Angkot adalah kendaraan umum “andalan” warga kota kebanyakan karena ongkosnya yang murah meriah, dan karena rute trayeknya yang bisa nyelusup menyuruk jauh ke pelosok perumahan dan kampung. Sekarang ini tarif angkot untuk jarak dekat (atau dalam kompleks perumahan) setahu saya dua ribu perak, sedang untuk jarak lebih jauh dari itu bervariasi, dari 2.500 sampai 4.000. Dengan ongkos segitu penumpangnya umumnya sudah pada maklum akan mendapat mutu “servis” yang serupa apa.
Tempat duduk belakang biasanya diisi 10 penumpang, dan berlaku rumus “nasional” : 6 dan 4. Artinya, untuk bangku yang lebih panjang, yang menghadap ke pintu, musti diisi enam pantat, sedang bangku satunya, yang lebih pendek, disiapkan untuk 4 penumpang. Kalau ada penumpang yang membawa anak, sopirnya akan segera bertanya curiga, “Itu anaknya bayar nggak? Kalau nggak bayar tolong dipangku ya.” Sering pula ada bangku kecil tambahan di dekat pintu. Bangku depan di sebelah sopir biasa diisi 2 penumpang,. Maka dalam kondisi “normal” sebuah angkot bisa mengangkut 13 penumpang sekali jalan.
Masalahnya, tidak selalu angkot bisa penuh termuat seperti itu. Maka ada banyak sopir yang memilih ngetem berlama-lama, menunggu “mobilnya” penuh dulu, sembari membiarkan penumpang yang sudah telanjur naik menggerutu. Saya perhatikan, biasanya para sopir yang “hobi” ngetem itu ternyata gemar juga ngebut. Agaknya untuk mereka ini berlaku aturan “ngetem selama mungkin, ngebut sekencang bisa”. Banyak yang bilang itulah ciri utama para sopir-sopir tembak.
Para “sopir tembak” itulah yang sering bikin suasana tambah tak nyaman dalam angkot. Biasanya mereka para preman yang lagi nganggur. Namanya juga preman, kelakuannya pastilah rada-rada “gokil”. Kadang ada yang membawa kendaraan dalam keadaan setengah teler, ada yang mulutnya tiap sebentar mengeluarkan bunyi-bunyian jorok, ada yang sukanya nyetel musik atau radio dengan volume gede. Maka kalau kemudian ada kabar mereka melakukan pula tindak kriminal, seperti main rampok-perkosa-bunuh penumpangnya sendiri—saya pribadi tidak kelewat kaget.
Angkot—dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, penumpang serta awaknya-- memang berada dalam zona kritis. Awak angkot hampir pasti adalah individu dari kelompok “bawah” yang hidup tergencet situasi kehidupan ekonomi yang sulit, yang boleh dikata terus-menerus berada dalam situasi “genting”. Kondisi keras di jalan raya (polisi yang gemar main tilang, kemacetan yang tak masuk akal, cuaca panas tropis), semakin menjebak mereka menjadi tambah dekat pada pilihan-pilihan untuk berlaku kriminal.
Saya tak hendak membuat telaah sosiologi yang rumit. Saya bukan ahlinya. Ini hanya hasil amatan sepintas lalu dari seorang warga kota biasa yang kebetulan terpaksa mengandalkan juga angkot dalam urusan sehari-harinya. Saya hanya hendak bilang bahwa suasana di lapis bawah masyarakat kita, suasana Indonesia lapis bawah—yang antara lain terepresentasi dengan utuh dalam sebuah angkot—sedemikian genting dan kritisnya, sehingga peluang terjadinya laku kriminal sangat sangat terbuka.
Maka saya termasuk yang menganggap aneh pendapat yang mengatakan ada hubungan antara rok (yang) mini dengan maraknya kasus perkosaan dalam angkot. Perkosaan-perampokan-pembunuhan dalam angkot kaitannya pastilah dengan kondisi kemiskinan dan pengangguran yang mengoyak-ngoyak masyarakat kita. Adapun rok mini, menurut saya, adalah sekadar “asesoris tambahan” yang sedikit banyak kehadirannya justru bisa ikut membantu membuat “adem” suasana dalam angkot. Mohon maaf, kalau banyak yang tak setuju dengan pendapat yang terakhir ini.
26 September 2011
07 April 2011
"Jika Besok Anda Mati", Nasehat Steve Jobs
Jika anda tahu hari ini adalah hari terakhir hidup anda, artinya anda juga tahu bahwa besok anda dipastikan mati, apa yang akan anda lakukan hari ini? Steve Jobs, pendiri Apple Computer, punya jawaban menarik untuk pertanyaan itu. Bila ini adalah hari terakhir saya, tanya si jenius itu pada diri sendiri, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini? Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah.
Saya pernah mendengar petuah bijak bahwa pendorong terbesar sukses seseorang ternyata bukanlah soal-soal teknis semacam “skill” atau “modal” (uang), atau bahkan “koneksi”, melainkan “rasa kepepet” orang itu. Masuk akal, seorang yang terpojok dalam situasi ekstrem yang tidak memberikannya pilihan lain kecuali “bertarung sampai tetes darah terakhir” sering malah keluar sebagai pemenang dengan hasil terbaik yang di luar segala hitungan.
Jika situasinya “aman-aman saja”, tentu saja kita akan gampang tergoda untuk tidak bertarung habis-habisan. Jalan keluarnya adalah dengan menciptakan sebuah “situasi kepepet artifisial”. Steve Jobs punya trik sendiri yang memaksanya selalu berada dalam situasi “kepepet artifisial” itu, yaitu dengan (selalu) memikirkan kematian. Ujarnya, “Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar.”
Jika anda tahu anda bakal segera mati maka anda akan tahu juga bahwa segala soal remeh-temeh—seperti perasaan takut gagal atau malu, yang biasanya menjadi perangkap terbesar kebanyakan orang untuk berhasil—menjadi tidak relevan lagi. Jika anda sebentar lagi mati, maka yang tertinggal hanyalah soal-soal yang esensial. Yang terisisa kini hanyalah suara hati anda sendiri. Dan pertanyaannya tinggal, masihkah anda akan mengabaikannya, suara hati anda itu, pada hari terakhir hidup anda ini? Bagi Steve Jobs jawabannya pasti, “Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.”
Tentu saja tidak ada seorang pun yang ingin mati, kecuali ia sedikit tidak waras. Bahkan orang yang kepingin masuk surga pun—sekali lagi, kecuali ia sedikit tak waras—tidak mau buru-buru mati dulu. Masalahnya, kata Steve Jobs, kematian adalah kepastian yang terus mendekat. Kabar baiknya, kesadaran akan hal itu membantu mengingatkan bahwa waktu kita di planet kecil ini sungguh sangat terbatas.
Waktu kita terbatas, jadi jangan sia-siakan hidup ini Jangan menari mengikuti genderang yang ditabuh orang lain. Atau dalam kata-kata Steve Jobs sendiri. “Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda—yang lainnya hanya nomor dua, atau malah nomor tiga.
Jika kita sepakat dengan semua uraian itu, mulai esok pagi, seperti Steve Jobs, baiklah kita melihat ke cermin dan bertanya pada diri sendiri. “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” (Sebagai kado untuk ulang tahunku).
Saya pernah mendengar petuah bijak bahwa pendorong terbesar sukses seseorang ternyata bukanlah soal-soal teknis semacam “skill” atau “modal” (uang), atau bahkan “koneksi”, melainkan “rasa kepepet” orang itu. Masuk akal, seorang yang terpojok dalam situasi ekstrem yang tidak memberikannya pilihan lain kecuali “bertarung sampai tetes darah terakhir” sering malah keluar sebagai pemenang dengan hasil terbaik yang di luar segala hitungan.
Jika situasinya “aman-aman saja”, tentu saja kita akan gampang tergoda untuk tidak bertarung habis-habisan. Jalan keluarnya adalah dengan menciptakan sebuah “situasi kepepet artifisial”. Steve Jobs punya trik sendiri yang memaksanya selalu berada dalam situasi “kepepet artifisial” itu, yaitu dengan (selalu) memikirkan kematian. Ujarnya, “Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar.”
Jika anda tahu anda bakal segera mati maka anda akan tahu juga bahwa segala soal remeh-temeh—seperti perasaan takut gagal atau malu, yang biasanya menjadi perangkap terbesar kebanyakan orang untuk berhasil—menjadi tidak relevan lagi. Jika anda sebentar lagi mati, maka yang tertinggal hanyalah soal-soal yang esensial. Yang terisisa kini hanyalah suara hati anda sendiri. Dan pertanyaannya tinggal, masihkah anda akan mengabaikannya, suara hati anda itu, pada hari terakhir hidup anda ini? Bagi Steve Jobs jawabannya pasti, “Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.”
Tentu saja tidak ada seorang pun yang ingin mati, kecuali ia sedikit tidak waras. Bahkan orang yang kepingin masuk surga pun—sekali lagi, kecuali ia sedikit tak waras—tidak mau buru-buru mati dulu. Masalahnya, kata Steve Jobs, kematian adalah kepastian yang terus mendekat. Kabar baiknya, kesadaran akan hal itu membantu mengingatkan bahwa waktu kita di planet kecil ini sungguh sangat terbatas.
Waktu kita terbatas, jadi jangan sia-siakan hidup ini Jangan menari mengikuti genderang yang ditabuh orang lain. Atau dalam kata-kata Steve Jobs sendiri. “Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda—yang lainnya hanya nomor dua, atau malah nomor tiga.
Jika kita sepakat dengan semua uraian itu, mulai esok pagi, seperti Steve Jobs, baiklah kita melihat ke cermin dan bertanya pada diri sendiri. “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” (Sebagai kado untuk ulang tahunku).
05 April 2011
"Harta Karun di Balik Reruntuhan", Pelajaran dari Steve Jobs
Selalu ada “harta karun di balik reruntuhan”, selalu ada hikmah di balik setiap nasib buruk, begitu orang-orang bijak kerap menasehati. Masalahnya adalah tidak setiap orang beruntung sanggup menemukan “bongkahan emas” di balik reruntuhan itu, tidak setiap kita cukup dibekali ketabahan untuk mau bersabar menggali untuk akhirnya menemukan harta karun di sebalik nasib buruk kita. Seakan hanya orang-orang dengan talenta khusus saja yang berkesempatan mengalami karunia tersembunyi itu.
Steve Jobs, pendiri Apple Computer, mungkin contoh orang dengan talenta khusus itu. Di masa mudanya ia keliru mengambil mata kuliah yang ternyata kemudian tak diminatinya samasekali, padahal ia telah menguras habis seluruh tabungan orang tuanya—yang hanya pegawai rendahan—untuk bisa kuliah di jurusan yang diyakininya “tak membawa manfaat apa pun “ itu. Ia lalu memutuskan drop out begitu saja.
Ia mengenang saat itu sebagai “saat-saat paling menakutkan dalam hidupnya”. Bacalah kembali cuplikan komentarnya berikut ini: “Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna.”
Tapi belakangan ia menganggap pilihan tindakannya untuk DO itu adalah benar, sebenar-benarnya. Setelah berhenti kuliah ia jadi punya kesempatan menghadiri perkuliahan yang disukainya. Salah satu kelas yang diikutinya dengan bersgairah adalah kelas kaligrafi. Di sana ia dengan takzim belajar mengotak-atik jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains, katanya.
Tapi yang paling menarik untuk disimak adalah bahwa Steve Jobs, saat itu, sebetulnyai tidak melihat samasekali manfaat pelajaran kaligrafi bagi kehidupannya. Ia, ketika itu, hanya sekadar menurutkan hasrat dan dorongan dari dalam dirinya belaka. Tapi 10 tahun kemudian, ketia ia dan timnya mendesain komputer Macintosh yang pertama, pelajaran kaligrafi yang dulu ditekuninya itu memperlihatkan kegunaannya secara nyata: “Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik,” kata Stve Jobs.
Jadi seandainya ia dulu tak keliru memilih mata kuliah, seandainya ia lalu tak memutuskan DO—artinya memilih mengecewakan banyak orang, utamanya kedua orang tuanya—tentu ia tak akan berkesempatan kuliah kaligrafi yang di kemudian hari memberi sumbangan penting pada perkembangan Personal Computer pada masa-masa selanjutnya.
Steve Jobs akhirnya menemukan “harta karun” di balik reruntuhan nasib masa mudanya. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa ia sanggup untuk sampai di sana karena ia telah memilih untuk melanjutkan sisa hidupnya—yang ketika itu tampak tak berpengharapan--dengan semacam semangat murni, atau dengan kata lain, dengan passion. Mudah-mudanan kesimpulan ini tidak terlalu ngawur.
Steve Jobs, pendiri Apple Computer, mungkin contoh orang dengan talenta khusus itu. Di masa mudanya ia keliru mengambil mata kuliah yang ternyata kemudian tak diminatinya samasekali, padahal ia telah menguras habis seluruh tabungan orang tuanya—yang hanya pegawai rendahan—untuk bisa kuliah di jurusan yang diyakininya “tak membawa manfaat apa pun “ itu. Ia lalu memutuskan drop out begitu saja.
Ia mengenang saat itu sebagai “saat-saat paling menakutkan dalam hidupnya”. Bacalah kembali cuplikan komentarnya berikut ini: “Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna.”
Tapi belakangan ia menganggap pilihan tindakannya untuk DO itu adalah benar, sebenar-benarnya. Setelah berhenti kuliah ia jadi punya kesempatan menghadiri perkuliahan yang disukainya. Salah satu kelas yang diikutinya dengan bersgairah adalah kelas kaligrafi. Di sana ia dengan takzim belajar mengotak-atik jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains, katanya.
Tapi yang paling menarik untuk disimak adalah bahwa Steve Jobs, saat itu, sebetulnyai tidak melihat samasekali manfaat pelajaran kaligrafi bagi kehidupannya. Ia, ketika itu, hanya sekadar menurutkan hasrat dan dorongan dari dalam dirinya belaka. Tapi 10 tahun kemudian, ketia ia dan timnya mendesain komputer Macintosh yang pertama, pelajaran kaligrafi yang dulu ditekuninya itu memperlihatkan kegunaannya secara nyata: “Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik,” kata Stve Jobs.
Jadi seandainya ia dulu tak keliru memilih mata kuliah, seandainya ia lalu tak memutuskan DO—artinya memilih mengecewakan banyak orang, utamanya kedua orang tuanya—tentu ia tak akan berkesempatan kuliah kaligrafi yang di kemudian hari memberi sumbangan penting pada perkembangan Personal Computer pada masa-masa selanjutnya.
Steve Jobs akhirnya menemukan “harta karun” di balik reruntuhan nasib masa mudanya. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa ia sanggup untuk sampai di sana karena ia telah memilih untuk melanjutkan sisa hidupnya—yang ketika itu tampak tak berpengharapan--dengan semacam semangat murni, atau dengan kata lain, dengan passion. Mudah-mudanan kesimpulan ini tidak terlalu ngawur.
16 March 2011
Rumah Nomor 51
Sampai usia menjelang 51 (sebentar lagi), saya masih menempati sebuah rumah tinggal sederhana di sebuah gang buntu di Jakarta. Meski buntu, kondisi gangnya bersih dan tertata baik. Luas tanah kami hanya 44 M2, bangunan rumah terdiri dari dua lantai. Ada dua kamar tidur, dua kamar mandi, dan sebuah ruang yang bolehlah mungkin disebut “ruang keluarga”. Sementara ruang tamu, ruang makan dan dapur menempel menjadi satu, artinya tanpa penyekat, sehingga begitu kita masuk lewat pintu utama (yang merupakan satu-satunya pintu keluar masuk) “seluruh” rumah kami sudah bisa langsung terlihat.
Rumah kami memang tak besar, tapi bagi saya cukup nyaman ditempati. Agak sempit ya, tapi kami mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan itu, dan sejauh ini semuanya berjalan baik.Anak-anak bersama suster tidur di kamar bawah. Mereka menggelar kasur di lantai, dan tidur saling bersisian dibatasi sebuah guling. Suster kami menggelar kasur lain di sebelahnya. Istri saya lebih sering gabung dengan mereka, menggelar kasur satu lagi di sisi yang masih tersisa. Jika orang luar melihat memang situasinya mirip dalam kamp pengungsian, tapi dengan pendingin yang masih berfungsi baik, segala kesumpekan itu tak terasa lagi. Mereka bisa tidur nyenyak, setahu saya, setiap malamnya.
Saya menempati kamar atas, yang lebih luas, tapi tak ada pendingin (sebetulnya ada, tapi tidak dipasang lantaran listriknya tak kuat), sehingga udaranya jadi jauh lebih “hangat” dibanding kamar tidur di bawah. Untuk mengatasinya cukup kami pasang kipas angin manual. Kalau masih kurang “adem” kadang saya tidur di lantai. Tak apa. Saya melakukannya biasa saja, tak ada konflik apa pun. Tidur di lantai pun enak, masih bisa mimpi. Hanya saya perhatikan, kalau saya tidur mengambil posisi dekat pintu, suka diganggu mimpi tidak enak. Mungkin karena saya sudah mengganggu “akses” keluar masuk para hantu ke dalam kamar itu.
Di kamar atas juga ada televisi warna 17 inch bikinan Cina, DVD player buatan Jepang (yang remotenya sekarang macet, dan untuk DVD tertentu tidak bisa keluar suara). Rak buku juga ada dekat kamar, dan kalau mau internetan saya lakukan pula di kamar atas, “nongkrong” di ranjang setelah sebelumnya saya alasi semacam meja kecil. Jadi bagi saya kamar atas memang jauh lebih pas untuk saya tempati. Lebih cocok untuk seorang “penulis besar” (ehm) seperti saya. Dan memang banyak juga “karya besar” saya yang ditulis di kamar atas ini. Kamar ini, tak pelak lagi, adalah semacam “bengkel” kerja saya.
Istri saya lebih memilih tidur di bawah karena kecuali kamar atas lebih “hangat” udaranya, juga karena saya biasa tidur larut malam. Artinya, saya akan tetap menyalakan lampu kamar sebelum saya memutuskan tidur, sehingga tentu saja ia merasa tak nyaman. Ia, seperti kebanyakan orang, lebih suka tidur dalam kamar yang digelapkan lampunya.
Tetangga kiri kami adalah pasangan keluarga muda Cina Bangka. Suaminya, biasa dipanggil A Yung, umur 30-an, punya usaha bengkel motor dan ia ini memiliki tampang dan potongan badan mirip sekali Luis Suares, itu pesepakbola sohor asal Uruguay yang waktu Piala Dunia kemarin bikin geger karena menepis bola di bawah gawang ketika Uruguay ketemu Ghana. Anak saya yang nomor dua, entah mengapa kagum luar biasa pada tindakan “heroik” Luis Suares ini. Ia menganggap aksi Suares itu luar biasa hebat dan kreatif. Percuma saja saya ngotot “memarahi”nya seraya menjelaskan bahwa tindakan “barbar” pemain Uruguay itu menyalahi aturan sepakbola normal.
Tetangga belakang kami terdiri dari beberapa keluarga Betawi asli yang masih saling berhubungan darah. Karena begitu dekatnya jarak rumah kami, kami bisa dengan leluasa menguping segala omongan mereka. Tentu sebaliknya juga, mereka suka asyik menguping segala “keributan” di rumah kami. Sedang tetangga depan kami adalah seorang haji kaya yang memiliki sejumlah rumah kontrakan di sebelah rumahnya. Katanya dulu ia pegawai kantor kecamatan urusan tanah. Maksud saya, kalau betul ia pernah bekerja di bagian yang berurusan dengan “tanah” wajar kalau kemudian dia jadi kaya. Dia juga orang Betawi asli. Orang di situ memanggilnya Haji Mathali.
Tetangga sebelah kanan, belum lagi kami kenal. Mereka adalah pendatang baru, membeli rumah di sebelah kanan kami belum lama ini. Sebetulnya kami mengincar juga rumah itu sewaktu tempo hari ditawarkan, tapi apa daya uang tak ada. Maka terbanglah rumah itu ke pemilik baru yang bukan kami. Rumah yang tadinya “mau rubuh” itu sekarang sudah didandani. Lumayan keren, tapi entah mengapa pemiliknya belum juga menempatinya. Baru Ahad kemarin saya lihat ada sedikit “kesibukan” di rumah itu. Barangkali ini kali betul kami akan segera memiliki tetangga baru, sejumlah “orang asing” yang menempati rumah yang tadinya saya impikan akan menjadi “bagian” dari kehidupan kami.
Rumah kami memang tak besar, tapi bagi saya cukup nyaman ditempati. Agak sempit ya, tapi kami mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan itu, dan sejauh ini semuanya berjalan baik.Anak-anak bersama suster tidur di kamar bawah. Mereka menggelar kasur di lantai, dan tidur saling bersisian dibatasi sebuah guling. Suster kami menggelar kasur lain di sebelahnya. Istri saya lebih sering gabung dengan mereka, menggelar kasur satu lagi di sisi yang masih tersisa. Jika orang luar melihat memang situasinya mirip dalam kamp pengungsian, tapi dengan pendingin yang masih berfungsi baik, segala kesumpekan itu tak terasa lagi. Mereka bisa tidur nyenyak, setahu saya, setiap malamnya.
Saya menempati kamar atas, yang lebih luas, tapi tak ada pendingin (sebetulnya ada, tapi tidak dipasang lantaran listriknya tak kuat), sehingga udaranya jadi jauh lebih “hangat” dibanding kamar tidur di bawah. Untuk mengatasinya cukup kami pasang kipas angin manual. Kalau masih kurang “adem” kadang saya tidur di lantai. Tak apa. Saya melakukannya biasa saja, tak ada konflik apa pun. Tidur di lantai pun enak, masih bisa mimpi. Hanya saya perhatikan, kalau saya tidur mengambil posisi dekat pintu, suka diganggu mimpi tidak enak. Mungkin karena saya sudah mengganggu “akses” keluar masuk para hantu ke dalam kamar itu.
Di kamar atas juga ada televisi warna 17 inch bikinan Cina, DVD player buatan Jepang (yang remotenya sekarang macet, dan untuk DVD tertentu tidak bisa keluar suara). Rak buku juga ada dekat kamar, dan kalau mau internetan saya lakukan pula di kamar atas, “nongkrong” di ranjang setelah sebelumnya saya alasi semacam meja kecil. Jadi bagi saya kamar atas memang jauh lebih pas untuk saya tempati. Lebih cocok untuk seorang “penulis besar” (ehm) seperti saya. Dan memang banyak juga “karya besar” saya yang ditulis di kamar atas ini. Kamar ini, tak pelak lagi, adalah semacam “bengkel” kerja saya.
Istri saya lebih memilih tidur di bawah karena kecuali kamar atas lebih “hangat” udaranya, juga karena saya biasa tidur larut malam. Artinya, saya akan tetap menyalakan lampu kamar sebelum saya memutuskan tidur, sehingga tentu saja ia merasa tak nyaman. Ia, seperti kebanyakan orang, lebih suka tidur dalam kamar yang digelapkan lampunya.
Tetangga kiri kami adalah pasangan keluarga muda Cina Bangka. Suaminya, biasa dipanggil A Yung, umur 30-an, punya usaha bengkel motor dan ia ini memiliki tampang dan potongan badan mirip sekali Luis Suares, itu pesepakbola sohor asal Uruguay yang waktu Piala Dunia kemarin bikin geger karena menepis bola di bawah gawang ketika Uruguay ketemu Ghana. Anak saya yang nomor dua, entah mengapa kagum luar biasa pada tindakan “heroik” Luis Suares ini. Ia menganggap aksi Suares itu luar biasa hebat dan kreatif. Percuma saja saya ngotot “memarahi”nya seraya menjelaskan bahwa tindakan “barbar” pemain Uruguay itu menyalahi aturan sepakbola normal.
Tetangga belakang kami terdiri dari beberapa keluarga Betawi asli yang masih saling berhubungan darah. Karena begitu dekatnya jarak rumah kami, kami bisa dengan leluasa menguping segala omongan mereka. Tentu sebaliknya juga, mereka suka asyik menguping segala “keributan” di rumah kami. Sedang tetangga depan kami adalah seorang haji kaya yang memiliki sejumlah rumah kontrakan di sebelah rumahnya. Katanya dulu ia pegawai kantor kecamatan urusan tanah. Maksud saya, kalau betul ia pernah bekerja di bagian yang berurusan dengan “tanah” wajar kalau kemudian dia jadi kaya. Dia juga orang Betawi asli. Orang di situ memanggilnya Haji Mathali.
Tetangga sebelah kanan, belum lagi kami kenal. Mereka adalah pendatang baru, membeli rumah di sebelah kanan kami belum lama ini. Sebetulnya kami mengincar juga rumah itu sewaktu tempo hari ditawarkan, tapi apa daya uang tak ada. Maka terbanglah rumah itu ke pemilik baru yang bukan kami. Rumah yang tadinya “mau rubuh” itu sekarang sudah didandani. Lumayan keren, tapi entah mengapa pemiliknya belum juga menempatinya. Baru Ahad kemarin saya lihat ada sedikit “kesibukan” di rumah itu. Barangkali ini kali betul kami akan segera memiliki tetangga baru, sejumlah “orang asing” yang menempati rumah yang tadinya saya impikan akan menjadi “bagian” dari kehidupan kami.
Subscribe to:
Posts (Atom)