29 May 2007

Ngeblog : Sebuah Kemewahan?

ANGGAPAN bahwa ngeblog adalah sebuah kemewahan kadang mengusik saya. Sebuah “kemewahan” karena kegiatan ini mengandaikan adanya seperangkat komputer--sebuah benda yang memang masih “mewah” untuk kondisi kita hari ini. Dan kalau misalnya tak punya komputer, ngeblog mungkin dilakukan di warnet, dan itu artinya hanya mereka yang punya duit lebihlah yang bisa melakukannya. Dan “berduit lebih” itu jelas sebuah kemewahan, bukan?

Ngeblog juga mengandaikan adanya “pengetahuan” yang buat banyak orang saat ini belum terbayangkan. Lagi-lagi ini bisa dianggap indikator “kemewahan”, atau ini barangkali bisa disebut semacam “kegenitan”? Ketika sebagian orang bergelimpangan dirundung petaka—tsunami, gempa bumi, lumpur panas, phk semena-mena—sejumlah orang lainnya—di mana saya kini terhitung di dalamnya—malah asyik berhahahihi ngeblog. Pada momen bening seperti ini nurani saya kadang berontak : masih bermoralkah saya dengan kerja ngeblog saya ini?

Barangkali saya kelewat sensitif, atau cengeng, entahlah. Tapi saya sebetulnya bersyukur sudah “dirongrong” oleh pertanyaan-pertanyaan “cengeng” seperti itu. Bagi saya ini semacam warning yang wajib saya taati, yaitu bahwa kesempatan langka ngeblog yang saya miliki—lebih tepat saya dapatkan—ini sebaiknya membawa manfaat, sekecil apa pun manfaat itu. Ngeblog janganlah berhenti pada sekedar, maaf, onani kata-kata.

27 May 2007

FPI, Korban Kampanye Jahat?

DI HALAMAN ini beberapa waktu yang lalu penulis menurunkan postingan tentang keberadaan blog Front Pembela Islam (FPI). Tulisan yang membeberkan fakta mengejutkan itu sudah menarik perhatian Muhamad Sulhanudin (Mas Udin) yang karena merasakan sekian kejanggalan di seputar blog FPI itu kemudian melakukan perburuan dan pelacakan.

Hasilnya ia menemukan kesimpulan menarik dan lebih mengagetkan lagi, yaitu bahwa ternyata blog itu bukan blog resmi FPI. Malah ada kemungkinan blog itu adalah alat yang sengaja digunakan untuk lebih memojokkan (lagi) ormas berbendera Islam yang selama ini aksi-aksinya memang suka bikin sebel banyak orang itu.

Inilah antara lain hasil investigasi Mas Udin yang bisa dibaca dalam blognya :

Pengelola blog FPI sepertinya keberatan disebut telah melakukan black campaign. Pertanyannya, kalau pemilik blog FPI tersebut memang benar-benar pendukung tegaknya syariat islam, simpati dengan perjuangan FPI, kenapa dia juga menyediakan link-link ke situs yang bertentangan dengan misinya itu dan anehnya link ke blog terlarang itu justru juga dibuat oleh pengelola yang sama. Dia membuat blog FPI, tapi juga membuat blog tandingannya?

Lalu apa yang lebih tepat untuk menyebut aktivitas yang dilakukan blogger yang mengelola FPI Online, Zamanku, dan Mediacare itu jika yang bersangkutan keberatan disebut telah melakukan black compaign. blogger kurang kerjaankah, ataukah anda punya istilah yang lebih tepat?


Penasaran dan kepingin tahu liputan lengkapnya? Klik di sini ya.

25 May 2007

Pentingkah Doa Bagi Anda?

SEBERAPA pentingkah doa dalam hidup anda? Jika anda jarang sembahyang, atau melakukannya kalau lagi merasa betul-betul kepepet saja, atau anda melakukannya juga setiap hari tapi tanpa greget, tanpa suatu “kerinduan” di dalamnya, jelaslah bahwa doa bukan urusan yang anda anggap penting.

Dan kalau doa bukan hal penting, maka konsekuensinya Tuhan juga bukan hal penting buat anda. Kecuali mungkin pas anda sedang betul-betul terdesak, sewaktu pertolongan dari sana-sini tidak bisa diharapkan lagi. Perilaku begini—mencari Tuhan hanya pada saat kepepet--sebetulnya sama dengan memperlakukan Tuhan sebagai “pesuruh”, bukan? Baru kalau lagi ada musibah dan mentok “beliau” dipanggil, disuruh bantu membereskan.

Itu pun biasanya pake syarat : musti cepat jawabannya. Kalau malam ini sembahyang, besok sore paling lambat urusan harus sudah ketemu solusinya. Wah gile betul.! Kecenderungan mau serba kilat dan instant yang makin jadi gejala umum inilah yang makin membuat berdoa menjadi—buat sebagian orang—terasa lucu, tidak relevan dan mengada-ada.

Kita sering juga mendengar ucapan begini, “Yah, saya ‘hanya’ bisa membantu dengan doa”. Atau, “Saya tahu problem anda berat sekali, dan saya bukan apa-apa, jadi ‘hanya’ doalah yang bisa saya berikan” Orang-orang itu sebetulnya juga mau mengatakan bahwa doa adalah sebuah iktiar yang “kurang penting”, sebuah upaya yang tidak perlu kelewat diharapkan hasilnya. Doa dalam keseharian kebanyakan kita menjadi sekedar basa-basi pergaulan. Tuhan, dengan demikian, menjadi institusi yang jauh sekali, yang dianggap tidak akan sudi ikut-ikutan mengurusi segala masalah kita di sini.

Jika anda termasuk orang yang menganggap bahwa perilaku ber“doa” masuk kategori “hanya”, dan bukan sebuah kegiatan “utama”, bacalah kesaksian mengharukan almarhum pendeta Eka Darmaputra di sini. Sewaktu membacanya .saya begitu tersentuh dan tergugah, entah apakah anda juga akan begitu? Tapi cobalah sempatkan membacanya.

21 May 2007

"Reformasi", 9 Tahun Kemudian

HARI ini, 21 Mei 9 tahun yang lalu—mudah-mudahan anda masih ingat—tiran Soeharto yang sudah 30 tahun lebih bercokol mengangkangi negeri ini, akhirnya lengser. Kejatuhan sang tiran itu menandai lahirnya sebuah zaman baru yang secara terburu-buru dijuluki “era reformasi”. Mengapa penamaan “era reformasi” itu “terburu-buru”? Karena ternyata yang terjadi sesudah itu hanyalah pengulangan sejarah belaka. Tiran yang satu jatuh, hanya untuk memberi kesempatan naik tiran lainnya. Memang buat sesaat kita sempat mengalami suatu episode yang penuh dengan janji. Sebuah periode yang sangat sekali disarati eforia dan kenaifan.

Saya ingat seorang teman berkisah bagaimana dia pada saat itu berhasil mendapatkan Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumahnya hanya dengan mengeluarkan duit 25 ribu rupiah. Padahal di zaman Orde Baru mengurus sertifikat hak milik tanah itu seperti kisah perburuan harta karun dalam dongeng. Duit yang musti digelontorkan untuk “upeti” dibanding dengan peluang berhasil didapatnya surat sertifikat itu sendiri bisa dibilang “nihil”.

Sayang masa bulan madu itu begitu cepat lewat. Situasi negara tidak juga menjadi stabil. Selama 9 tahun ini kita disuguhi pementasan turun naiknya 4 orang kepala negara sebagai bukti masih goyahnya situasi. Gedung parlemen kehilangan sakralitasnya karena dikuasai para preman dan badut politik. Hukum masih terus jadi komoditas. Korupsi jalan terus. Malah ada yang bilang korupsi di “era reformasi” ini lebih kasar dan edan dibanding di zaman Orde Baru.

Secara umum situasi memang tidak bisa diklaim sudah menjadi “lebih baik”.Sangat wajar kalau dalam situasi seperti ini sebagian orang kemudian menjadi “kangen” lagi pada masa-masa “normal” dulu. Soeharto memang betul tiran, tapi pada zamannya tidak ada orang antre minyak tanah, atau bertikai karena rebutan beras murah. Jangan pernah lalu menyalahkan atau menyebut mereka ini pandir. Sebaiknya kita juga tidak pernah lupa bahwa “reformasi” direbut dengan ongkos dan tumbal teramat mahal.

Dengan cost semahal itu sangat layak dan pantas kalau kita kemudian menuntut adanya imbalan sepadan dari mereka—siapapun mereka—yang sekarang berkesempatan mencicipi fasilitas hidup serba “VIP” yang didapat dari tumbal nan mahal itu. Lumrah dan sah kalau kita marah kalau keadaan tidak juga membaik. Sah dan lumrah-lumrah juga kalau kita pun merasa sudah dikibuli selama ini.

16 May 2007

Mengintip Blog FPI

TADI saya menyempatkan diri keluyuran ke situsnya FPI alias Front Pembela Islam, sebuah kelompok yang pasti kita semua sudah tahu sepak dan terjangnya yang suka bikin gregetan itu. Tapi tahan dulu perasaan gregetan anda, karena ada hal-hal yang ternyata menarik buat disimak dari situs itu.

Pertama, situs FPI mengambil rupa blog, berbasis blogspot. Artinya situsnya itu situs, maaf, gratisan. Saya lantas berpikir, kalau betul FPI selama ini “ada yang mendanai”—begitulah gosip yang beredar--kenapa kok situsnya murah meriah begitu? Ini sebuah teknik pengelabuan saja? Entahlah. Hanya mereka sendiri yang bisa menjawabnya.

Kedua, layaknya sebuah blog, situs FPI didesain untuk bisa “interaktif”. Maka di sana ada shoutbox—yang isinya ternyata “puji-pujian nan merdu” ke alamat FPI--dipasang juga di sana tool Sitemeter, terdaftar pula di Technorati, dan sudah ada yang link ke sana rupanya. Dan oh ya, tool Mybloglog yang sekarang lagi populer juga ikut meramaikan halamannya..

Selain itu, mungkin yang paling bikin surprise, banner AdSense Google juga terpampang di sana. Lha, ini juga memaksa saya mesem. FPI kan katanya “anti Amerika”, tapi kok situsnya “sangat amerika” gitu lho. Kenapa nggak pake software made in Arab saja? Baiklah, saya coba menjawab sendiri keheranan ini. Mungkin sohib-sohib dari FPI akhirnya sadar juga bahwa tidak semua yang “bau bule” itu “haram” hukumnya. Ada juga ternyata yang “asyik” dan bisa “dipake” berjuang hehehe.

Jadi yang namanya berjuang “menegakkan syariat Islam” itu caranya tidak cuma ngumpulin massa lantas main sambit dan timpuk kantor orang. Ah, kalau saja jalan ngeblog ini bisa lebih menjadi prioritas mereka ketimbang model rame-rame yang nakutin orang dengan topeng ala ninja dan pedang samurai bikinan Tanah Abang, kita—maksudnya saya—pasti bisa lebih respek pada “perjuangan” mereka, betapa pun jauh dan berbedanya garis perjuangan kami.

15 May 2007

Mental "Kepepet", Tips Mario Teguh

EMBRIO tulisan ini bersumber dari acara Business Art with Mario Teguh yang ditayangkan Jakarta Own Channel. Ketika itu ada tanya jawab singkat antara pak Mario dengan seorang pemirsa. Saya mencoba mengembangkan tanya jawab itu, memberinya bumbu, menuanginya ‘saos’ dan ‘sambal’ sesuai selera saya tanpa membuang pesan intinya. Mario Teguh, kalau anda belum tahu, adalah seorang konsultan bisnis andal yang petuah-petuahnya sungguh sedap dikunyah. Seperti layaknya motivator hebat lainnya, keistimewaan Mario Teguh adalah kemampuannya menyugesti kita sehingga hidup yang sebetulnya “sukar dan edan” ini menjadi terasa lebih “mudah” dan jinak. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.

TAHUKAH anda kenapa begitu banyak orang gagal dalam usahanya untuk bisa sukses sewaktu merintis usaha? Jawabnya karena mereka biasanya tidak betul-betul dalam kondisi “terdesak”. Modal utama untuk sukses bukanlah uang, bukan ide jenius, bukan juga skill, pun bukan koneksi. Itu semua memang penting, tapi bukan yang nomor satu. Modal utama dalam berusaha adalah adanya “perasaan terdesak”. Mental “kepepet” inilah yang akan menggebuk seseorang untuk sungguh-sungguh “fight” dalam merealisir usahanya.

Dalam kondisi ketika dihadapkan pada pilihan “hidup” atau “mati” itulah talenta terbaik seseorang biasanya menerobos keluar. Sastrawan Pramudya Ananta Toer melahirkan karya-karya monumentalnya sewaktu ia berada di sebuah penjara, di pulau Buru sana. Sementara itu Chairil Anwar menelorkan puisi-puisinya dalam situasi hidup yang bokek dan sakit-sakitan.

Bayangkanlah sekarang suatu kondisi ektrem lain. Misalnya mendadak hari ini anda dipecat dari pekerjaan anda yang nyaman dan bergaji besar. Pastilah kalau anda masih manusia normal, pada awalnya anda sempoyongan berat. Tapi sesudah itu anda dihadapkan pada pilihan sederhana : menyerah kalah begitu saja atau mulai mencoba bangun mencari jalan keluar dari mimpi buruk itu. Ada banyak cerita sukses orang-orang yang berhasil keluar dari situasi chaos itu. Sukses itu mungkin malah tidak akan pernah mereka raih kalau saja mereka tetap berada dalam zona nyaman pekerjaan lama mereka.

Kenapa kelompok etnis Cina di negeri ini umumnya bisa “sukses” adalah juga karena kondisi “terdesak” itu, di samping karena etos “kerja keras” yang selama ribuan tahun terus dipompakan para ruh leluhur. Mereka dibuat terpojok secara politis puluhan mungkin bahkan selama ratusan tahun, sehingga hanya tersedia sedikit pilihan bagi mereka—menjadi juara badminton atau juragan tekstil, umpamanya. Karena kesempatan sukses hanya tersedia pada lahan yang begitu terbatas, tidak ada pilihan buat mereka kecuali bertarung habis-habisan di lahan yang “disisakan” buat mereka itu.

Tapi bagaimana kalau kita sebenar-benarnya memang tidak sedang “terdesak”, tapi menginginkan sebuah terobosan berarti dalam hidup kita? Apa tips Mario Teguh :untuk kasus seperti ini? Gampang, ciptakanlah situasi “kepepet” artifisial, yang sanggup memaksa anda terpaksa berkelahi sungguhan, meskipun sebetulnya tidak ada ‘musuh’ di dekat anda.

11 May 2007

Di Sebuah Pagi Yang Lain

MASJID di dekat tempat tinggal saya kerap menyampaikan pengumuman lewat spiker yang dipasang di sejumlah gang, sehingga setiap pengumuman bisa sampai dengan jelas ke kuping warga. Ada rupa-rupa warta yang disampaikan, tapi yang biasanya menarik perhatian saya adalah pengumuman meninggalnya seorang warga. Kadang pengumuman itu disampaikan pagi-pagi sementara saya masih khusyuk dengan ritual pagi saya di kamar mandi. Lain ketika saat saya belum lagi beranjak dari kasur.

Kadang untuk sesaat saya mencoba menyimak warta sungkawa itu, tapi biasanya itu saya lakukan dengan separuh minat saja. Saya mencoba membayangkan bagaimana kiranya suasana di rumah yang baru saja mengalami kejadian itu. Mungkin jenazah si mati masih dibaringkan di ruang depan, di atas sebuah balai, ditutupi kain. Ada jejeran kursi di serambi depan rumah itu, dan sejumlah orang mungkin repot menerima tetamu yang melayat sepagi itu …

Sebentar saja perhatian saya pun kembali tercurah pada ritual pagi saya. Dari luar menyeruak suara anak-anak kecil di antara suara tukang bubur yang kebetulan lewat, seorang ibu kedengaran memarahi anaknya yang membandel sewaktu disuruh mandi. Hidup berjalan seperti biasa, batin saya seraya menyisir rambut. Siapa nama si mati tadi, sudah pula terlupa.

Kadang saya pun berpikir, alangkah sunyinya hidup ini. Begitulah kiranya akan terjadi pula dengan saya suatu hari nanti. Barangkali pada suatu pagi yang lain, sementara tubuh saya mendingin dan dibaringkan di ruang depan, di sebuah balai kayu yang didapat dengan tergesa-gesa, di serambi dijejerkan kursi-kursi, sementara itu kau di suatu tempat entah di mana, acuh tak acuh, meneruskan sarapan pagimu …

08 May 2007

Repuzzle eh Reshuffle

SESUDAH menyepi dan merenung (seraya bimbang dan ragu) di pertapaan megahnya di Cikeas, akhirnya reshuffle diumumkan SBY juga kemarin. Tidak percuma menunggu lama karena hasilnya tidak terlalu mengecewakan banget—kecuali tentu bagi parpol yang kader-kadernya kena dupak.

Salah satu tuntutan publik yaitu agar nama-nama yang dianggap “cacat hukum” dilepas saja ternyata diakomodir presiden. Tak kurang seorang Arbi Sanit—yang biasanya gemar bersuara keras—menyebut manuver SBY kali ini sebagai langkah berani. Semula banyak orang menduga tindakan ini tidak akan diambil presiden mengingat “hubungan lama nan mesra” di antara mereka.

Selain itu, analisa pinggir jalan lain menyebut SBY tidak akan berani menyentuh nama bermasalah itu, karena ia dianggap tahu kelewat banyak “isi perut” istana. Dikawatirkan nama ini akan banyak “bernyanyi” kalau sampai keberadaannya diutak-atik.Tapi kita tahu, nama satu yang bermasalah ini pun kena libas kemarin.

Yang bagi saya terasa mengagetkan adalah dicopotnya Abdul Rachman Saleh selaku Jaksa Agung. Meskipun bidang hukum dan peradilan masih dianggap belum menelorkan hasil berarti—karena gunung masalahnya yang kelewat raksasa—bang Arman, begitu mantan Jaksa Agung ini akrab disapa, bukanlah tokoh yang diragukan kesungguhan dan integritasnya. Tapi, presiden agaknya punya penilaian lain terhadapnya. Kita berharap saja nama yang ditunjuk menggantikannya memang lebih sakti.

Akhirnya, dengan menuver “berani”nya ini kali—tumben—diperkirakan “rating” SBY akan bisa terdongkrak, meskipun mungkin tidak banyak. Yah, lumayanlah sebagai modal awal guna membendung “saingan” terberatnya sejauh ini, yakni “SBY” alias “Si Butet Yogya” dari negara tetangga, Republik Mimpi.

Hidup Bukan Teater

SEBUAH pementasan teater yang berhasil adalah sebuah suguhan pementasan yang bisa memuaskan seluruh penontonnya. Dan membikin puas seluruh penonton adalah sebuah kerja luar biasa berat. Dalam konteks sebuah tontonan teater maka di sana paling tidak terlibat sejumlah aktor, penata panggung, pengatur cahaya, penata kostum, pengatur musik..Diperlukan juga sebuah naskah yang hebat, dan tentu kehadiran seorang sutradara jagoan yang siap mewujudkan naskah itu di atas panggung.

Dan tentu saja sebelum itu ada latihan keras yang mungkin menguras waktu berbulan-bulan. Mungkin ada banyak kepentingan lain yang karenanya buat sementara musti dipinggirkan dulu. Pendeknya, ada komitmen teguh yang musti tetap dijaga, dan itu semua demi suksesnya pementasan di panggung. Lebih tepatnya demi menjamin “kepuasan” penonton yang sudah repot-repot datang dan membeli karcis, yang mungkin juga mahal harganya.

Maka kalau kita selalu merasa dirisaukan dengan pertanyaan bagaimana menyenangkan orang lain—seraya mengorbankan perasaan kita sendiri--barangkali kita sudah terjebak dalam pola laku rombongan teater itu. Kita selalu takut apa yang kita bikin tidak menyenangkan si A. Kita selalu bertanya kalau saya bikin ini apakah si B tidak akan menertawakan saya, apakah juga si C kiranya berkenan, dan begitu seterusnya.

Tapi jika anda sudah kadung memilih “jalan teater” itu sebagai sesuatu yang mau anda imani, perkenankanlah saya ucapkan selamat menghibur sebanyak mungkin “penonton” dalam hidup anda. Semoga anda sukses dan bahagia dengan peran “mulia” itu. Mudah-mudahan stamina anda juga cukup memadai untuk melayani maunya penonton yang berbagai-bagai dan biasanya terus berganti-ganti itu.

Soalnya memilih “jalan teater” untuk hidup anda itu artinya merelakan orang lain—diakui atau tidak--mengatur hidup anda. Atau, dalam kalimat yang lebih bombastis, anda sudah membiarkan diri anda menjadi, maaf, budak, atau separuh budak, tergantung seberapa besar komitmen teater yang anda imani. Dan menjadi “budak” itu capek deh …

02 May 2007

Beranikah SBY?

POPULARITAS presiden dan wakil presiden SBY-JK dikabarkan semakin berantakan. Hari-hari ini banyak orang menunggu-nunggu pengumuman resuffle kabinet. Sejumlah nama menteri yang dianggap “tidak bersih” ramai digunjingkan supaya dicopot. Jika saja SBY berani megikuti suara publik ini, besar kemungkinan “rating”nya akan kembali naik, mengalahkan bahkan minimal menyamai popularitas “SBY” alias Si Butet Yogya dari Republik Mimpi.

Tapi jika SBY lagi-lagi lebih suka memainkan jurus “bimbang dan ragu”nya, dan kembali lebih memilih “menyelamatkan” sejumlah nama yang dianggap “bermasalah” itu maka hampir bisa dipastikan “rating”nya bakal tambah babak belur. Akan makin sulitlah beliau menyaingi popularitas “SBY” yang dari pekan ke pekan tampaknya makin tak terbendung.

Resuffle kabinet ini boleh jadi merupakan peluang terakhir presiden, mengingat waktu baginya makin sedikit. Jika ia kembali melakukan blunder, lawan-lawan politiknya tentu akan mengambil banyak keuntungan dari situasi “sudah capek berharap” yang menjalar di masyarakat. Dan jika itu yang terjadi, jangan-jangan ramalan serem Mama Laurent yang pernah bilang bahwa SBY-JK akan setop di tengah jalan bakal jadi nyata. Wah.

01 May 2007

Blog Gado-Gado Pake Telor

SERING kita dengar petuah bahwa blog yang baik itu seyogyanya hanya fokus pada tema tertentu saja. Kalau niatnya pada masalah IT ya jangan ikut-ikutan bikin opini soal resuffle kabinet umpamanya. Kalau fokusnya sastra janganlah usil ngomongin masalah SEO atau AdSense segala. Blog yang “gado-gado” kabarnya akan lebih sukar mengumpulkan trafik pada perkembangan selanjutnya. Bahkan sekedar bertukar link dengan blog yang tidak dari satu “genre” saja oleh sebagian blogger dianggap “haram” hukumnya.

Alasan lain supaya sebuah blog sebaiknya setia pada “habitat” yang sudah dipilihnya adalah karena kualifikasi seorang blogger bagaimanapun terbatas. Jangan memaksa diri membuat konten blog dengan banyak tema. Kalau dipaksakan juga akan kelihatan nantinya bahwa tulisan kita hanya pura-pura hebat tapi sebetulnya kosong. Kecuali kalau memang anda super dan tahu segala macam soal.

Masalahnya, sering godaan untuk bikin “gado-gado” itu kuat sekali. Dan memang sebetulnya kan nggak ada larangan kalau kita menyukai “gado-gado” dan bukan “sop buntut” umpamanya. Karena alasan itulah saya pun mencoba membuat “gado-gado” di halaman ini. Sementara untuk keperluan mengumbar libido sastra, saya melakukannya di blog lain yang memang diniatkan fokus ke situ.

Ternyata nikmat juga punya blog “gado-gado”. Saya bisa dengan bebas meloncat dari tema satu ke tema lainnya tanpa harus merasa bersalah. Namun begitu tetap saja saya memasang pagar untuk tidak ikut-ikutan bicara soal yang jauh dari pemahaman saya. Misalnya nggak mungkinlah saya menulis soal IT atau memberi tips cara bikin sayur asem spesial hehehe. Tetap saja ada “tabu” yang tidak boleh saya tabrak..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...