24 March 2008

Kekerasan dalam The Passion of The Christ

FILM The Passion of The Christ besutan Mel Gibson, yang berkisah perihal perjalanan sengsara Yesus Kristus ke tiang salib di bukit tandus Golgota, banyak dipuji orang antara lain karena film itu dinilai “berhasil” menghadirkan kekerasan yang dialami Sang Messias sampai pada tingkat yang menggigilkan sumsum. Tentu saja ada yang ironis di sini.

Yesus diyakini datang ke dunia membawa pesan damai dan kasih. Tetapi sebagaimana dicatat halaman-halaman Kitab Suci pesan itu bukan hanya ditampik, tapi Sang Pembawa Pesan itu bahkan dihinakan. Mel Gibson selaku sutradara—ia seorang katolik--mungkin merasa terpanggil untuk menghadirkan nuansa “kehinaan” itu ke dalam paparan gambar yang begitu “apa adanya”, karena ia mungkin menganggap teks-teks Kitab Suci “kurang berhasil menggambarkan” fragmen ngilu penyaliban itu sebagaimana mestinya.

Tentu saja orang bisa berselisih pendapat perihal ini. Mengapa nian pesan damai dan kasih disampaikan justru dengan begitu banyak adegan brutal dan buas yang memualkan? Goenawan Mohamad adalah salah seorang yang mengkritik porsi adegan kekerasan dalam film itu, seraya menyebutnya sebagai sebentuk “pornografi”.

Kecenderungan pornografi adalah bahwa ia begitu peduli pada detail, pada rincian. Dalam The Passion of The Christ, rincian demi rincian kekerasan memang terasa begitu penting, atau dipentingkan, mengalahkan yang lainnya. Kecenderungan lain dari pornografi adalah bahwa ia cenderung menghamba pada apa yang diminta publik. Dalam hal ini yang bermain adalah hukum jual beli biasa.

Mel Gibson, entah sengaja atau tidak, telah bersekutu dengan pasar, dan meredusir pesan luhur Sang Messias menjadi sekadar komoditas. Tapi banyak penonton yang menangis melihat film itu, sergah anda. Jangan lupa, banyak juga penonton yang terharu melihat Al Pacino terisak-isak mengaku dosa dalam The Godfather part 3, bukan? Komoditas yang baik memang dibekali daya sihir untuk memuaskan khalayak yang luas.

Tentu saja orang boleh tak sepakat dengan pikiran-pikiran pesimistik ini. Tanya saja Mel Gibson. Ia akan dengan tangkas menyanggah semua keberatan atas filmnya. Barangkali dalam bungkus bahasa teologis yang menggetarkan pula.

17 March 2008

Orang Buta dan Gajah

PERNAH mendengar anekdot tentang sekelompok orang buta yang bertengkar tentang rupa atau sosok seekor gajah? Dikisahkan dalam anekdot itu orang-orang buta itu kemudian dipersilakan mereka-reka sendiri sosok sang gajah dengan cara meraba-rabanya. Apa yang kemudian terjadi kita sudah bisa menduganya..

Orang buta yang kebagian meraba ekor gajah akan mempunyai gambaran yang sungguh berbeda dengan orang buta lain yang kebagian meraba kaki, belalai, telinga, atau bagian-bagian tubuh gajah lainnya. Singkatnya mereka semua memperoleh gambaran yang jauh dari lengkap apalagi sempurna tentang gajah yang mereka ributkan itu.

Kita sebetulnya orang-orang buta seperti dalam anekdot di atas. Buku-buku sejarah dipenuhi oleh cerita orang-orang buta yang sibuk bertengkar tentang “sang gajah”. Untungnya di antara orang-orang buta itu ada juga yang ngeh bahwa mereka itu hakikatnya “buta”. Kelompok ini sadar betul bahwa karena mereka buta, mereka tidak akan pernah berhasil mendapatkan gambaran sosok si gajah secara utuh dan benar.

Karena itu mereka suka saling bertukar pendapat dengan sesama orang buta lainnya untuk lebih memperkecil margin kekeliruan atau kekurang-lengkapan gambaran sang gajah yang mereka miliki. Kita menyebut mereka ini kelompok moderat. Mereka suka berpikir dan berperilaku lintas batas, dan ogah terkurung dalam sekat-sekat sempit yang hanya membikin kita semakin kerdil.

Sayang jumlah mereka kelewat sedikit. Jauh lebih banyak gerombolan orang buta yang dalam kebutaannya malah suka petantang-petenteng, merasa paling tahu dan benar sendiri. Padahal mereka mungkin hanya pernah sempat memegang kuping sang gajah, atau malahan buntutnya.

12 March 2008

Buku The Secret : Ajaran Sesat Tersamar?

BUKU laris The Secret membuat seorang kawan gelisah. Ia, seorang katolik yang taat, mendatangi saya dan mewanti-wanti bahwa buku itu menawarkan pandangan sesat yang sangat tersamar. Buku itu dengan cara yang cerdik, katanya, menggiring kita untuk akhirnya “menjauhi Dia”, seraya bersandar sepenuhnya pada kekuatan sendiri.

Saya sudah membaca buku itu, dan menurut saya itu salah satu buku paling inspiratif yang pernah saya baca. Tentang pikiran sang kawan saya tak sepenuhnya sependapat. Saya katakan buku itu bisa saja membuat pembacanya terpeleset, tapi spirit buku itu sendiri sebetulnya, menurut saya, tidak menyuruh orang menjadi sesat.

The Secret bertutur tentang adanya hukum tarik-menarik dalam semesta. Menurut hukum itu alam semesta ini dengan cara yang tak kita pahami mampu menghadirkan hal-hal yang kita pikirkan menjadi nyata. Pikiran yang positif akan menghadirkan hal-hal positif : orang-orang baik, teman-teman baik, kejadian-kejadian baik, datang seperti kita panggil.

Dan sebaliknya pikiran negatif bakal menghadirkan hal-hal negatif dalam hidup kita. Penuhilah benak anda dengan pikiran negatif (anda berutang banyak, tak disukai, masa depan suram, tak bahagia), bayangkanlah itu setiap hari, dengan intens, bertahun-tahun, maka, kata the Secret, percayalah hidup anda akan seperti itu : berutang di sana-sini, dibenci teman, kejadian-kejadian konyol seperti bergiliran mengeroyok anda.

Hukum tarik menarik ini bekerja tanpa minta persetujuan. Ia ada, bekerja di sana, diam-diam, tanpa setahu kita, seperti hukum gravitasi, atau hukum kematian, tetap bekerja—tak peduli anda sukses atau gagal, tak penting anda setuju atau tidak. Kita, kata The Secret, adalah hasil bentukan dari hal-hal yang kita pikirkan setiap hari.

Kalau ternyata hidup kita hari ini tidak menyenangkan, maka menurut logika hukum tarik menarik, itu karena selama ini kita—disadari atau tidak--berpikir dengan cara salah. Dan sebaliknya, mereka yang hari ini sukses—disadari atau tidak-- selama ini telah menerapkan cara berpikir benar, atau lebih tepat, positif.

Membaca The Secret secara sembrono bisa mengantar pada pemahaman keliru : hidup sepertinya mudah, dan kehilangan unsur misterinya. Kita tinggal duduk-duduk, berpikir yang “baik-baik”, maka hidup kita akan “jadi baik”. Itu adalah tafsiran paling kasar dan bodoh terhadap The Secret.

Pembacaan yang cermat (dan tanpa prasangka) akan membawa ke tafsiran berbeda. Misalnya, kalau kita kepingin kaya, kita tidak cukup hanya duduk melamun “menjadi kaya”. Ada serangkaian tindakan, action, yang harus dibuat. Rangkaian tindakan itu pada saatnya akan menghadirkan kejadian dan orang-orang. Dan orang-orang itu pada saatnya mungkin saja membukakan peluang yang bisa kita coba rebut untuk meraih sukses.

The Secret menjelaskan itu dengan cukup rinci. Satu hal yang berulang ditekankan adalah bahwa pada awalnya, sebelum yang lain-lainnya, adalah “pikiran”. Pikiran adalah kunci awalnya. Statemen bahwa kita akan menjadi apa yang tiap hari kita bayangkan atau pikirkan sangat jelas, mudah dipahami, dan tak perlu mengundang polemik.

Lantas di mana letak bahaya “sesat”nya The Secret? Menurut saya, The Secret—seperti juga feng shui—adalah tawaran untuk memahami “Dia”, dan banyak hal lain dalam hidup kita, dengan cara berbeda. Di dalam feng shui (dan The Secret) menurut saya, “Dia”, Tuhan, Allah yang kita sembah itu, tetap ada, hadir, dan terlibat dengan setiap kejadian, hanya saja tak disebut secara eksplisit dalam bahasa agama yang kita kenal.

Di sana “Dia” terdefinisikan dalam rumusan dan kosa kata yang lain samasekali : chi (dalam feng shui), ladang energi atau medan energi (menurut The Secret dan fisika kuantum).

Saya tak kaget kalau pikiran semacam ini sulit diterima mereka yang terbiasa berpikir lurus dan tertib dalam kaidah-kaidah liturgis yang sudah mapan dan telanjur diakrabinya. Mereka ini suka berpikir bahwa segala sesuatunya memang “pasti”, dan bisa dirumus-rumuskan dengan eksplisit pula.. padahal bukankah Kitab Suci sendiri jelas-jelas menyebut “Dia” adalah “terang yang tak terhampiri”, dalam salah satu ayatnya?

Setara dengan ayat itu, ribuan tahun sebelum Kristus, kitab Tao sudah menulis bahwa “kebenaran yang bisa dirumuskan dengan kata, bukanlah kebenaran sejati”. Artinya jelas sekali, Sang Kebenaran Sejati, karena itu berada di luar jangkauan bahasa (dan akal) manusia yang cupet tapi suka sok tahu.

Pastor Eddy. Kristiyanto, OFM, dalam pengantar bukunya “Selilit Sang Nabi”—yang mengupas perihal keberadaan bidah atau sekte-sekte yang dianggap sesat--menulis bahwa “hidup kita berada dalam tegangan sehat antara absolutisme dan relativisme”, karenanya “tiada seorang pun atau lembaga mana pun boleh mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pemilik, pembela, dan penafsir kebenaran”.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...