28 August 2013

Kiat Bahagia, Hiduplah Lebih Slow ... ...

KIAT bagaimana caranya supaya bisa lebih "bahagia" ternyata "gampang" saja, yaitu coba hidup lebih pelan, lebih slow, jangan kelewat grasa-grusu. Cobalah sebagai langkah awal, kata penganjur kiat ini, belajar melakukan segala sesuatunya lebih lambat 5 (lima) menit dari waktu yang biasanya kita jalani. Jadi misalnya sarapan pagi 5 menit lebih lama, berangkat ke kantor 5 menit lebih lambat dari biasa, lalu browsing di internet (sebelum mulai kerja) 5 menit lebih lama juga ...

Mungkin terdengar rada konyol nasehat itu, tapi coba perhatikan fakta bahwa ketika sedang liburan kita biasa melakukan hampir segala sesuatu dengan tempo lebih lambat dari biasa, dan nyatanya kita jadi merasa jauh lebih nyaman, bukan? Bukankah sudah lama ditengarai bahwa gaya hidup modern yang selalu terbirit-birit macam lomba itu menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit, dan pada gilirannya menyebabkan ketidakbahagiaan. 

Sebuah temuan mengejutkan (seharusnya tidak lagi mengejutkan) belum lama ini menyebutkan bahwa penduduk Singapura ternyata tergolong penduduk yang "tidak bahagia" di dunia. Mengherankan (seharusnya juga tidak perlu diherani) bahwa ternyata kemakmuran fisik; keserbacukupan materi di negeri mungil nan tajir itu tidak otomatis mengantar pada kebahagiaan. Bahkan kita mungkin menjadi sah untuk bertanya, apakah bukan tidak mungkin kemakmuran fisik itu yang jadi penyebab ketidakbahagiaan di sana?

Temuan itu selanjutnya menyodorkan fakta bahwa penduduk di sejumlah negara Amerika Latin (yang lebih "miskin" ketimbang Singapura) ternyata malah terglolong "bahagia" dengan hidupnya. Mengapa bisa begitu?  Mungkin perbedaan gaya hidup di Singapura dan Amerika Latin itulah penyebabnya. Di Singapura hidup begitu bergegas sehingga orang di sana dipaksa menjalani segala sesuatunya mungkin lebih cepat 5 menit dari biasanya. Sementara di Amerika Latin irama hidup berjalan lebih pelan, dan orang di sana masih bisa melakukan segala sesuatunya 5 menit lebih lambat ...

Mungkin menarik menambahkan satu catatan lagi, yaitu bahwa Singapura adalah contoh negara sekuler di mana hal-hal spiritual makin dianggap sebagai "tidak relevan" lagi. Hal sebaliknya terjadi di negara-negara Amerika Latin. Jadi bolehkah kita pun sedikit bergurau: penduduk Singapura memetik banyak kekayaan duniawi tapi pada saat yang sama mereka dipaksa mencicipi juga pahitnya bebuah sekulerisme?

19 August 2013

Teka-teki Blog yang Hilang

BLOG saya, [Rak Puisi], pernah sekonyong-konyong hilang begitu saja. Kejadiannya sudah hampir dua tahun yang lalu, kalau tak salah ingat. Kalau kita coba mengaksesnya kala itu akan muncul pesan "Blog Ini Sudah Dihapus". Heran bin bingung saya ketika itu--juga sedih dan marah. Bagaimana tidak, blog yang sudah susah payah dirrawat dan diupdate 5 (lima) tahun lebih tiba-tiba saja kok raib. Saya langsung menduga itu kerjaan "hacker". 

Anehnya, akun Gmail saya pun tidak bisa diakses. Lebih aneh lagi blog [Ruang Samping] ini tetap bisa tampil, hanya saya nggak bisa login karena ia menggunakan akun Gmail yang sama dengan [Rak.Puisi].


Saya sempat mengumumkan peristiwa "kematian misterius" blog saya itu di situs jejaring sosial. Beberapa orang secara spontan pada turut menyatakan belasungkawa, sehingga membuat saya sedikit "terhibur" karenanya. Sesudahnya saya merasa akan berhenti ngeblog samasekali, karena kalau harus menulis dari awal lagi rasanya malas sekali.

Tapi kemudian terjadi lagi hal yang lebih aneh. Sesudah lewat beberapa bulan, ketika saya sudah mulai belajar melupakan "nasib malang" saya itu, eh blog yang hilang itu tahu-tahu bisa diakses kembali sewaktu saya secara iseng mencoba memanggilnya. Saya periksa ternyata keadaannya tak kurang suatu apa, masih sama persis seperti sebelum ia "hilang". Dan akun Gmail saya yang macet mendadak bisa diakses juga.

Begitulah, dengan terheran-heran saya lalu mengumumkan kembalinhya blog itu. Sampai hari ini saya tetap tak paham gerangan apa yang sebetulnya terjadi dengan blog puisi saya itu. Saya menduga-duga apakah ini kerjaan Google--selaku pemilik Blogspot? Mungkin  ada "perilaku" blog saya yang dianggap "melanggar akidah", maka blog itu kena cekal. Kemudian agaknya terbukti bahwa saya tak bikin dosa apa pun, maka ia dibebaskan kembali. Hanyai apakah betul duduk soalnyha demikian? Wallahuallam.

Sedihnya, mungkin saja ada yang kemudian mengira saya sengaja membikin kehebohan itu guna menarik perhatian.

14 August 2013

Misalkan Dulu Saya tak Kawin

YA, misalkan dulu hari itu saya memutuskan tak kawin, tetap lajang begitu, sedang apa gerangan saya saat ini, pada malam nan sepi ini? Saya pasti tidak sedang berada di rumah yang kini saya tempati ini. Sebuah rumah di sebuah gang (buntu) di Kebon Jeruk Jakarta. Jadi di mana kiranya saya tinggal? Oh,  mungkin sekali saya memilih menetap di Bekasi, nemplok di rumah orang tua, di sebuah perumahan menengah di Kalimalang.

Atau saya tinggal di sebuah rumah BTN tipe 45 yang dulu memang sempat saya beli, di Bekasi juga, hanya lokasinhya rada mojok, aksesnya setahu saya lumayan macet sehari-harinya. Rumah itu mungkin sudah saya desain sedemikian rupa, sehingga cocoklah untuk ditinggali seorang bujangan yang punya kegemaran membaca dan menulis. Jadi saya membayangkan di rumah itu ada sebuah kamar kerja yang merangkap perpustakaan pribadi. Tentu ada juga internet, televisi layar datar dan seperangkat alat pemutar musik--sebab sang bujangan lumayan gemar mendengarkan musik.  

Kata orang, hidup hanyalah soal pilihan. Memang kalau saya coba berandai-andai dan membayangkan kembali jika saja pilihan yang dulu saya ambil itu adalah bukan yang sekarang saya jalani, sejuta kemungkinan dari yang sangat "biasa" sampai yang paling "gila" segera terbayang di dalam ini jidat. Jangan salah sangka dulu, saya tak menyesali pilihan saya, saya hanya sedang mencoba iseng dengan imajinasi saya.

Dan jujur, saya sungguh takjub tapi sekaligus "ngeri" juga membayangkan serba kemungkinan jalan nasib saya sekiranya pilihan "tidak kawin" itu yang dulu saya ambil. Di atas semuanya, tak ada jaminan sama sekali bahwa hidup saya akan jadi "lebih bahagia"--pilihan hidup melajang tentu mempunyai konsekuensinya sendiri, bukan?

(Tapi satu hal bisa saya pastikan betul, jika misalkan dulu saya memang tak kawin, maka tulisan ini sudah pasti tak akan pernah ada  Atau sebaliknya saya kemudian menulis, "Misalkan Dulu Saya Kawin" Aduh kacau sekalki, sudahlah tidak usah beranda-andai. Jalani saja yang sudah telanjur ada ini).

12 August 2013

Beli Buku, Dari Mana Duitnya?

MESKI lumayan doyan membaca, anggaran saya untuk buku tak pernah besar. Sebabnya simpel saja, dana untuk itu memang tak banyak tersedia. Dulu waktu masih bujang sih lain kondisinya. Sekarang saya perlu berhitung cermat untuk setiap rupiah yang saya keluarkan. Yah, maklum pegawai kecil.

Biasanya saya terbantu oleh duit honor puisi dari koran yang memuat sajak saya. Meski tak banyak, lumayanlah. Tapi yang namanya puisi kan juga tidak bisa rutin keluar seperti kita "ngepuk" saban pagi.. Sekarang saja misalnya, sudah setengah tahun belum ada lagi puisi yang datang menemui saya. Ini juga ada sebabnya: rutinitas kantor bikin saya mati kutu.

Jadinya seperti lingkaran setan. Puisi memang memerlukan prasyarat khusus--dalam kasus saya--untuk bisa dihadirkan. Saya butuh jeda yang cukup lama guna menyiapkan dulu atmosfir penciptaan itu. Saya bukan penulis yang bisa leluasa menulis pada segala cuaca. Tapi mungkin saya harus mencoba mengubah "gaya" itu, mencoba memutus "lingkaran" yang membuntukan ini. Ya, mungkin dengan percobaan-percobaan "kecil" dulu.

Tapi jujur saja, saya tak yakin akan bisa melakukannya.

10 August 2013

Lebaran Sudah Lewat

RASANYA belum lama kita masuk ke Bulan Ramadhan, berpuasa, bertarawih, bersahur, eh tahu-tahu sudah Lebaran, dan yah sekarang Lebaran juga sudah lewat. Rasanya baru kemarin dulu saya terima duit THR (yang tak pernah cukup itu), kini bersama "Sang Lebaran" yang buru-buru pamitan di ujung kalender, "Sang THR" pun sudah ikutan ludes.

Untunglah Lebaran tahun ini jatuh di pertengahan minggu, sehingga masih tersisa hari Sabtu dan Ahad, sehingga kita pun masih bisa memanjangkan libur dan tidur, masih boleh melupakan tumpukan pekerjaan di kantor. Saya sendiri mengambil cuti sampai Selasa pekan depan karena suster penjaga anak-anak baru balik dari mudik Rabu pagi.

Saya berharap bisa memanfaatkan sisa liburan ini sebaik-baiknya untuk membaca, hal yang belakangan (dua tahu terakhir ini) menjadi sulit saya lakukan karena kerepotan kerja kantor. Kerepotan itu sampai pernah begitu gilanya hingga rasanya tak ada lagi ruang tersisa di kepala saya untuk hal lain selain pekerjaan. Saya sungguh berharap "kerja rodi" semacam itu tak akan pernah datang lagi.

Saya ingin hidup yang "normal" saja, seperti jutaan pekerja lain di planet ini. Bekerja delapan jam sehari, itu cukup nggak usah pake "bonus" lembur segala-- lebay itu sebutanya. Lalu sisa waktu didedikasikan sepenuhnya untuk anak-anak dan keluarga. Dan tentu saja juga untuk dua blog saya tercinta, ehm.

08 August 2013

Lebaran, Menu Setahun Sekali

LEBARAN memberi kesempatan kepada, setidaknya saya, untuk mencicipi menu makan yang sangat beda. Yaitu ketupat dengan segala lauk dan "asesori"ya. Menu yang sangat spesial, tidak akan pernah kita temukan di restoran mana pun juga, karena ketupat Lebaran itu dibuat oleh para tetangga kita sendiri.

Dari tahun ke tahun memang menunya "standar", ketupat lalu ada opor ayam, bumbu santan, dan kadang ada tambahan potongan daging rendangnya. Meskipun dari dulu menunya "dari itu ke kitu juga" saya ternyata sangat menikmatinya, tak pernah merasa bosan. Mungkin karena kesempatan saya menikmatinya hanya datang setahun sekali.

Tapi pastilash itu juga karena masakan-masakan itu telah diolah dengan sangat piawai. Ah, saya jadi tahu sekarang bahwa Ibu Haji tetangga depan rumah saya, yang penampilan sehari-harinya "biasa" saja, ternyata rendang Betawinya enak sekali. Saya pun jadi mendusin bahwa tetangga di ujung gang sana, yang cuma saya kenal begitu saja, ternyata masakan ketupat dan kuah santannya betul muantab    

Nah, bolehlah pada kesempatan yang baik ini, saya menghaturkan terima kasih karena mereka telah sudi mengingat saya, menyisihkan sebagian dari panganan Lebaran untuk keluarganya guna memberi juga saya kesempatan mencicipi bersama "nikmat" lidah ini. Lebaran memang bukan hari biasa. Minal aidin wal faidzin, maaf lahir dan bathin.

05 August 2013

Ramadhan dan Saya

MESKI bukan muslim, bulan Ramadhan selalu bearti khusus buat saya. Mungkin sebagian karena  kenangan masa kanak. Ketika itu, bulan Ramadhan--Bulan Puasa, begitu saya biasa menyebutnya kala itu--identik dengan libur panjang sekolah. Liburnya lebih panjang ketimbang libur sekolah sekarang, yang "hanya" sepuluh hari. Libur Puasa sekolah ketika itu bisa sampai sebulan atau lebih. Sebagai bocah tentu saya begitu suka cita menyambut datangnhya "Bulan Liburan" itu.

Selain itu, suasana di bulan yang satu ini--khususnya pada malam harinya--memang beda. Malam-malam di bulan Ramadhan adalah malam-malam yang "meriah". Pemandangan rombnongan jamaah yang berduyun-duyun mendatangi masjid guna bersholat Tarawih, entah mengapa, menyejukkan saya. Lalu panggilan untuk ber-sahur pada sepi dinihari, sungguh membuat saya merasa damai. Beberapa kawan saya di masa kanak suka bercerita bahwa selama Bulan Puasa semua setan pada dikurung sehingga, katanya, kita tidak usah takut keluyuran sendiri di malam-malam Bulan Puasa itu.

Ketika saya beranjak lebih besar, ada satu hal lagi yang teramati. Yaitu pada bulan Ramadhan sepertinya semangat orang untuk belajar (maksud saya membaca kitab-kitab agama) juga meningkat  Saya tak  peduli apa yang mendasari kegairahan membaca buku pada bulan Ramadhan itu, yang pokok dan positif adalah bahwa kegairahan itu sudah terjadi,  Dan biasanya saya juga ikut ketularan, jadi tambah semangat membolak-balik kitan pelajaran agama yang biasanya jarang saya jenguk itu.

Jadi singkatnya, Ramadhan memang bulan yang "beda"--tak peduli saya bukan muslim--saya merasa bisa ikut menikmatinya juga. (Belakangan Ramadhan juga punya arti lain bagi saya. Yaitu bahwa bulan ini menjadi identik dengan akan keluarnya THR--tapi ini catatan dari sudut pandang yang lain lagi). Maka seperti penyair Taufiq Ismail dalam salah satu syair Ramdhannya yang dinyanyikan dengan amat syahdunya oleh Grup Musik Bimbo, saya pun suka merasa "kehilangan" setiap kali bulan nan penuh barokah ini akhirnya usai.

Bahkan ada membersit sedikit rasa gamang, bisakah saya ketemu lagi Ramadhan di tahun depan? Masih bisakah, misalnya, saya ketemu ibu saya, yang tahun ini sudah 78, pada "Bulan Puasa" berikutnya? .  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...