29 October 2007

You Are What You Think

BAGAIMANA anda memandang hidup dan hari-hari anda? Kualitas hidup anda sangat tergantung dari bagaimana cara anda memandang dan menilainya. Konon ada tiga jenis manusia beserta caranya menilai. Jika hidup ini kita umpamakan saja dengan sebuah kerja membikin tembok, maka 3 jenis orang itu adalah seperti berikut.

Jenis pertama. Orang dari jenis ini melihat dan menilai dirinya tidak lebih dan tidak kurang dari seorang tukang yang sedang memasang batu di atas batu lainnya. Mungkin ia bekerja sembari menggerutu, atau mungkin juga tidak. Tapi kabar buruknya adalah ia tak kuasa melihat lebih jauh : Saya seorang tukang batu, hidup dan kerja saya adalah memasang batu. Titik.

Jenis kedua. Orang dari tipe ini paham bahwa ia seorang tukang batu. Tapi ia sanggup memandang lebih jauh. Ia akan berkata kepada dirinya : Kerja saya memang memasang batu, tapi batu-batu ini nantinya sesudah rampung saya susun akan menjelma menjadi sebentang tembok, kukuh dan gagah. Jadi, dalam kebersahajaannya, dalam ketidakberdayaannya, tipe orang yang ini masih bisa menyisakan hiburan bagi dirinya.

Lalu jenis ketiga. Orang dari tipe ini akan mengatakan kepada dirinya (dan mungkin juga kepada dunia) dengan penuh kebanggaan, bahwa ia bukan hanya sedang menyusun batu untuk mendirikan sebidang tembok yang keren, tapi lebih jauh lagi ia percaya bahwa ia pun sedang menyiapkan sebuah “istana” untuk anak-anak dan masa depannya kelak.

Ia, jenis ketiga ini, mungkin hanya seorang pegawai biasa yang saban pagi berangkat tergopoh-gopoh ke tempat kerjanya naik bis kota yang sumpek berjejal, sehingga belum apa-apa bajunya yang lusuh murahan sudah keringetan dan bau. Mungkin ia akan terpaksa berlari-lari—seraya mengeluh--menguber sisa waktu untuk jangan sampai telat sampai di kantor.

Lalu sepanjang hari ia akan membenamkan dirinya di antara tumpukan kertas dan angka-angka. Mungkin atasannya seorang tiran yang gemar membentaknya. Mungkin gajinya pas-pasan, anaknya masih pada kecil, dan ia terpaksa tinggal mengontrak di sebuah gang buntu, yang kalau hujan jadi lumayan becek. Tapi, siapa tahu diam-diam ia pun ternyata seorang blogger—meski hanya seorang blogger “gurem”.

Saya ingin mengatakan di akhir tulisan ini, siapa tahu, bukan tidak mungkin, ia, ternyata anda sendiri.

25 October 2007

"Tukang Sihir" Itu Bernama Mario Teguh

MUNGKIN tidak kelewat berlebihan kalau predikat “tukang sihir” kita lekatkan di depan nama Mario Teguh, sang motivator yang ujar-ujarnya hari-hari ini banyak ditunggu dan dicari orang. Ia sendiri dengan rendah hati lebih suka menyebut dirinya seorang sales, “hanya” seorang “penjual semangat”.

Sebagai penjual semangat ia memang piawai. Petuah-petuahnya terasa sangat bertenaga—dan mencerahkan. Itu bisa terjadi karena ia berhasil lolos dari sergapan klise, hal yang adalah perintang terbesar dalam urusan seperti ini. Banyak dari nasehatnya sebetulnya bukan barang baru apalagi ajaib, tapi karena disampaikan dengan cara “baru” maka ia lalu berubah menjadi “sihir yang memukau”.

Namun Mario Teguh tidak pernah menjanjikan sulapan. Ketika suatu kali ditanya soal seberapa perlunya faktor “luck” dalam sukses seseorang, ia dengan tandas mengatakan bahwa “keberuntungan” 100 persen berada di belakang sebuah sukses. Tapi “keberuntungan” dalam kamus seorang Mario Teguh hanyalah sejumput momen yang baru betul-betul akan menjadi “luck” manakala kita setiap hari bersiaga dan setia menantikannya—dengan cara antara lain merawat dan menjaga semangat kita.

Dengan kata lain, sukses dan keberuntungan adalah buah dari ketekunan dan kerja keras, dan bukan sekali-sekali produk dari sebuah “kebetulan”.

Hal lain yang mengesan—dan mungkin juga menjadi faktor pembeda dengan motivator lainnya--adalah nyelipnya nuansa relijius dalam sesion-sesionnya. Memadukan nasehat reljius ke dalam petuah bisnis sangat sekali beresiko, tapi Mario Teguh membuktikan bahwa bisnis pun sebuah area di mana hal-hal seperti relijiusitas, iman, dan Tuhan, adalah sah untuk hadir atau dihadirkan.

Bukan sekali dua kali ia mencoba meyakinkan kita bahwa setiap perbuatan baik akan mendapatkan ganjaran baik. Kalau tidak sekarang, mungkin besok, atau lusa, atau bulan depan, tahun depan, atau mungkin kelak anak-anak kitalah yang akan mencicipinya—tapi ganjaran itu suatu yang niscaya, katanya. Sebab, kata Mario Teguh pula, sistem akunting manusia bisa saja salah, tapi tidak sistem akunting Tuhan.

21 October 2007

Berburu Cersil, Merawat Kenangan

SALAH satu hobi atau kesenangan senggang saya adalah membacai dan mengoleksi buku-buku cerita silat (cersil) Cina. Bukan buku-buku Kho Ping Hoo lho, tapi buku-buku yang merupakan saduran dari karya-karya Chin Yung, Liang I Shen, dan Wang Tu Lu—tiga nama yang sejauh ini masih dianggap paling representatif dari khazanah cerita silat. Di Indonesia buku-buku mereka sampai kepada pembacanya lewat tangan Oey Kim Tiang (OKT), Gan Kok Liang (Gan KL), dan beberapa nama lain seperti Gan Kok Hie (Gan KH), SD Liong, Tjan ID. Kecuali Tjan ID, nama-nama lainnya sudah pada pulang ke “langit barat”—alias marhum.

Saya pertama berkenalan dengan genre “novel silat” ini sewaktu kelas 5 SD. Waktu itu ada teman meminjami Istana Pulau Esnya Kho Ping Hoo (KPH) Sampai sekarang saya menganggap buku ini adalah salah satu karya monumental KPH. Selama lebih kurang 3 tahun saya keranjingan membaca buku-buku beliau, tapi kemudian menjadi bosan sendiri karena pola ceritanya ternyata mirip satu sama lain. Buku-buku KPH menurut saya menarik dibaca pada bagian awal sampai pertengahan, tapi sesudahnya malah hilang gregetnya—karena ending yang biasanya sudah terpola, jadi bisa ketebak duluan.

Pada saat kejenuhan pada buku-buku KPH mencapai puncaknya itulah saya berkenalan dengan karya Chin Yung, Sia Tiauw Eng Hiong (Memanah Burung Rajawali). Buku ini, bersama-sama dengan Sin Tiau Hiap Lu (Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar) dan Ie Thien To Liong (Kisah Membunuh Naga) konon katanya merupakan “buku wajib” untuk seorang penggila cerita silat. Menurut saya trilogi Chin Yung ini memang luar biasa. Dibanding dengan buku-buku KPH, oh jauh sekali rentang mutunya. Konon bahkan seorang Gus Dur pun sempat dibuat kesengsem.

Waktu itu saya membaca dengan cara menyewa. Tidak kepikiran untuk membeli apalagi mengoleksinya—lagi pula duitnya nggak ada. Booming buku-buku silat lalu surut memasuki dekade 80-an dan kemudian buku-buku jenis ini seperti raib. Saya pun kemudian seperti melupakannya begitu saja, dan lantas tenggelam dalam jenis bacaaan lain yang kata banyak orang “lebih bermutu” dan “lebih sastrawi” pula.

Suatu malam saya bermimpi—ini beneran lho—berkunjung ke sebuah toko buku. Di rak-rak buku toko itu saya menemukan jejeran buku-buku cerita silat yang pernah saya baca bertahun-tahun yang lalu. Ternyata memang kesenangan saya pada “novel silat” tidak menjadi padam—ia lalu nongol atau memantul lewat mimpi (jadi ingat teori mimpinya Freud). Saya lalu mulai bertanya-tanya di mana bisa mendapatkan kembali buku-buku itu. Pikir saya, kali ini saya harus membeli dan mengoleksinya.

Kemudian saya tahu, kerinduan pada buku-buku “aneh dan langka” itu ternyata bukan hanya menimpa saya. Banyak juga yang rupanya “bermimpi” kepingin memiliki dan membaca ulang buku-buku ini. Di pihak lain ternyata juga ada sejumlah orang “gila” yang berani mempertaruhkan “segalanya” demi menerbitkan ulang buku-buku yang sudah lama terkubur itu. Saya sebut mereka ini “gila”, karena dari kalkulasi dagang proyek ini bisa dipastikan jeblok—dan nyatanya begitu—tapi mereka masih terus juga—sampai hari ini—meneruskan ide gilanya itu.

Melalui orang-orang “gila” inilah akhirnya hasrat saya mengolekksi buku-buku silat itu kesampaian. Selain itu kadang saya sengaja “berburu” ke “liang rase”—istilah untuk menyebut tempat “rahasia” di mana masih dijual buku-buku jenis ini—guna memuaskan dahaga saya "mengembarai" lagi "dunia persilatan". Jadilah saya kolektor buku cerita silat kecil-kecilan. Kecil-kecilan, karena harga buku-buku itu ternyata masih saja terasa mahal—dibanding isi dompet seorang karyawan gurem seperti saya.

Tapi lumayanlah, sejumlah judul penting dan “wajib” seperti trilogi Sia Tiauw Eng Hiongnya Chin Yung, lalu sejumlah judul dari serial Thiansannya Liang I Shen yang termashur itu, serta pantalogi Ho Keng Kun Lunnya Wang Tu Lu sudah bisa saya dapat dan kini nangkring dengan gagahnya di rak buku saya.

Kadang saya berpikir “kegilaan” saya mengoleksi cersil ini jangan-jangan sebentuk rasa cemas tersamar. Kecemasan yang diam-diam merongrong sanubari saya melihat masa depan yang tak menentu. Mungkin dalam suasana gamang itu lantas muncul sebentuk perlawanan—atau usaha melarikan diri?—dengan cara mengawetkan rasa atau pengalaman “nikmat” yang pernah saya dapat sewaktu membaca buku-buku cersil itu di masa lampau. Mungkin, mungkin betul begitu.

10 October 2007

Percintaan adalah Nasib yang Aneh

PERCINTAAN adalah nasib yang aneh—begitulah bunyi sebuah baris puisi Taufiq Ismail yang saya sukai. Usia perkawinan kami hari ini genap 9 tahun. Sebuah perjalanan yang masih sangat pendek—10 tahun saja belum nyampe. Belum ada apa-apa yang “pantas” diomongkan barangkali. Tapi tak ada salahnya satu dua catatan dibuat—sekedar bahan refleksi pribadi.

Tahukah anda, dulu saya sempat berpikir untuk hidup membujang sampai tua? Karena ketika itu saya teramat yakin tak bakal ada seorang perempuan pun yang akan bisa “menerima” saya. Orang-orang mengenal saya sebagai contoh pribadi yang “sulit”. Sulit diatur, sulit bergaul, sulit rejekinya, dan menampik pula agama, karena saya merasa Tuhan dan agama hanya semacam hiburan palsu. Jadi lengkaplah ke”alienasi”an saya saat itu.

Ketika lalu saya kepincut eksistensialisme—maka itu lebih karena alasan emosional. Filsuf favorit saya Sartre dan Camus.Tentu saja kalimat terkenal Sartre yang pernah berkoar bahwa “orang lain itulah neraka” menjadi salah satu “pegangan” penting saya..Novel Camus yang berjudul “Orang Asing” adalah salah satu bacaan kesukaan saya. Salah satu film favorit saya adalah Alice in Town besutan Wim Wenders, karena film itu berhasil dengan luar biasa menggambarkan situasi terasing kehidupan manusia modern.

Dan kalau diminta merumuskan apa itu hidup, maka saya akan bilang “oh, hidup bagiku hanyalah sebuah perjalanan panjang yang sunyi”—itu konon kata-kata Hemingway yang disadur lewat tokoh pak tua dalam novelnya The Old Man and The Sea. Ungkapan favorit lain yang kerap saya pakai untuk menggambarkan situasi solitaire saya adalah “lonely wolf”. Serigala yang kesepian—ya, itulah saya.

Tapi betul kata Taufiq Ismail, percintaan adalah nasib yang aneh. Banyak hal kemudian jadi berubah—namun terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Yang pasti hari ini usia perkawinan saya genap 9 tahun. Dua anak lahir dari perkawinan itu. Mereka masih kecil-kecil, yang sulung tahun ini baru kelas 2 SD. Kadang terbersit rasa was-was tentang masa depan mereka, mengingat umur saya yang sekarang sudah Ashar, sementara saya hanya seorang karyawan biasa dengan gaji ngepas tiap bulannya.

Tapi seorang teman yang relijius membesarkan semangat saya. Katanya selalu, “Tuhan jauh lebih pandai mengurus anak dibanding kau, jadi tenang sajalah”. Maka, saya pun mencoba tenang. Menjalani hidup seperti jutaan orang lain menjalaninya, melewati sehari demi sehari dengan segala suka dukanya.

Telah saya tanggalkan tema-tema kelam “stranger in the night” model Dostoevski yang lama menelikung saya. Kini saya hanyalah bagian “anonim” dari sebuah kafilah raksasa yang mencoba menyebrangi “the long and winding road” yang membentang tak terbatas di depan kami, sebuah padang gurun kering, sebuah “waste land”, untuk mengutip Elliot —tapi dengan semangat yang—mudah-mudahan betul—sudah berubah.. .

03 October 2007

Busway : Mati Gila Cara Sutiyoso

UNTUK siapakah sebetulnya jalur-jalur busway—yang hari-hari ini membikin banyak warga Jakarta menjadi “setengah gila”—dibangun? Jika itu ditanyakan kepada pejabat-pejabat nun di atas sana, maka mereka akan menjawab—mungkin seraya tak berpikir lagi—tentu, untuk “orang-orang kecil” di belantara ibu kota ini.

Tapi siapakah gerangan “orang-orang kecil” yang bercokol dalam benak mereka? Tadi pagi saya mendengar keluh-kesah seorang sopir mikrolet yang bilang bahwa “tak ada lagi yang tersisa buatnya”. Yang dia maksud, jalur busway yang seperti gurita merambah ke mana-mana itu akhirnya, cepat atau lambat, akan membunuh trayek mikrolet yang saban hari dibawanya. Busway akan menerbalikkan periuk nasinya.

Keluhan itu tentu saja mewakili suara ribuan supir mikrolet lainnya, belum termasuk suara ribuan supir dan kernet bis kota yang juga akan kena imbas sebagai akibat bakal dijadikannya bis-bis transjakarta sebagai sarana utama transportasi di ibu kota. Selaku konsumen tentu saya senang dengan tersedianya media transportasi yang murah dan praktis, tetapi sudahkah kebijakan “revolusioner” ini dikaji masak-masak?

Bukan maksud saya mau “sok pahlawan”, hanya saja saya terus-terang agak merasa heran dengan gerak laju pembuatan jakur busway yang—menurut saya—terkesan membabi-buta, dan kagak mau tahu itu. Apakah sungguh perlu semua jalan di Jakarta ini dipasangi jalur busway, sehingga ribuan, mungkin jutaan, warga dibkin “sinting” setiap harinya?

Saya teringat Daendels, gubernur jenderal kompeni yang pernah “sukses” membikin jalan tembus Anyer-Panarukan—dengan korban jiwa dan ongkos sosial yang tak terbayangkan itu. Kita hanya bisa menduga-duga, bukan tidak mungkin angan-angan itu pula yang menggelantung dalam benak Sutiyoso, orang yang paling bertanggung-jawab atas proyek busway ini—keinginan untuk dicatat dalam sejarah, meski dengan tumbal darah, dan kemelaratan-kemelaratan baru.

Maka, untuk siapakah sebetulnya jalur-jalur busway dibangun? Jika untuk “orang-orang kecil”—“orang kecil” yang mana? Atau hanya demi memuaskan hasrat megalomoniak.seorang gubernur—yang segera pensiun, dan tengah merintis jalan menuju kursi presiden? Atau semua kerepotan ini hanya demi target bisnis sejumlah cukong di belakangnya?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...