29 January 2008

Pak Harto Akhirnya ,,,

PAK HARTO akhirnya jadi juga mangkat. Ramalan Mama Lauren yang mengatakan “kita akan kehilangan seorang negarawan besar yang disegani kawan dan ditakuti lawan” (Intisari, Desember 2007) ternyata akurat. Sementara omongan sejumlah paranormal lain yang bilang bahwa beliau “masih akan bertahan lama” karena diyakini memiliki sejumlah “simpanan” sakti yang akan menjaganya, ternyata ngawur. Ketahuan deh mana paranormal yang betul jago, dan mana yang “bodo”.

Yang juga ngawur adalah analisis teman saya bang Asbun. Ia menaruh curiga bahwa mantan bos Orde Baru itu tidak betul-betul “gawat” keadaannya. Justru ia percaya ada semacam “muslihat” politik tingkat tinggi di belakang semua hiruk-pikuk pemberitaan geringnya “sang babe”, yang goalnya adalah mendapatkan pengampunan politik tanpa peradilan. Dan goal itu sepertinya memang tidak jauh lagi, karena koor “maaf” kepada sang tiran dari hari ke hari berkumandang semakin nyaring.

Tapi ternyata dugaan serem itu terpatahkan. Kemarin Ahad, 27 Januari 2008, “berhala” Orde Baru yang selama lebih dari 30 tahun disembah dan ditakuti itu, akhirnya tumbang. Kabar mangkatnya pak Harto cukup mengejutkan, karena beberapa hari sebelumnya disebut-sebut kesehatan beliau cenderung terus “membaik” dan malah sudah akan dibolehkan pulang ke Cendana—bukan “pulang” ke alam sana.

Di luar dugaan juga, ternyata cukup banyak khalayak yang mempertontonkan simpatinya kepada beliau, antara lain dengan cara mengelu-elukan iring-iringan prosesi ke pamakamannya. Tapi aktivis Fajroel Rahman mengatakan bahwa kerumunan itu lebih banyak terdiri dari wajah anonim yang datang ke jalan lebih dengan niat kepingin nonton keramaian, ketimbang memberikan rasa hormatnya. Mungkin Fajroel Rahman benar, karena jumlah warga yang bersedia repot memasang bendera setengah tiang juga sedikit (Koran Tempo, 29 Januari 2008).

Saya pribadi tak punya penilaian khusus tentang pak Harto. Saya sepakat dia memang seorang yang “besar”. Maksudnya, besar jasanya, dan besar juga dosa-dosanya. Jadi, atas jasa-jasanya yang memang besar itu marilah kita mengenangnya seraya kita haturkan terima kasih untuk itu. Sedang dosa-dosanya, ya diberesin dong lewat jalur hukum yang tersedia. Dasar hukumnya kan jelas ada dan sahih : TAP MPR 1998 (nomornya lupa). Simpel kan? Gitu aja kok repot sih.

25 January 2008

Pada Mulanya adalah Ayam

APAKAH anda termasuk orang yang selama ini dibingungkan dan dibikin penasaran oleh pertanyaan “mana lebih dulu, ayam atau telur”? Saya termasuk yang penasaran dengan pertanyaan itu. Tapi belum lama ini saya merasa sudah “mendapatkan” jawaban yang kiranya memadai atas pertanyaan “gawat” itu.

Orang biasanya terjebak pada alur logika pertanyaan itu, dan mengandalkan juga logika untuk memecahkan pertanyaan tersebut. Hasilnya adalah kebuntuan. Itulah nasib orang-orang yang begitu percaya bahwa hidup ini semata permainan logika dan rasio belaka. Kalau tak bisa dikalkulasi secara logis lalu dianggap nonsens.

Jadi, “mana lebih dulu, ayam atau telus”? Jawabnya adalah “ayam”. Ini bukan asal jawaban lho, tapi punya dasar teologis yang sahih (cailah!). Kalau tak percaya periksalah salah satu perikop dalam Kitab Kejadian Perjanjian Lama. Biarlah saya kutipkan itu secara bebas di luar kepala. Di sana jelas sekali tertulis bahwa “… pada hari kesekian Allah menciptakan hewan bla bla bla dst”.Perhatikan, tidak dikatakan di sana Allah menciptakan “telur”, tetapi “hewan”.

Dengan begitu, bagi saya masalahnya clear sudah. Sangat sederhana ternyata. Tentu saja, anda para pemuja logika—yang biasanya juga sangat menganggap enteng otoritas Kitab Suci—akan menganggap ini jawaban ngawur dan asal. Terserah saja. Hak anda untuk bersikap begitu.

17 January 2008

Betulkah Suharto (Maaf) Sekarat?

TEMAN saya, bang Asbun, mengajukan pertanyaan “gila” itu kemarin sore. “Cobalah pikir”, katanya dengan gaya yang dibikin polemis, “Betul nggak sih sebetulnya Pak Harto sekarat?” Karena tahu siapa dia saya tak menanggapi, tapi saya yakin dia akan terus nyerocos. Dan betul. Dia ngomong lagi, dengan suara yang sekarang agak dipelankan, soalnya yang bisa masuk ke dalam kamar sang ‘babe’ kan hanya orang-orang tertentu saja. Sangat ketat seleksinya. Jadi? Ya, karena itu kita kan jadi nggak tahu apa yang sebetulnya terjadi di sana.

Saya tak tahan juga dan coba membantah. Tapi mosok dokter-dokter terhormat itu bisa-bisanya bohong? Atas pertanyaan saya itu, bang Asbun melempar senyum penuh arti sebelum menjawab. You selalu begitu. You naif you, katanya menirukan gaya bicara Meriam Belina dalam sebuah sinetron. Ini politik bung, you tahu kan dalam politik semua bisa dibuat, bisa diaturlah. Apalagi ini menyangkut urusan orang yang pernah begitu “maha kuasa” di sini. You jangan lupa you, si ‘babe’ kita ini masih punya segalanya—biarpun kelihatannya sudah bangkrut begitu.

Baiklah, kata saya, tapi apa dong “goal” atau target yang mau diuber dengan sandiwara super mahal—dan riskan ini? Bang Asbun kelihatan heran dengan pertanyaan saya. Ya jelas “pengampunan” dong tujuannya. Coba kita lihat sekarang dampak psikologis yang sudah berhasil dihimpun gara-gara televisi secara maraton menayangkan kabar sekaratnya pak Harto. Simpati mengalir kayak banjir. Bahkan ada sekelompok WTS di Wonogiri ikut membuat acara doa bersama.

Sebab apa? Sebab mereka tahu kita ini bangsa “tempe”, katanya sedikit emosional. Maksudnya kita ini suka gampang berkasihan pada sosok yang kelihatan “tidak berdaya”, dan teraniaya You tahu, mereka manfaatkan kondisi psikologis kita yang lembek itu. Hasilnya tidak kelewat mengecewakan, bukan? Bahkan orang nomor dua kita sudah buru-buru—seolah takut keduluan—kasih sinyal ke arah itu--pengampunan gratis bung, tanpa proses peradilan lagi. Apa nggak spektakuler tuh?

Diam-diam saya manggut-manggur. Bener-bener gila kalau skenario teman saya ini terjadi. Tapi saya masih tetap sangsi karena merasa ada banyak “bolong” pada teorinya yang aneh itu. Begini saja, kata bang Asbun lagi, kita taruhan saja. Kita tunggu sampai dua minggu lagi, kalau betul pak Harto mangkat, berarti teori saya salah. Tapi kalau lewat dua minggu kondisi beliau begitu-begitu saja, atau malah membaik, itu artinya teori saya mungkin saja benar. Bagaimana, Bbrani nggak taruhan? Saya cepat menggeleng. Ogah ah, masak nyawa orang dibikin taruhan. Emangnya apaan.

15 January 2008

"Judul" Itu Urusan Belakangan

DALAM artikelnya, “Bagaimana Membuat Posting yang Nendang?”, mas Wicaksono antara lain menulis bahwa “judul” tulisan sebaiknya sudah ditentukan dari awal, walaupun tulisannya sendiri belum final, malahan baru dimulai. Tujuannya adalah supaya pikiran kita terfokus dan tulisan kita tidak melantur kesana-kemari. Saya agak kurang sependapat dengan anjuran itu.

Menurut saya judul memang penting, tapi kepentingannya terletak pada kegunaannya sebagai pemancing perhatian pembaca. Tapi itu nanti, sesudah tulisan itu rampung. Selama proses penulisan berlangsung, justru judul hanya nomor dua, mungkin malah nomor sebelas—gagasanlah yang lebih penting pada saat itu.

Sering terjadi gagasan awal yang memicu lahirnya sebuah tulisan mengalami perkembangan yang tak terduga selama proses penulisan. Sering juga terjadi sebuah tulisan berakhir pada ending yang tak kita duga sebelumnya. Mungkin ending yang membuat kita terkaget-kaget sendiri.

Karena itulah ada orang yang bilang bahwa menulis itu juga sebuah proses “pencarian” dan “penemuan”. Tapi proses pencarian dan penemuan itu mensyaratkan keberanian. Mematok judul pada awal menulis dengan maksud supaya kita “setia” pada plot mati yang kita bikin pagi-pagi, tidak akan membawa kita pada surprise-surprise yang mengagetkan di ujung tulisan.

Karena itu, lupakan dulu judul, kembalilah pada gagasan awal, tetapi biarkan ia menemukan sendiri jalannya. Jangan penjarakan gagasan anda dalam kerangkeng bernama “judul”. Tak usah cemas kalau ia lalu menyeret anda keluyuran. Kalau sudah keterlaluan anda tak pernah terlambat menyetopnya, bukan?. Jadi santai dan nikmati saja.

10 January 2008

Ngeblog Itu Kerjaan "Orang Gila"

NGEBLOG atau blogging mungkin tak salah disebut pekerjaan “orang gila”. Mengapa begitu? Ngeblog, jika kita berniat melakoninya dengan serius, menuntut napas panjang. Kalau diibaratkan dengan adu lari, ngeblog adalah lomba lari marathon. Blog yang baik adalah blog yang secara rutin diupdate--minimal seminggu sekalilah Tapi blog yang baik menuntut konten yang juga “bermutu”, jadi tidak asal update saja.

Itu artinya, pemilik blog dituntut terus belajar, terus pasang mata dan buka kuping, supaya selalu mendapatkan bahan tulisan yang fresh dan terjaga mutunya. Dan bahan yang “bermutu” itu baru akan jadi bernilai kalau kita juga tahu cara menyajikannya. Jadi di sini kelihaian menulis menjadi taruhan. Lagi pula kita dituntut bergerak cepat. Sebab kalau bahan bagus itu telat disajikan, dia hanya akan tinggal jadi barang basi yang tidak ditengok lagi.

Tapi yang paling “gila” adalah kenyataan bahwa, untuk segala kerepotan yang menjadi syarat mutlak itu ternyata tidak ada duitnya samasekali, alias kita tidak dapat apa pun. Paling-paling hanya kepuasan batinlah yang kita dapatkan dari segala jerih payah itu. Biasanya ada semacam rasa lega apabila kita berhasil mempublish sebuah artikel baru. Bolehlah itu kita sebut semacam “orgasme” dalam bentuk yang lain.

Di zaman serba instan, di mana setiap hal diukur dari "manfaatnya" dan duit menjadi “berhala tunggal” dan parameter satu-satunya, teranglahlah kegiatan ngeblog--bagi sebagian orang-- menjadi terlihat sebagai sesuatu yang absurd bahkan untuk sekadar dibayangkan.

Mungkin ada “bonus” tambahan—meskipun tidak selalu terjadi, dan mungkin tidak penting buat sebagian orang. Kegiatan ngeblog itu kadang membawa kita pada sebentuk perkawanan yang terasa menghibur juga, meskipun kita hanya bisa saling kenal nama doang—yang siapa tahu bukan pula nama beneran--satu sama lain. Selebihnya, percaya deh, tak ada apa-apa lagi yang kita dapat.

Maka blog yang tahan lama dan bagus bisa dipastikan adalah blog yang sudah dengan susah-payah dirawat penuh kecintaan oleh “seorang gila”. Dan saya hanya bisa berharap mudah-mudahan saya pun ternyata cukup “gila” untuk bisa terus melakoni kerja ngeblog saya.

07 January 2008

Segera Tamatkah "Republik Mimpi"?

MENDUNG tengah bergayut di langit Republik Mimpi. Tokoh ‘wakil presiden’ Jarwo Kwat alias JK atawa Sujarwo sedang tertimpa apes : dituduh memberikan cek kosong senilai 200 juta. Polisi bahkan sudah menetapkan sang ‘wapres’ itu sebagai buronan, lantaran sudah dua kali mangkir dari panggilan. Dalam tayangan Newsdotcom semalam Effendi Ghazali mengisyaratkan kemungkinan bubarnya kelompok ‘pelucu intelek’ itu seandainya terbukti Sujarwo bersalah.

Selama ini Newsdotcom berhasil hadir bukan melulu sebagai suguhan lucu-lucuan biasa. Model parodi politik yang diusungnya membuat mereka dipandang sebagai “pahlawan moral” yang ‘bersih’. Tontonan-tontonan mereka menjadi pilihan katarsis yang cerdas dan sehat ketika kenyataan sehari-hari kita terasa begitu mokal, edan, dan tak bisa lagi diharapkan. Dengan beban citra seberat itu, maka pilihan bubar menjadi solusi terhormat yang tersedia buat mereka, seandainya betul Jarwo Kwat terbukti cacat hukum.

Sangat disayangkan apabila kelompok ini musti tamat karena kasus “murahan” begini. Sebagai penggemar beratnya, saya kerap membayangkan bahwa mereka suatu hari nanti memang bakalan “habis”, tapi “habis” secara santun dan “heroik”. Misalnya “dibredel” penguasa, atau ditendang bos pemilik stasiun TV karena perbedaan prinsip yang tak bisa didamaikan.

Ada beredar juga spekulasi bahwa kelompok ini memang sudah lama “dibidik”—karena kita tahu kritik-kritik mereka tidak membuat semua orang senang. Jadi dicarilah celah untuk bisa menjegal mereka. Kebetulan Jarwo Kwat tersandung masalah, maka apa salahnya kalau dia dijadikan “korban” pertama.Yang lainnya nanti menyusul, apabila diperlukan.

Tapi apakah betul begitu duduk soalnya, wallahualam. Di Republik Indonesia—yang bukan mimpi—sudah jamak kalau banyak hal tidak selalu menjadi jelas.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...