29 October 2013

Mental 1/2 Juara, Kasus Yayuk Basuki dan Boaz Solosa


DULU kita punya petenis cewek hebat, namanya Yayuk Basuki. Prestasinya lumayan, pernah bisa nembus
30 besar dunia. Banyak orang berharap ia bisa lebih baik dari itu, dan sebetulnya ia memang bisa karena ia memang punya talenta bagus. Sayang, talenta bagus itu terbuang sia-sia karena ia tidak ditangani pelatih yang bisa menggenjot kemampuannya secara maksimal.

Yayuk Basuki dilatih oleh suaminya sendiri. Ia tidak menggubris masukan yang diberikan banyak orang supaya ia berganti pelatih yang lebih profesional. Ia berdalih sudah menemukan pelatih yang pas dan cocok. Yah, kalau sama suami sendiri tentu saja lebih enjoy suasananya. Capek sedikit bisa ngaso dulu, kepingin sarapan sama indomie aja diturutin. Kalau caranya begini, mafhumlah kita kalau prestasinya lalu cuma segitu aja..   
 
Tidak begitu dengan Li Na, petenis top Cina saat ini. Begitu merasa prestasinya “macet” ia tak sungkan “memecat” suaminya, yang sebelumnya melatihnya, dan mencari pelatih lain. Li Na lebih serius, lebih bertanggungjawab, dan yah lebih profesional menggeluti tenis, tak seperti Yayuk Basuki, yang bersikap setengah-setengah. Maka tak heran kalau sejauh ini prestasi petenis Cina itu juga jauh lebih “moncer” ketimbang petenis kita. Terakhir ia nangkring di posisi 3 Dunia—prestasi tertinggi sejauh ini yang pernah dicapai petenis putri Asia.

Saya tak tahu kenapa ada banyak orang seperti Yayuk Basuki di sekitar kita? Orang-orang dengan bakat bagus, tapi malas (atau takut?) untuk mendaki lebih tinggi? 

Di lapangan sepakbola ada Boas Soloza. Pemain Papua ini kabarnya pernah dilirik sebuah klub dari Belanda. Tapi alih-alih menguber kesempatan bermain di luar negeri, Boas ternyata lebih suka tetap berada di “zona aman”nya, bermain untuk klub lokal, Persipura.

06 October 2013

Marah Kepada Koruptor

JUJUR saja saya termasuk mereka yang sudah bosen dengan berita korupsi. Jadi kalau ketemu berita seperti itu saya merasa sudah cukup dengan membaca judulnya saja--itupun saya lakukgan separuh hati. Soal kelanjutan kisahnya cukup menguping sambil lalu dari obrolan teman sehari-hari. Buat apa musti membuang-buang waktu memonitor kasus yang kita sudah sama tahu juga akan berakhir tidak jelas? Segalanya percuma saja. Ada maling ketangkep, tapi petugas pengadilnya sesama maling juga, jadi tahulah kita cerita akan seperti apa endingnua.

Tapi membaca warta ihwal Ketua MK, Akil Mohtar, yang tertangkap basah, emosi saya yang sudah lama "beku" ternyata masih bisa tersulut juga. Sepertinya publik juga tersengat oleh berita ini. Kejadian ini betul-betul menggempur sisa-sisa "harapan" kita perihal usaha penegakan hukum yang sementara itu kita tahu memanglah bagaikan kerja menegakkan benang basah. Sebuah kerja Sisifus.

Kemarin sewaktu akan pergi ke gereja ada satu kejadian kecil yang mengusik: seorang pengendara sepeda motor meneriaki sebuah truk yang sedang "bertugas" membawa sebuah Ferrary (maaf, kalau saya keliru menuliskannya, saya memang tak familiar dengan merek-merek mobil, apalagi yang "mewah") dengan makian sarkastik yang kayaknya hari-hari ini "mewakili" kemarahan kita kepada koruptor-koruptor itu.

Masalahnya, kemarahan saja tak cukup, dan kalau Presiden saja tak berdaya--sudah lama kita tahu ini--kepada siapa sekarang harapan kudu digantungkan? Kepada Prabowo Subianto? Ah, janganlah membikin saya kembali "menangis terpingkal-pingkal".
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...