28 January 2010

Kado 100 Hari : Pemerintah Kadang Suka Bikin yang "Aneh"


Pemerintah memang musti diawasi dan dikritik, dan kadang-kadang dengan cara yang harus keras. Contohnya dalam pengadaan mobil dinas pejabat seharga 1,2 milyar belum lama ini, yang dari sudut pandang apa pun tak bisa dibela. Kebijakan—yang tak bijak itu--sungguh sangat sekali menyakiti sanubari rakyat—di mana saya menjadi bagian di dalamnya.

Bahkan petinggi puncak di Malaysia dan Inggiris sekalipun tak memakai mobil dinas sehebat itu. PM Inggris dikabarkan menggunakan mobil dinas yang harganya tak sampai separoh mobil dinas pejabat di sini. Mobil dinas PM malaysia lebih murah lagi.

Mohon dicatat juga bahwa harga sebuah mobil dinas itu setara dengan dana APBN untuk pembangunan 3 buah sekolah. Ini memang konyol dan absurd. Jadi memang pemerintah kadang-kadang suka tergoda bikin yang “aneh-aneh” juga, seraya melukai hati rakyat yang sudah susah payah antre memilihnya waktu Pemilu.

Tapi beberapa kebijakan “absurd” seperti itu belumlah cukup menjadi alasan menyuruh pemerintah bubar. Termasuk kasus Century yang secara kasat mata saja terlihat telah diplintir sedemikian dahsyat demi mengenyangkan naluri kanibalistik sejumlah elit politik di sini. Kasus itu sendiri kini telah mencapai tahapan genting.

Orang sama menunggu apa yang bakal dibuat SBY? Beranikah dia mengambil pilihan sulit dan tidak populer dengan lebih mengutamakan aspek moral, ketimbang mencari jalan pintas yang aman dengan mengorbankan nama-nama yang sebetulnya hanya dijadikan korban dalam perseteruan antara, untuk meminjam istilah Wimar Witoelar, para “makelar politik” di Senayan.

27 January 2010

Pansus Bisa Saja Bohong


Menjadi semakin jelas bahwa Pansus Century memang bekerja dengan tendensi dan muatan politis yang sangat kental, dan dalam rangka mencapai target-target politisnya segala cara pun ditempuh. Sudah sejak dari awal kita sebetulnya bisa menebak itu, dan hari-hari ini, menjelang masa tugas Pansus selesai, kita tidak perlu lagi main tebak-tebakan soal itu.

Salah satu trik busuk yang digunakan untuk memuluskan target-target politis itu adalah dalam urusan pemanggilan para saksi ahli. Kita terusik bertanya misalnya, kenapa “saksi ahli” yang jelas-jelas punya hubungan dengan parpol non-koalisi tetap saja dimintai keterangannya. Sudah barang tentu sulit kita mendapat jawaban netral dan obyektif dari mereka. Tapi marilah kita maklum, memang bukan jawaban obyektiflah yang dicari. Yang dibutuhkan adalah penjelasan yang sesuai “frame” yang sudah disiapkan.

Yang juga sangat aneh adalah bahwa mereka pun, hingga tulisan ini dibuat, tidak memanggil saksi ahli dari institusi perbankan, kalangan yang mustinya paling paham manfaat dan mudaratnya kebijakan bailout Century itu. Tapi lagi-lagi kita pun menjadi mahfum adanya. Mengapa saksi ahli dari kalangan perbankan tidak dipanggil adalah karena penjelasan dari kalangan perbankan itu dikuatirkan akan “mementahkan sementah-mentahnya” segala kesimpulan prematur yang sudah disiapkan Pansus.

Dengarlah apa kata Sigit Purnomo, Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional, misalnya. Kondisi krisis pada 2008 memang mencemaskan kalangan perbankan. Indeks saham anjlok 50% & rupiah terdepresiasi 30%. Itu merupakan terendah sejak krisis 1998. Maka para bankir, kata Sigit, sepakat menyatakan bahwa tindakan bailout Century adalah tepat untuk menyelamatkan situasi perbankan saat itu (Koran Tempo, 27 Januari 2010).

Jika Pansus akhirnya tetap ngotot mengeluarkan kesimpulan dengan mengabaikan samasekali argumen-argumen “obyektif” dan netral” seperti di atas, bukankah bisa dianggap mereka sudah terang-terangan membohongi rakyat? Tapi kebohongan demi kebohongan yang terus diulang-ulang akhirnya akan terasa menjadi “benar”, bukan? Dan itulah agaknya bencana besar yang sedang menunggu bangsa ini, jika proses pembohongan itu tak ada lagi yang bisa menyetopnya.

26 January 2010

Yuriorkis Gamboa, "Mimpi Buruk" Buat Chris John


Yuriorkis Gamboa, juara dunia tinju kelas bulu WBA asal Kuba, adalah calon bintang yang sedang dalam proses menuju puncak. Mungkin betul prosesnya mencapai puncak itu masih akan cukup lama, tapi sekiranya ia bisa tampil konsisten seperti ketika Ahad kemarin menggasak jago Tanzania, Roger Mtagwa, hanya dalam dua ronde kurang (rekornya sejauh ini cukup gemilang, 15 menang KO dari 17 laga), maka di atas kertas akan sulit menahannya terus melaju ke puncak.

Bob Arum, promotor yang menaunginya memang sudah merancang jalur khusus untuknya menggapai puncak. Ia berniat mempertemukan alumnus Olimpiade 2004 itu dengan jawara kelas bulu dari WBO, Juan Manuel Lopez. Tapi sebagai pebisnis andal yang kini menguasai jagat tinju profesional, Arum tentu tak mau buru-buru menjual partai laga mereka dalam waktu dekat.

Sebelum sampai pada mega-laga itu perlu dicarikan dulu sejumlah “korban” yang dipandang akan dapat semakin mengangkat nilai jual parai besar itu. Spesifikasi calon korban yang dikehendaki Arum tentu saja bahwa ia harus cukup punya nama besar, tapi diyakini tak bakal menjadi penghalang bagi rencana terciptanya partai akbar tersebut. Gampangnya, lawan dari Gamboa nanti boleh saja “petinju hebat” tapi jangan “lebih hebat” dari Gamboa sendiri.

Dalam kaitan dengan hajatan besar inilah kabarnya Bob Arum juga sudah melirik kemungkinan mempertemukan Gamboa dengan Chris John, juara dunia tinju kelas bulu “super champions” WBA asal Indonesia. Bagaimana peluang Chris John jika sampai ketemu Yuriorkis Gamboa? Belum apa-apa pengamat tinju M Nigara sudah pesimis. Ia malah berharap agar Chris jangan sampai ketemu “Si Angin Puyuh Guantanamo” (julukan Gamboa) dari Kuba itu.

Melihat bagaimana perkasa dan ganasnya Gamboa menyudahi Mtagwa kemarin Ahad, dan melihat bagaimana penampilan Chris John selama ini, pesimisme itu bukan tanpa alasan. Yuriorkis Gamboa rasanya memang akan menjadi “mimpi buruk” bagi juara dunia tinju yang kita punya itu. Sayangnya di olah raga rinju kita tak mungkin berlindung di balik pameo klasik seperti “bola itu bundar”. Keunggulan petinju Kuba itu dibanding Chris John terlihat sangat menyolok.

Mempertemukan Chris John dengan Yuriorkis Gamboa mungkin seperti mengadu PSSI melawan tim sepakbola nasional Brazil atau Inggris. Maka seperti M Nigara, saya juga berharap Chris John mudah-mudahan tidak sempai ketemu Gamboa.

20 January 2010

Ketemu Marsilam, Pansus Menubruk Tembok


Saya sangat menikmati "pertunjukan" Marsilam Simanjuntak di depan sidang Pansus Century beberapa malam yang lalu. Sesudah dibikin muak berminggu-minggu menonton aksi barbar sejumlah politisi Senayan, malam itu saya merasa cukup mendapat "pencerahan" melihat bagaimana Marsilam membuat mati kutu "gerombolan penyamun" itu.

Pada mulanya barangkali Pansus berharap mendapat “tangkapan besar” dengan menghadirkan Marsilam. Mereka tampaknya bernafsu sekali membongkar “teka-teki” keberadaan Marsilam pada rapat-rapat KSSK. Di luar dugaan, Marsilam dengan lihai menghindar dari segala “jerat” pertanyaan yang dilemparkan padanya. Ia tak mempan dipelintir, ia juga tak jadi kelimpungan ketika ada anggota Pansus yang mencoba membentak-bentaknya; mungkin dengan niat membikinnya ketakutan—seperti yang lainnya.

Goenawan Mohamad melalui Twitter menyebut penampilan Marsilam malam itu sebagai “The Great Marsilam Show” Kata Goenawan selanjutnya, kuliah umum Marsilam malam itu kepada anggota Pansus adalah “Jika anda tidak begitu pintar, setidaknya berpikirlah jernih”. Sedang menanggapi komentar Bambang Soesatyo yang menyebut jawaban-jawaban Marsilam “membingungkan”, Goenawan menukas “Saya juga yakin jawaban itu bisa membingungkan keledai”.

Terima kasih Marsilam. Ke depan, saya berharap para saksi lain yang dipanggil akan berani tampil nyantai dan bernyali seperti beliau pula.

14 January 2010

Kasus Century Di Mata Christianto Wibisono


Christianto Wibisono dalam “debat” dengan Kwik Kian Gie di Metro TV semalam antara lain berkata bahwa energi kita sudah terkuras terlalu banyak untuk mengurusi sengketa Bank Century yang bertele-tele. Kita, katanya pula, jadi membuang-buang banyak waktu dan momentum untuk maju. Ia mencontohkan dalam konperensi G 20 tempo hari Meksiko berhasil memanfaatkan fasilitas pinjaman dari IMF, yang kata Wibisono, sekarang sudah “banyak berubah dan tidak seperti dulu lagi”. Sedang kita, karena kelewat takut dituduh “neolib” lebih suka menyibukkan diri dengan segala macam omong kosong seperti kasus Century yang ternyata hanya memaksa.kita berjalan di tempat.

Sebagai orang awam saya pun (dan yang seperti saya ini mungkin sekarang juga banyak) mulai menjadi jenuh dan lelah dengan segala pemberitaan seputar Pansus Angket Century. Seperti Wibisono saya pun setuju bahwa di balik segala retorika gagah atas nama rakyat dan kebenaran yang digembar-gemborkan pihak pro Angket, sebetulnya goal dari semua ini adalah usaha untuk (kalau bisa) mendongkel pemerintah.

Kelompok oposisi terus berhalusinasi bisa menjatuhkan penguasa, sedang pihak yang sebetulnya menjadi mitra koalisi penguasa pun pun rupanya melihat ada berkah tersembunyi yang bisa mereka dapat dari hajatan Angket ini. Itu sebabnya mereka jadi kelihatan begitu bersemangat dan kompak. Ironisnya, kata Christianto Wibisono lagi, pihak yang dikiritik tampaknya terlalu “lugu” untuk mengantisipasi manuver-manuver itu. Mereka terlihat tak tak bisa mengimbangi tarian perang yang dimainkan pihak lawan.

Sementara itu publik semakin tergiring kepada pemahaman berat sebelah seperti yang selama ini secara sistematis disebarkan. Alhasil kita sungguh tidak tahu akan berujung di mana segala keriuhan yang melelahkan ini. Pansus terus sibuk mengumpulkan orang-orang yang mereka harapkan bisa mengisi dengan pas “frame” yang telah mereka siapkan lebih dulu. Mereka akan senang sekali kalau bisa memojokkan saksi sampai tergagap-gugup (malahan menangis), sebaliknya akan buru-buru menyatakan “tidak puas” apabila yang dipanggil bisa dengan percaya diri menangkis dan menggagalkan semua teori mereka.

Maka sekali lagi, mungkin benar kita sudah membuang-buang energi terlalu banyak untuk sebuah pepesan kosong bernama Bank Century.

Ada "Perang Lain" Di Balik Century


Sri Mulyani, “singa betina” yang biasa tampil perkasa dari forum ke forum, agaknya merasa “keder” juga tatkala harus menghadapi “gerombolan penyamun” di gedung parlemen kemarin. Ia merasa perlu membawa “pasukan” komplit (para pegawai Depkeu eselon 1) yang kemudian pada duduk memenuhi balkon. Ada juga Anggito Abimanyu, “murid kepala”nya, dan suaminya tersayang, Tonny Sumartono. Bukan hanya itu, ia pun mempersenjatai diri dengan seuntai tasbih yang terus dimainkannya selama sidang berlangsung.

Apa yang dilakukan Sri Mulyani menurut saya tepat. Kehadiran “pasukan” yang dibawanya itu sedikit banyak akan bisa menetralisir pengaruh energi buruk yang berada di sekitarnya. Saya cukup percaya bahwa lawan-lawan Sri juga menggunakan segala macam cara untuk merebut kemenangan. Misalnya, dengan mengerahkan dan meniupkan aroma atau aura negatif kepadanya, dengan tujuan mungkin membuatnya gugup, marah, sehingga tidak bisa mengendalikan diri, dan akhirnya masuk ke dalam jerat. (Miranda Gultom menurut saya kena dikerjai dengan cara ini).

Kemarin kelihatannya Sri Mulyani bisa lolos dari segala jerat itu. Saya mendengar kabar ada acara doa bersama yang dilakukannya sebelum berangkat ke “medan laga”. Ini juga bagus dan tepat. Akan lebih baik lagi apabila setelah sidang kemarin (sampai kasus ini selesai) kegiatan doa ini terus dilanjutkan. Saya teringat pada sebuah cerita dalam Perjanjian Lama. Diceritakan di sana, ketika orang-orang Israel berperang sengit di medan pertempuran, Musa dibantu Harun dan seorang lainnya, terus berdoa di atas gunung memohonkan penyertaan Tuhan agar bala pasukan Israel menang.

Diceritakan bahwa setiap kali Musa kelelahan dan berhenti berdoa, keadaan pasukan Israel ikut keteteran, tapi begitu Musa kembali berdoa, situasi pertempuran juga berubah pula. Maka saya berharap ada “musa-musa” yang terus tekun berdoa memohonkan penyertaan Tuhan agar pihak-pihak yang tidak berdosa (sampai saat ini saya masih percaya Sri Mulyani dan Boediono tidak bersalah) dalam urusan Century ini terlindung dari segala cengkraman dan jerat gerombolan jahat.

(Masalahnya juga, sekarang ini sepertinya urusan “benar” dan “tidak benar” makin menjadi “kurang relevan” dalam kasus Century. Usaha-usaha sistenatis yang selama ini dilakukan untuk menciptakan citra jelek pada keduanya (Sri Mulyani dan Boediono) lumayan berhasil. Mayoritas publik (yang malas mikir) menelan mentah-mentah segala kampanye jahat itu. Makanya saya menyebut “tepat” apa yang dilakukan Sri Mulyani dalam sidang kemarin. Sudah saatnya kita mengundang campur tangan Dia dalam urusan ini. Masalah ini kelewat penting untuk diserahkan hanya kepada politikus).

13 January 2010

Sri Mulyani, atau "Perawan" di "Sarang Penyamun"


Sri Mulyani adalah tokoh yang sepertinya tidak bisa menghindar dari kontroversi. Pada awal masa pemerintahan SBY di tahun 2004, ketika namanya mulai santer disebut-sebut sebagai calon kuat menteri ekonomi, sebagian orang meributkankannya. Mereka antara lain melempar gosip murah, menyebut Sri sebagai “kepanjangan tangan IMF”. Tuduhan-tuduhan itu kempis dengan sendirinya ketika ia bisa membuktikan kepiawaiannya selaku Menkeu (maupun Menko) Sejumlah media dan lembaga prestisius kemudian seperti kompak berlomba menobatkannya sebagai contoh pejabat menteri yang sukses.

Tapi hawa panas dari krisis global 2008, yang meruap juga ke sini, menyeretnya kembali ke dalam kancah kontroversi. Kali ini malah auranya jauh lebih membara. Sementara para pelaku bisnis di lapangan memuji manuver gemilangnya (bersama Boediono) menangkal krisis hingga negeri ini luput dari krisis ekonomi jilid 2, sejumlah politikus malah melihat manuvernya itu sebagai celah untuk melakukan penjegalan-penjegalan politis Lihatlah apa yang sudah diperbuat mereka, belum juga menjadi jelas benar-salah duduk perkaranya, sebuah gerakan besar dan sistematis untuk menghakiminya secara barbar sudah dilakukan.

Melihat kiprah Sri Mulyani di tengah “badai kebencian” yang sengaja diciptakan para elit, saya teringat pada sebuah judul roman lama, “Anak Perawan di Sarang Penyamun”. Apa boleh buat, Sri yang memang masih “perawan” dalam urusan politik, telah terpaksa meladeni permainan yang disiapkan para “penyamun”, yang dengan air liur menetes-netes kini mencoba “menggerayinginya” : kalau bisa kepengin mengerkahnya saja bulat-bulat. Kata sebuah situs berita di sini, Sri sampai membekali diri dengan seuntai tasbih tatkala hari ini datang ke gedung parlemen menemui “para penyamun” itu.

Siapa yang bakal menang, “sang perawan” ataukah “gerombolan penyamun” itu? Ketika tulisan ini dibuat peperangan masih berlangsung dengan sengit.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...