16 March 2011

Rumah Nomor 51

Sampai usia menjelang 51 (sebentar lagi), saya masih menempati sebuah rumah tinggal sederhana di sebuah gang buntu di Jakarta. Meski buntu, kondisi gangnya bersih dan tertata baik. Luas tanah kami hanya 44 M2, bangunan rumah terdiri dari dua lantai. Ada dua kamar tidur, dua kamar mandi, dan sebuah ruang yang bolehlah mungkin disebut “ruang keluarga”. Sementara ruang tamu, ruang makan dan dapur menempel menjadi satu, artinya tanpa penyekat, sehingga begitu kita masuk lewat pintu utama (yang merupakan satu-satunya pintu keluar masuk) “seluruh” rumah kami sudah bisa langsung terlihat.

Rumah kami memang tak besar, tapi bagi saya cukup nyaman ditempati. Agak sempit ya, tapi kami mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan itu, dan sejauh ini semuanya berjalan baik.Anak-anak bersama suster tidur di kamar bawah. Mereka menggelar kasur di lantai, dan tidur saling bersisian dibatasi sebuah guling. Suster kami menggelar kasur lain di sebelahnya. Istri saya lebih sering gabung dengan mereka, menggelar kasur satu lagi di sisi yang masih tersisa. Jika orang luar melihat memang situasinya mirip dalam kamp pengungsian, tapi dengan pendingin yang masih berfungsi baik, segala kesumpekan itu tak terasa lagi. Mereka bisa tidur nyenyak, setahu saya, setiap malamnya.

Saya menempati kamar atas, yang lebih luas, tapi tak ada pendingin (sebetulnya ada, tapi tidak dipasang lantaran listriknya tak kuat), sehingga udaranya jadi jauh lebih “hangat” dibanding kamar tidur di bawah. Untuk mengatasinya cukup kami pasang kipas angin manual. Kalau masih kurang “adem” kadang saya tidur di lantai. Tak apa. Saya melakukannya biasa saja, tak ada konflik apa pun. Tidur di lantai pun enak, masih bisa mimpi. Hanya saya perhatikan, kalau saya tidur mengambil posisi dekat pintu, suka diganggu mimpi tidak enak. Mungkin karena saya sudah mengganggu “akses” keluar masuk para hantu ke dalam kamar itu.

Di kamar atas juga ada televisi warna 17 inch bikinan Cina, DVD player buatan Jepang (yang remotenya sekarang macet, dan untuk DVD tertentu tidak bisa keluar suara). Rak buku juga ada dekat kamar, dan kalau mau internetan saya lakukan pula di kamar atas, “nongkrong” di ranjang setelah sebelumnya saya alasi semacam meja kecil. Jadi bagi saya kamar atas memang jauh lebih pas untuk saya tempati. Lebih cocok untuk seorang “penulis besar” (ehm) seperti saya. Dan memang banyak juga “karya besar” saya yang ditulis di kamar atas ini. Kamar ini, tak pelak lagi, adalah semacam “bengkel” kerja saya.

Istri saya lebih memilih tidur di bawah karena kecuali kamar atas lebih “hangat” udaranya, juga karena saya biasa tidur larut malam. Artinya, saya akan tetap menyalakan lampu kamar sebelum saya memutuskan tidur, sehingga tentu saja ia merasa tak nyaman. Ia, seperti kebanyakan orang, lebih suka tidur dalam kamar yang digelapkan lampunya.

Tetangga kiri kami adalah pasangan keluarga muda Cina Bangka. Suaminya, biasa dipanggil A Yung, umur 30-an, punya usaha bengkel motor dan ia ini memiliki tampang dan potongan badan mirip sekali Luis Suares, itu pesepakbola sohor asal Uruguay yang waktu Piala Dunia kemarin bikin geger karena menepis bola di bawah gawang ketika Uruguay ketemu Ghana. Anak saya yang nomor dua, entah mengapa kagum luar biasa pada tindakan “heroik” Luis Suares ini. Ia menganggap aksi Suares itu luar biasa hebat dan kreatif. Percuma saja saya ngotot “memarahi”nya seraya menjelaskan bahwa tindakan “barbar” pemain Uruguay itu menyalahi aturan sepakbola normal.

Tetangga belakang kami terdiri dari beberapa keluarga Betawi asli yang masih saling berhubungan darah. Karena begitu dekatnya jarak rumah kami, kami bisa dengan leluasa menguping segala omongan mereka. Tentu sebaliknya juga, mereka suka asyik menguping segala “keributan” di rumah kami. Sedang tetangga depan kami adalah seorang haji kaya yang memiliki sejumlah rumah kontrakan di sebelah rumahnya. Katanya dulu ia pegawai kantor kecamatan urusan tanah. Maksud saya, kalau betul ia pernah bekerja di bagian yang berurusan dengan “tanah” wajar kalau kemudian dia jadi kaya. Dia juga orang Betawi asli. Orang di situ memanggilnya Haji Mathali.

Tetangga sebelah kanan, belum lagi kami kenal. Mereka adalah pendatang baru, membeli rumah di sebelah kanan kami belum lama ini. Sebetulnya kami mengincar juga rumah itu sewaktu tempo hari ditawarkan, tapi apa daya uang tak ada. Maka terbanglah rumah itu ke pemilik baru yang bukan kami. Rumah yang tadinya “mau rubuh” itu sekarang sudah didandani. Lumayan keren, tapi entah mengapa pemiliknya belum juga menempatinya. Baru Ahad kemarin saya lihat ada sedikit “kesibukan” di rumah itu. Barangkali ini kali betul kami akan segera memiliki tetangga baru, sejumlah “orang asing” yang menempati rumah yang tadinya saya impikan akan menjadi “bagian” dari kehidupan kami.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...