28 February 2008

Bercintalah Setiap Hari

SEORANG pastor di Florida sana konon merasa begitu prihatin dengan tingkat perceraian yang terus meninggi--begitulah saya baca sebuah warta singkat di Koran Tempo, 26 Februari 2008 kemarin lusa. Namanya juga orang saleh, kalau tidak sembahyang kerjanya ya memberi nasehat. Dan inilah nasehatnya untuk “mengatasi” tingkat perceraian yang terus meninggi itu : “bercintalah setiap hari”, katanya, takzim.

Anda tentu mahfum apa yang dimaksud dengan “bercinta” dalam petuah bapak pastor di atas, bukan? Nasehat itu dijamin akan membuat geleng-geleng mereka yang sudah berkeluarga, atau setidaknya pernah punya pengalaman “bercinta”. Bapak pastor kita rupanya tidak bisa membayangkan bahwa “bercinta” itu hakikatnya lebih berat dari pada berdoa.

Berdoa setiap hari rasanya banyak dari kita yang masih sanggup melakoninya, biarpun rasanya kadang bete banget. Tapi “bercinta” saban hari, siapa tahan? Ahya, sudahlah. Nasehat itu setidaknya sudah membuktikan bahwa bapak pastor kita di Florida ini betul-betul mahluk yang saleh, dan ehm, karenanya jadi “awam” sekali dalam urusan beginian.

22 February 2008

The Story of "Seng Plaza"

KAMI menyebutnya “Seng Plaza”, lokasinya persis di pinggir sebuah jalan utama ibukota. Anda tak akan menemukan “plaza” yang satu ini dalam buku panduan wisata manapun. Seng Plaza memang hanya dikenal di kalangan yang sangat terbatas. Di tempat itulah biasanya kami melakukan ritual makan siang kami. Bergerombol atau sendirian, berguyon, sesekali berteriak melepas stres sebentar, sembari larak-lirik cuci mata sedikit.

Tersedia menu yang “lumayan”, tapi memang sangat “proletar” : gado-gado, sate ayam, pecel lele, aneka soto, gudeg, nasi goreng, mi goreng, dan beberapa jenis lagi. Untuk minum kalau soft drink biasa aja selalu ready. Kalau bosen, ada juga dijual aneka jus. Lumayan rasanya. Cukuplah menu-menu itu untuk digilir seminggu. Dan harganya cocok untuk kantong karyawan kecil macam kami yang serba ngepas, di zaman yang kayaknya tambah ngenes ini.

Itulah Seng Plaza. Oh ya, kenapa sampai disebut “Seng Plaza”, tidak lain karena tempat itu dikelilingi seng, juga beratapkan seng. Semuanya seng butut. Jauh sekali dari kesan artistik, malah sedikit kumuh, dan sebetulnya rada jorok juga. Memang sejatinya Seng Plaza hanyalah sebuah bedeng darurat. Jadi nama yang betul seharusnya “Warung Bedeng”, atau cukup disebut bedeng saja. Tapi mengikuti “selera Jakarta” kami gantilah namanya, meskipun pasti terdengar jadi ganjil di kuping.

Bukan, kami tak bermaksud bergenit-genit. Saya sendiri melihat ini sebagai cara kami menertawakan nasib, sekalian menyindir kecenderungan, konon, “metropolis” di sekitar kami. Ibukota yang ngakunya modern tapi kebanjiran saban tahun.

20 February 2008

Syarat Artikel Blog

BEBERAPA bloger senior sering memberi nasehat bahwa untuk konsumsi blog tulisan harus memenuhi antara lain dua syarat berikut. Pertama, hindari tulisan yang berpanjang-panjang. Sebab diyakini tak akan ada orang yang mau membuang-buang banyak waktu membaca tulisan yang panjang lebar itu.

Laku membaca di internet berbeda dengan kebiasaan membaca koran. Orang maunya yang ringkas, karena setiap waktu yang dipakai dalam kegiatan internet adalah uang. Makin lama waktu kita nongkrong di depan komputer, makin banyak duit atau ongkosnya. Beda dengan koran, mau dibaca berapa lama pun harga korannya ya tetap sebesar waktu koran itu dibeli.

Kedua, hindari bahasa yang sok resmi, apalagi “keriting”. Untuk blog, artikel yang dianggap baik adalah yang bahasanya nyantai, renyah dan gampang dikunyah. Syarat kedua ini melengkapi syarat pertama. Jadi kalau mau dirumuskan artikel yang “cocok” untuk blog adalah artikel yang ringkas, padat, tapi enteng cara penyampaiannya.

Saya juga setuju dengan anjuran “ringkas-padat-renyah” itu. Tapi kadang tidak mudah juga menaatinya. Ada tulisan yang memang harus dibuat “agak panjang”, dan “agak tidak mudah dikunyah”nya. Dan ternyata tidak selalu tulisan yang melanggar pakem “ringkas-padat-renyah” itu dijauhi pembaca.

Cobalah lihat blog Catatan Pinggirnya Goenawan Mohamad (GM). Artikel-artikel dalam blog itu sangat panjang untuk ukuran artikel blog umumnya (karena asalnya memang dibuat bukan untuk blog), dan bahasanya jauh dari renyah. Tapi pengunjungnya terus saja rame. Saya kira karena tulisan panjang dan “keriting” pun bisa nikmat dibaca.

Itu sangat tergantung dari bagaimana artikel itu diolah. GM, penulis catatan pinggir itu adalah seorang koki yang sangat piawai meramu tulisannya. Jadi kalau begitu masalahnya kembali ke rumus lama juga. Bukan masalah panjang pendek tulisannya, bukan juga apa yang ditulis, tapi “bagaimana” tulisan itu dibuat.

Jadi? Jangan takut sesekali bereksperimen melanggar aturan “ringkas-padat-renyah” itu.

15 February 2008

Feng Shui Bukan Klenik, Percayalah

FENG SHUI sering disalahtafsirkan. Kelompok agamis senang menyebutnya “sesat”, seraya menuduhnya ajaran setan, menduakan Tuhan, dan lain-lain. Sebaliknya mereka yang mengaku “rasional” menganggapnya sebagai omong kosong yang kagak ada logikanya. Betulkah begitu? Saya bukan pakar urusan ini, tapi perkenankanlah nimbrung bicara sedikit.

Secara etimologis, feng shui berarti “air” dan “angin”. Sebetulnya yang dituju dengan dua kata itu adalah semesta, alam ini. Jadi feng shui adalah ilmu yang mengamati alam atau semesta ini. Dalam pandangan ilmu feng shui alam ini tidak statis. Alam ini menyimpan energi. Ia hidup. Ada daya yang terus bergerak, mengalir, sering bertubrukan, dan melahirkan berbagai fenomena alam yang sebagian bisa ditangkap indera, tapi sebagian besar lainnya gagal dideteksi, tapi bisa dirasakan efeknya.

Energi (atau chi dalam istilah sononya) memiliki karakter. Ada yang sifatnya mirip kayu, logam, tanah, air, dan api. Harmoni dalam alam ini akan tercapai manakala tercapai keseimbangan antara kelima unsur itu. Sebaliknya disharmoni alam, biasanya berupa timbulnya bencana, disebabkan terjadinya gangguan pada keseimbangan kelima unsur chi itu.

Manusia, juga memiliki komposisi energi yang sama dengan alam. Kelima varian sifat chi (air, api, dan lainnya itu) juga ada pada manusia. Ada orang yang unsur apinya dominan, dan yang lain varian tanahnya mendominasi. Ini menjelaskan mengapa manusia hadir dangan tabiat dan perilaku berbeda-beda, meski berasal dari rahim yang sama.

Itu sebabnya juga sering disebut bahwa manusia adalah “jagat kecil”, sebagai lawan dari “jagat besar”, semesta ini. Rasa bahagia, damai, akan tercapai apabila terjadi keselarasan lima unsur chi dalam diri manusia yang bersangkutan. Stres, depresi sebaliknya adalah pertanda hilangnya atau terganggunya keselarasan itu.

Yang menarik, “jagat kecil” dan “jagat besar” ini ternyata bisa saling mempengaruhi. Lihat saja misalnya, kondisi cuaca (alam) yang ekstrim ikut mempengaruhi manusia, baik secara fisik maupun psikis. Cuaca hujan dan mendung misalnya cenderung membuat kita murung, selain juga berpotensi pada terjadinya gangguan fisik—sebutlah flu atau pilek. Cuaca panas membuat kita gerah dan gampang naik pitam, dan banyak contoh lain.

Sebaliknya, “jagat kecil”, sang manusia itu, juga bisa mempengaruhi “jagat besar”, atau semesta. Tahukah anda mengapa para motivator sering menganjurkan supaya kita berpikiran positif? Karena berpikir positif (berdoa juga contoh berpkir positif) sebetulnya adalah cara menyelaraskan kelima elemen chi dalam diri kita. Saat keselarasan itu bisa dicapai, suasana hati kita pun berada dalam mood yang prima untuk meladeni apa saja tantangan yang ada. Hidup pun sekonyong terasa berbeda, jadi lebih indah, minimal lebih ramah.

Dalam pandangan feng shui situasi itu adalah pertanda telah tercapainya sinergi yang baik antara kelima unsur chi dalam “jagat kecil”, si manusia, dengan kelima unsur chi dalam “jagat besar”. Ini penjelasan yang sangat logis untuk dipahami. Tak terasa samasekali ada bau klenik di sini. Dan itulah feng shui sebetulnya, secara kasar dan sangat sederhana.

12 February 2008

Perlukah Tuhan Dibela?

GUS DUR dulu pernah menulis buku yang diberi judul “Tuhan tak Perlu Dibela”. Saya tak pernah membaca buku itu sebetulnya, hanya melihat covernya sepintas. Tapi karena penulisnya Gus Dur, sosok yang kita kenal penuh dengan kelokan dan kejutan, dan karena beliau dikenal juga sebagai tokoh yang “moderat”, yang tak suka main mutlak-mutlakan, sepertinya kita bisa sedikit mereka-reka maksud bukunya itu.

Sepertinya Gus Dur hanya kepingin ngomong bahwa dalam usaha kita “membela” Tuhan, tidak usahlah kita sampai jatuh pada ekstrimitas yang hanya membuat masalahnya malah jadi tidak karuan. Sebab hakikatnya Tuhan memang tidak perlu pembelaan apa pun dari kita yang hanya debu di kakiNya ini. Dia itu Maha, tak kurang apa jua, tak butuh apa pun, maka apa toh sebetulnya yang bisa kita banggakan padaNya? Menjadi satpamNya atau centengNya? Rasanya kok tidak ya.

Sering terlihat juga bahwa dalam usaha “perjuangan” kita “membela Tuhan” sebetulnya yang kita lakukan hakikatnya adalah membela ego kita sendiri. Kita merasa terganggu ketika ada orang lain atau kelompok lain mempertanyakan, atau bahkan menyerang apa yang menjadi keyakinan kita—yang sebetulnya, kalau kita berani jujur, belum tentu bener lho di mataNya. Sebab sejauh menyangkut keberadaanNya, memang tak siapa pun (ulangi, tak siapa pun) berhak mengklaim tahu dan paham tentangNya.

Tapi kekerdilan akal manusiawi sering membuat kita jatuh pada pemutlakan sepihak, pada penghakiman pribadi atau golongan yang semena-mena. Kita sering jadi begitu jumawa dengan keyakinan itu, dan lalu “menajiskan” kelompok lain begitu saja. Kita berang pada keyakinan pihak lain itu, karena kita merasa diusik dari kenyamanan tidur dan mimpi kita. Kita, sering tak cukup siap menerima bahwa kenyataan ternyata berjarak—dan seringkali jaraknya demikian jauh—dari yang selama ini kita impikan.

Dalam konteks itu menjadi menariklah melihat bagaimana heboh lukisan Last Supper yang diparodikan majalah Tempo telah diselesaikan. Di sana tak terlihat gerombolan yang marah, yang mengacung-acungkan clurit atau pedang samurai lokal seraya menyeru-nyeru namaNya, dan lalu dengan semangat “jihad” merusak kantor orang, yang artinya menjungkirkan pundi-pundi rizki orang lain. Juga tak ada juga fatwa mati untuk siapa pun. Tak ada pastor atau uskup yang merasa ditempeleng. Tak ada pemimpin redaksi yang merasa terancam nyawanya. Semuanya diselesaikan dengan santun.

Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa itu agaknya paham betul, bahwa kekerasan bukan jalan keluar yang elok. Mereka pun tampaknya sadar bahwa kesalahpahaman jamak terjadi dalam keserbamajemukan. Perbedaan tafsir menjadi niscaya, tak terhindarkan. Mereka, majalah Tempo di satu pihak dan Gereja Katolik di pihak lainnya, secara tersirat agaknya juga mengakui bahwa tak satu pun di antara mereka berhak memonopoli persepsi.

Tak siapa pun di antara mereka berhak merasa benar sepenuhnya, atau sebaliknya menganggap pihak lain salah sepenuhnya. Alangkah indahnya, kalau kita bisa hidup dalam adab yang demikian.

06 February 2008

Mengultimatum Tuhan

SAYA punya teman yang mengaku lagi ngambek sama Tuhan. Ia ngambek, karena merasa permohonan doanya tidak pernah dikabulkan, padahal menurutnya permohonan doanya itu “baik”, dan tidak aneh-aneh. Karena itu ia sekarang melakukan “boikot”, dengan cara berhenti berdoa.

Lucu sekali kelakuannya itu. Karena hakikatnya dialah—atau kitalah--yang memerlukan kehadiran Tuhan, bukan sebaliknya. Jadi kalau dia ngambek berdoa, saya bayangkan Tuhan di arasyNya sana mungkin mesem-mesem geli saja melihat segala polahnya itu.

Tuhan, lewat Kitab Suci, memang menjanjikan pertolongan. Ada ayat indah dalam Perjanjian Lama yang kalau tak keliru berkata “TanganNya tidak kurang panjang untuk menolong”. Tapi “beliau” memang tidak pernah menjelaskan dengan cara bagaimana, atau bilamana, pertolongan itu akan diulurkan.

Sementara kita maunya pertolongan itu terjadi secara instan, seketika. Misalnya kalau malam ini memohon, maka besok sore, atau lusa paling telat, urusan sudah beres. Kalau itu tak terjadi kita pun merasa punya hak untuk kecewa, lantas ngambek. Itu sebabnya sebagian dari kita yang tak bisa bersabar, akhirnya berpaling meminta tolong dari sumber lain, yang bisa menjanjikan jawaban dan solusi yang “lebih jelas” dan “segera”.

Kita sering tanpa sadar memperlakukan “beliau” sebagai “pesuruh” yang mesti menuruti apa maunya kita. Padahal dalam doa Bapa Kami—sebuah rumusan doa yang sangat indah dari tradisi Nasrani—jelas disebut di sana “jadilah kehendakMu”, dan bukan sekali-kali “jadilah Kehendak-ku”.

Jadi bukan “ku”, melainkan “Mu”. Sangat jelas, tapi memang bukan ikhtiar iman yang mudah mengubah “ku” menjadi “Mu”, dengan “M” itu.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...