Menulis di blog itu relatif mudah—jika dibanding menulis di koran, umpamanya—karena banyak hal bisa kita comot dengan bebas untuk kemudian kita tuliskan di blog kita. Tapi, masalahnya kita sering begitu saja membuang banyak tema atau topik yang kita temui, dengan cara melupakannya begitu saja. Nah, di sinilah saya kira sebuah notes—yang ukurannya mungkin hanya separuh telapak tangan—bisa membantu supaya kita tidak selalu merasa blank dan kehabisan ide tulisan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...