13 December 2007

Pastor Juga Perlu Diinjili : Surat untuk Seorang Pastor di Bekasi

Pastor yang terhormat,

Memang menjengkelkan melihat kelakuan umat yang “sembarangan” pada perayaan misa kudus. Tetapi apakah juga tepat kalau kemudian pastor musti mengganti khotbah dengan acara marah-marah? Terus terang saya jadi merasa terganggu dengan gaya pastor dalam beberapa pekan terakhir ini. Sungguh tidak nyaman rasanya jauh-jauh datang ke gereja hanya untuk melihat pastornya mencak-mencak di altar, meskipun menurut Injil, Yesus junjungan kita juga pernah marah besar sewaktu melihat sinagoga dipakai menjadi tempat berjualan. Suatu hal yang kita tahu masih berlangsung sampai saat ini di gereja-gereja modern.

Menurut saya pastor sebaiknya fokus saja pada umat yang memang serius mengikuti misa. Sedang untuk umat yang sibuk cengengesan, atau main SMS itu, bolehlah disindir sesekali—tapi tidak usahlah sampai “kalap” seperti pastor pertontonkan belakangan ini. Umat yang tidak serius adalah fenomena umum. Dalam bidang apa pun—agama, seni, sport, sebutlah apa saja--selalu ada dua kecenderungan itu : kecenderungan untuk “serius” dan kecenderungan untuk “main-main”. Dan biasanya kelompok yang “main-main” jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang yang mengaku “serius”. Itu juga mungkin sudah hukum alam. Umat katolik di manapun pasti juga begitu.

Ah, saya terka pastor akan menyergah seraya mengutip Injil perihal perumpamaan “domba yang hilang “ atau “dirham yang hilang”, bukan? Bahwa sorga akan lebih bersuka-cita kalau umat katolik yang berkelakuan “brengsek” itu bisa dipertobatkan—ketimbang repot mengurusi barisan umat “anak mami” yang tak memerlukan lagi pertobatan. Terserahlah kalau begitu. Artinya, kita berbeda pendapat, dan itu tak apa-apa juga, bukan?

Ada satu hal lagi, harap pastor jangan jadi tersinggung. Mutu umat sedikit banyak juga sangat tergantung pada mutu pastornya. Kita omong fair saja, ada banyak pastor yang memang harus dibilang tidak bermutu. Mereka membawakan misa seperti tanpa penghayatan, doa syukur agung didaraskan secepat kilat, ngebut macam pesawat jet F 16 , belum lagi khotbahnya tidak menggugah samasekali. Lha, kalau pastornya saja memble bagaimana umatnya tidak memble?

Menurut saya wajar dan sah saja kalau umat menuntut pastornya tampil “ekstra”. Umat itu tidak bodoh, pastor, jadi jangan pernah meremehkan mereka. Umat yang datang ke gereja mungkin sudah puyeng dan stres dengan tumpukan masalah sehari-hari. Mereka kepingin mendapatkan yang lain di gereja, mungkin sesuatu yang bisa membuat mereka tercerahkan. Sesuatu yang bisa mereka bawa sebagai bekal pulang, guna melanjutkan ziarah mereka di bumi yang kacau balau ini. Tapi kalau ternyata yang ditemuinya malah pastor-pastor yang menambah puyeng kepala mereka, siapa yang musti disalahkan dalam hal ini?

Ah, sebetulnya saya tak bermaksud menghakimi, tapi tak ada salahnya barangkali seorang pastor sekali-sekali menerima masukan semacam ini. Saya jadi ingat seloroh serius seorang pastor asal Flores yang pernah bilang bahwa “memang banyak pastor yang harus dinjili lagi”, diisi ulang lagi baterenya. Mungkin beliau benar, kan pastor juga manusia biasa saja, sama seperti umat-umat “brengsek” itu, sama dengan saya, dan kita semua.

10 December 2007

Three in One : Dihapus Sayang

PERATURAN “three in one” (3 in I) di jalan-jalan protokol Jakarta dibikin dengan niat bagus : mengurangi tingkat kemacetan di ibukota. Tapi kita sudah tahu, niatan itu gagal total. Para pemilik mobil pribadi tidaklah bodoh. Dengan gampang mereka menyiasati aturan itu dengan mencari tumpangan—kalau terpaksa pembantu pun diajak tamasya sebentar ke kantor—atau cukup memanggil para joki yang selalu stand by di jalan.

Meskipun sudah ketahuan gagal, saya kok rasanya agak keberatan kalau misalnya aturan ini dihapuskan saja. Semua tahu peraturan “3 in 1” kini malah menjadi mata pencarian alternatif untuk sebagian penduduk Jakarta. Di tengah situasi ekonomi yang “kolaps” dengan tingkat pengangguran begitu tinggi, menjadi joki 3 in 1 adalah sebuah pilhan yang “apa salahnya” dilakukan di tengah keterjepitan hidup—daripada mandah pasrah, lantas mengemis, atau jadi pengedar narkoba, bukan?

Para pemilik mobil pribadi juga tak dirugikan. Buat sebagian besar mereka, membayar 3 atau 5 ribu perak untuk para joki itu bukanlah soal besar—yah, mungkin seperti membuang daki saja layaknya. Sedang bagi para polisi sendiri juga rasanya tak masalah. Malahan bagi mereka, ini juga sebuah peluang untuk mendapatkan “duit kagetan” apabila kebetulan bisa memergoki mobil pribadi yang masih juga nekat tidak “ber 3 in 1”.

Jadi semua pihak senang dan dapat bagiannya. Hanya satuan Polisi Pamongpraja (PP)—yang seragamnya biru-biru itu—yang kelihatannya kurang bergembira. Ah, barangkali karena mereka tak sempat mencicipi sedikit gurihnya bisnis “3 in 1” ini. Cuma kebagian capeknya doang karena musti tiap kali main udak-udakan dengan para joki.

07 December 2007

T o m m y

Seperti dikisahkan John Powell, SJ

14 tahun yang lalu, aku berdiri menyaksikan para mahasiswaku berbaris memasuki kelas untuk mengikuti kuliah pertama teologi iman. Pada hari itulah untuk pertama kalinya aku melihat Tommy. Dia sedang menyisir rambutnya yang gondrong. Penilaian singkatku: dia seorang yang nyentrik, sangat nyentrik. Tommy ternyata betul menjadi tantanganku yang terberat. Dia terus-terusan mengajukan komplain. Dia juga tak bisa percaya bahwa Tuhan mencintai kita tanpa pamrih. Dia terang-terangan melecehkan hal itu.

Ketika dia muncul untuk mengikuti ujian di akhir kuliah, dia bertanya dengan agak sinis, "Menurut pastor apakah saya akan pernah menemukan Tuhan?" "Tidak," jawabku dengan sungguh-sungguh. "Oh," sahutnya. "Rasanya Anda memang tidak pernah mengajarkan bagaimana menemukan Tuhan." Kubiarkan dia berjalan sampai lima langkah lagi dari pintu, lalu kupanggil, "Saya rasa kamu tak akan pernah menemukan-Nya. Tapi, saya yakin Dialah yang akan menemukanmu." Tommy mengangkat bahu, lalu pergi. Aku merasa agak kecewa karena dia tidak bisa menangkap maksud kata-kataku.

Kemudian kudengar Tommy lulus, dan aku bersyukur. Namun kemudian sebuah kabar sedih : Tommy mengidap kanker, dan sudah mencapai stadium lanjut. Sebelum aku sempat mengunjunginya, dia malah duluan menemuiku. Tubuhnya sudah kisut, dan rambut gondrongnya rontok karena kemoterapi.

Namun, matanya tetap bercahaya dan suaranya, untuk pertama kalinya, terdengar tegas. "Tommy! Saya sering memikirkanmu. Katanya kamu sakit keras?" tanyaku langsung. "Oh ya, saya memang sakit keras. Saya kena kanker, dan hidup saya tinggal beberapa minggu lagi”. Lalu kataku : “Kamu mau membicarakan itu?" Tommy menyahut, "Boleh saja. Apa yang ingin pastor ketahui?" Aku bertanya lagi, "Bagaimana rasanya berumur 24, tapi kematian sudah di depan mata". Dan Tommy menjawab, "Ini lebih baik ketimbang jadi lelaki berumur 50 tapi mengira bahwa minum, rmain perempuan, dan menguber-nguber harta adalah hal paling penting dalam hidup ini."

Lalu dia mengatakan mengapa dia menemuiku. "Sesuatu yang pastor pernah katakan pada saya pada hari terakhir kuliah pastor. Saya bertanya waktu itu apakah saya akan pernah menemukan Tuhan, dan pastor mengatakan tidak. Jawaban yang sungguh mengejutkan saya. Lalu, pastor mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan menemukan saya. Saya sering memikirkan kata-kata pastor itu, meskipun pencarian Tuhan yang saya lakukan pada masa itu tidaklah sungguh-sungguh. Tetapi, ketika dokter mengeluarkan segumpal daging dari pangkal paha saya", Tommy melanjutkan, "dan mengatakan bahwa gumpalan itu ganas, saya pun mulai serius melacak Tuhan. Dan ketika tumor ganas itu menyebar sampai ke organ-organ vital, saya benar-benar menggedor-gedor pintu surga, tapi tak terjadi apa pun. Lalu, saya terbangun suatu hari, dan saya tidak lagi berusaha keras mencari-cari pesan itu. Saya menghentikan segala usaha itu. Saya memutuskan untuk tidak peduli sama sekali pada Tuhan, kehidupan setelah kematian, atau hal-hal sejenis itu. Saya memutuskan untuk melewatkan waktu yang tersisa untuk melakukan hal-hal penting," lanjut Tommy, "Saya teringat tentang pastor dan kata-kata pastor yang lain, “Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa mencintai. Tapi hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa mengatakan pada orang yang kita cintai bahwa kita mencintai mereka. Jadi saya memulai dengan orang yang tersulit, yaitu... ayah saya."

Ayah Tommy waktu itu sedang membaca koran saat anaknya menghampirinya. "Yah, aku pengin omong." "Omong saja.", katanya "Yah, ini penting sekali." Korannya turun perlahan. "Ada apa?". "Yah, aku cinta ayah, aku hanya ingin ayah tahu itu." Tommy tersenyum padaku saat mengenang saat itu. “Korannya jatuh ke lantai. Lalu ayah melakukan dua hal yang seingatku belum pernah dilakukannya. Ia menangis dan memelukku. Dan kami mengobrol semalaman, meskipun dia harus bekerja besok paginya."

"Dengan ibu saya dan adik saya lebih mudah," sambung Tommy. "Mereka menangis bersama saya, dan kami berpelukan, dan berbagi hal yang kami rahasiakan bertahun-tahun. Saya hanya menyesalkan mengapa saya harus menunggu sekian lama. Saya berada dalam bayang-bayang kematian, dan saya baru mulai terbuka pada semua orang yang sebenarnya dekat dengan saya. Lalu suatu hari saya berbalik dan Tuhan ada di situ. Ia tidak datang saat saya memohon pada-Nya. Rupanya Dia bertindak menurut kehendak-Nya dan pada waktu-Nya. Yang penting adalah pastor benar. Dia menemukan saya bahkan setelah saya berhenti mencari-Nya."

"Tommy," aku tersedak, "Menurut saya, kata-katamu lebih universal daripada yang kamu sadari. Kamu menunjukkan bahwa cara terpasti untuk menemukan Tuhan adalah bukan dengan membuatnya menjadi milik pribadi atau penghiburan instan saat membutuhkan, melainkan dengan membuka diri pada cinta kasih.” Lalu aku menambahkan, "boleh saya minta tolong? Maukah kamu datang ke kuliah teologi iman dan mengatakan kepada para mahasiswa saya apa yang baru kamu ceritakan?"

Meskipun kami menjadwalkannya, ia tak berhasil hadir hari itu. Ia keburu meninggal. Tapi satu hal, ia sudah melangkah jauh dari iman ke visi. Ia sudah menemukan kehidupan yang jauh lebih indah daripada yang pernah dilihat mata kemanusiaan atau yang pernah dibayangkan banyak orang.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...