20 November 2013

"Terlambat"



MARILAH untuk sebentar kita merenungkan kata yang satu ini, “terlambat”. Ini kata yang mungkin teramat akrab dengan kita, karena kita begitu sering melakonkannya, atau terpaksa melakoninya, ya situasi “terlambat” itu. Kita sering terlambat bangun pagi, misalnya, kita sering terlambat berangkat kerja, kita suka terlambat makan siang, atau kita mungkin terlambat gajian bulan ini, dan begitu banyak lagi contoh.

Kita begitu akrab dengan situasi “terlambat”, karena begitu kerapnya itu terjadi, entah karena penyebabnya datang dari luar, atau karena penyebab “terlambat” itu kita buat sendiri. Kemudian kita mungkin jadi agak meremehkan situasi “terlambat” itu, menganggapnya “biasa”, menyebutnya “manusiawi”. Maka kita lalu mengenal ungkapan klise “lebih baik terlambat daripada tidak samasekali”, bukan?

Tapi di sini kita agaknya keliru. Kita kerap mengira tidak mengapa “terlambat”, karena nanti akan ada kesempatan berikutnya. Padahal kesempatan berikutnya, atau kesempatan kedua itu, nyatanya, tidak selalu datang. Apa boleh buat begitulah memang faktanya.

Fakta lain yang sepertinya juga keliru kita pahami adalah bahwa tidak semua hal dalam hidup ini bisa menunggu. Sejumlah hal ternyata harus kita lakukan “segera”: Segera begitu kesempatan untuk melakukannya terbuka. Dengan alasan apa pun, sebaiknya itu jangan ditunda.  Beberapa hal yang musti “segera” dilakukan itu ternyata sebetulnya “remeh”, ternyata begitu “sederhana”: memberi pujian kepada masakan istri, membalas pelukannya setelah pertengkaran semalam, atau memberi maaf kepada kesalahan anak kita ...

Aih, semogalah kita tidak “terlambat” menggenapkan hal-hal “remeh” dan “sederhana” itu, atau ia akan menjadi penyesalan teramat panjang.

04 November 2013

Menulis dengan Passion

SUNGGUH berat “perjuangan” sebuah blog untuk bisa “dikenal”. Ada puluhan juta (atau malah ratusan juta?) blog di dunia maya, dan blog ini hanya salah satunya. Bagaimana ia bisa muncul ke permukaan? Bagaimana bisa ia bersaing, bertahan? Ah, lebih baik saya tak memusingkan hal itu. Yang penting tetap menulis, terus menulis dengan passion, kalau bisa setiap hari, meski tak ada yang, katakanlah, membaca tulisan-tulisan itu.

Saya ingin selalu memelihara semangat itu, karena menulis pada dasarnya adalah sebuah cara melatih disiplin: disiplin berbahasa, disiplin menjaga logika, dan tulisan yang baik adalah tulisan yang memiliki tutur bahasa dan logika yang pasti baik juga.

Menulis juga sebuah tamasya, sebuah tamasya tak terduga ke lorong-lorong kemungkinan yang seringkali tak bisa kita bayangkan samasekali akhir dan ujungnya. Menulis dengan begitu adalah sebuah petualangan juga, ada resiko dan “bahaya” di sana. Tapi ada juga kenikmatan tersembunyi yang menunggu.

Menulis selalu menjanjikan pengalaman unik dan kaya, janganlah pernah saya takut kepadanya.

29 October 2013

Mental 1/2 Juara, Kasus Yayuk Basuki dan Boaz Solosa


DULU kita punya petenis cewek hebat, namanya Yayuk Basuki. Prestasinya lumayan, pernah bisa nembus
30 besar dunia. Banyak orang berharap ia bisa lebih baik dari itu, dan sebetulnya ia memang bisa karena ia memang punya talenta bagus. Sayang, talenta bagus itu terbuang sia-sia karena ia tidak ditangani pelatih yang bisa menggenjot kemampuannya secara maksimal.

Yayuk Basuki dilatih oleh suaminya sendiri. Ia tidak menggubris masukan yang diberikan banyak orang supaya ia berganti pelatih yang lebih profesional. Ia berdalih sudah menemukan pelatih yang pas dan cocok. Yah, kalau sama suami sendiri tentu saja lebih enjoy suasananya. Capek sedikit bisa ngaso dulu, kepingin sarapan sama indomie aja diturutin. Kalau caranya begini, mafhumlah kita kalau prestasinya lalu cuma segitu aja..   
 
Tidak begitu dengan Li Na, petenis top Cina saat ini. Begitu merasa prestasinya “macet” ia tak sungkan “memecat” suaminya, yang sebelumnya melatihnya, dan mencari pelatih lain. Li Na lebih serius, lebih bertanggungjawab, dan yah lebih profesional menggeluti tenis, tak seperti Yayuk Basuki, yang bersikap setengah-setengah. Maka tak heran kalau sejauh ini prestasi petenis Cina itu juga jauh lebih “moncer” ketimbang petenis kita. Terakhir ia nangkring di posisi 3 Dunia—prestasi tertinggi sejauh ini yang pernah dicapai petenis putri Asia.

Saya tak tahu kenapa ada banyak orang seperti Yayuk Basuki di sekitar kita? Orang-orang dengan bakat bagus, tapi malas (atau takut?) untuk mendaki lebih tinggi? 

Di lapangan sepakbola ada Boas Soloza. Pemain Papua ini kabarnya pernah dilirik sebuah klub dari Belanda. Tapi alih-alih menguber kesempatan bermain di luar negeri, Boas ternyata lebih suka tetap berada di “zona aman”nya, bermain untuk klub lokal, Persipura.

06 October 2013

Marah Kepada Koruptor

JUJUR saja saya termasuk mereka yang sudah bosen dengan berita korupsi. Jadi kalau ketemu berita seperti itu saya merasa sudah cukup dengan membaca judulnya saja--itupun saya lakukgan separuh hati. Soal kelanjutan kisahnya cukup menguping sambil lalu dari obrolan teman sehari-hari. Buat apa musti membuang-buang waktu memonitor kasus yang kita sudah sama tahu juga akan berakhir tidak jelas? Segalanya percuma saja. Ada maling ketangkep, tapi petugas pengadilnya sesama maling juga, jadi tahulah kita cerita akan seperti apa endingnua.

Tapi membaca warta ihwal Ketua MK, Akil Mohtar, yang tertangkap basah, emosi saya yang sudah lama "beku" ternyata masih bisa tersulut juga. Sepertinya publik juga tersengat oleh berita ini. Kejadian ini betul-betul menggempur sisa-sisa "harapan" kita perihal usaha penegakan hukum yang sementara itu kita tahu memanglah bagaikan kerja menegakkan benang basah. Sebuah kerja Sisifus.

Kemarin sewaktu akan pergi ke gereja ada satu kejadian kecil yang mengusik: seorang pengendara sepeda motor meneriaki sebuah truk yang sedang "bertugas" membawa sebuah Ferrary (maaf, kalau saya keliru menuliskannya, saya memang tak familiar dengan merek-merek mobil, apalagi yang "mewah") dengan makian sarkastik yang kayaknya hari-hari ini "mewakili" kemarahan kita kepada koruptor-koruptor itu.

Masalahnya, kemarahan saja tak cukup, dan kalau Presiden saja tak berdaya--sudah lama kita tahu ini--kepada siapa sekarang harapan kudu digantungkan? Kepada Prabowo Subianto? Ah, janganlah membikin saya kembali "menangis terpingkal-pingkal".

23 September 2013

Lautan Energi ...

"Perjuangan kita adalah melawan roh-roh jahat di udara ..." (Efesus 6:12)


SEORANG kawan suatu kali tandang ke seorang pastor yang biasa "buka praktek" pengobatan seputar hal-hal yang bersinggungan dengan "dunia gaib". Ia bukan pastor biasa, agak nyleneh, mendalami dan melakoni Jalan Kejawen. Ia juga tak anti fengshui. Kawan saya ini mendatanginya karena punya masalah: sering "dijahili" oleh kehadiran mahluk-mahluk yang--bagi kita pada umumnya--tak jelas juntrungannya itu.

Pastor, atau baiklah kita sebut saja, romo yang disambangi kawan saya ini antara lain bercerita bahwa alam yang kita diami ini sejatinya adalah "lautan energi". Ini adalah "lautan" yang tak pernah diam, sarat dengan rupa-rupa gelombang. Rada mirip dengan gelombang pemancar radio atawa televisi, katanya memberi ilustrasi  Maksudnya, mereka ada tapi tak tertangkap mata biasa. Kita ini.pun masing-masingnya tak lain dan tak bukan adalah salah-satu dari energi di jagat ini.

Dan kehidupan ini, kata sang romo, isinya adalah aksi-interaksi antar medan-medan energi itu. Bisa saja terjadi semacam sinergi di antara yang "cocok", dan sebaliknya "benturan" atau setidaknya "gesekan" antara sesama energi yang "ciong" alias tak ada kecocokan. Energi yang kuat menjadi dominan dan cenderung "menguasai", atau setidaknya "mengganggu", satuan energi yang lebih lemah.

Gangguan dan penguasaan itu terjadi dalam rupa-rupa manifestasi--jadi tidak melulu dalam bentuk gangguan "diusili" seperti yang dialami sang kawan di awal tulisan ini. Nasib buruk yang tak hentinya menimpa seseorang mungkin saja contoh ekstrim adanya "gangguan" itu.

Berdoa secara intens dan teratur adalah cara yang dianjurkan romo tokoh kita untuk bisa lebih tahan menghadapi gangguan dari energi-energi tak bersahabat yang ada di sekitar kita. Berdoa adalah cara yang diyakini efektif guna meraih sinergi dengan entitas energi superior yang menjaga dan merawat keutuhan hidup ini. Kita biasa menyebut energi superiot ini sebagai Tuhan. Sinergi ini menjadikan kita kuat dan tak tertembus ketika muncul "serangan". Setidaknya begiitulah menurut romo pengikut Kejawen ini.

20 September 2013

DAAI, TV yang Beda

SAYA akan pasrah saja apabila tulisan ini "dituduh" sebagai iklan alias promosi. Tak mengapa sesekali mengiklankan sesuatu yang kita anggap "baik" dan berguna, bukan?. Daai (baca: Taai) TV memang televisi yang mengusung program acara sangat beda dibanding stasiun-stasiun televisi swasta lain di tanah air yang--umumnya--didominasi film-film barat yang begitu gemar memamerkan aura kekerasan, atau sinetron dalam negeri yang mempertontonkan kedogolan demi kedogolan tokohnya.

Acara drama di stasiun DAAI, misalnya, biasanya bermuatan kisah dari kehidupan sehari-hari yang terasa sangat dekat dengan kita  Pernah diputar sebuah drama pendek yang bertutur perihal seorang dokter yang begitu keranjingan kerja (baca: mengabdi) demi pasien-pasiennya--sampai ia telat kawin. Bahkan hari Minggu pun dia habiskan untuk lembur. "Saya hanya ingin memastikan bahwa segalanya ditangani dengan baik", katanya memberi dalih bagi kerja kerasnya yang mirip "kecanduan" atawa "kegilaan" itu.

Kisah "Dokter Hsiao" yang bagi saya begitu inspiring itu tentulah tak mungkin Anda dapatkan di stasiun televisi lain. Dan jika mereka menggelar juga drama bertemakan cinta, kita pun akan terhindar dari suguhan klise-klise yang kerap menyesaki daram-drama percintaan buatan dalam negeri. Memang secara filmis-sinematografis drama-drama suguhan DAAI tidaklah "luar biasa" Harap maklum, stasiun ini memang bukan ajang tempat orang jor-joran menayangkan film avant garde. Tidak. DAAI hanyalah sebuah forum televisi keluarga tapi dengan pilihan acara drama yang sangat menyentuh namum sederhana dan "sangat biasa" penyampaiannya.

Tentu, selain acara drama, masih ada setumpuk acara pilihan lainnya.  Jika Anda tertarik silakan cari channelnya. Tapi saya percaya, jika otak Anda telah telanjur tercuci bersih oleh suguhan TV swasta yang kebanyakan itu, tak akan mudah mencicipi bahasa "cinta kasih" ala DAAI.

17 September 2013

Ical, Masih Berani Terus?

SEBUAH hasil survey perihal Aburixal Bakrie alias Ical belum lama ini seputar peluangnya untuk "nyapres" di 2014, bagi kita kebanyakan, tentu tidak mengejutkan lagi. Hasil survey itu menyebutkan bahwa Ical memang  kandidat capres paling populer saat ini, tapi catatan tambahannya mengatakan bahwa mayoritas responden yang diwawancara menyebutnya sebagai "tidak pantas" untuk posisi RI-1 itu.

Tak mengejutkan lagi. Bukankah Ical adalah salah satu politikus yang sudah lama suka membuat kita "gemas" karena peran-sertanya (langsung atu tidak) terhadap bencana lumpur Lapindo dan berlarut-larutnya proses pembayaran ganti rugi kepada para korbannya? Belakangan malah ada kesan ia dan kelompokinya seperti mau "memanfaatkan" urusan ganti rugi ini guna memoles performa politiknya, Kita sempat mendengar ia katanya akan terus maju di 2014 dan segala urusan ganti rugi lumpur Lapindo akan diselesaikan--dia begitu yakin agaknya bahwa publik akan begitu gampangnya disetir hanya karena ia "akhirnya" melunasi urusan ganti rugi itu.

Kecuali tercoreng urusan lumpur, nama Ical juga beberapa kali disebut-sebut dalam kaitan dengan soal dugaan manipulasi pajak yang dilakukan oleh kelompok bisnisnya.  Proses hukumnya masih berlanjut, dan kita tak tahu akan berujung di mana nantinya masalah ini. Apa pun nanti putusan finalnya, publik agaknya sudah kadung mempunyai anggapan miring kepada tokoh ini. Itulah hal yang jamak terjadi pada politikus yang merangkap juga sebagai pebisnis. Kita pun mahfum, bukankah dua dunia itu--Politik dan Bisnis-- begitu sarat dengan muslihat?

Kini masalahnya terpulang kepada Ical sendiri. Baiklah ia memikirkannya dengan saksama dan sangat teliti, terus maju atau mundur sajakah?  Agar tidak salah ambil keputusan, sukalah ia menjauhkan diri sejenak dari para poliisi penjilat yang banyak merubungnya selama ini.  Sebagai gantinya, saya usulkan ia pergi jauh melakukan semacam "perenungan" di pinggir danau lumpur Lapindo nan hitam lagi luaaaaaas ... Nah, bagaimana? Saya rasa, tak ada salahnya dicoba.

15 September 2013

Kata-kata Tidaklah Hampa

SEKELOMPOK pakar di Jepang pernah membikin semacam eksperimen untuk membuktikan bahwa kata-kata atau "omongan" yang keluar dari mulut kita bisa punya dampak yang luar biasa, bahwa kata-kata bukanlah "hanya" kata-kata belaka. Mereka sekali-kali tidaklah kosong atau hampa.

Eksperimennya sederhana saja: obyeknya adalah 2 (dua) gelas air putih. Gelas-gelas itu kemudian diberi label, Gelas 1 dan Gelas 2. Kedua gelas itu kemudian diperlakukan berbeda sekali. Gelas 1 diperlakukan dengan sangat "manis", diajak "ngobrol" hal-hal yang menyenangkan, dipuja-puji, singkatnya, Gelas 1 diperlakukan dengan "positif".

Gelas 2 diperlakukan sebaliknya. Ia dimaki-maki, dikata-katai dengan kasar, diajak "ngobrol" yang jelek-jelek. Singkat cerita, kalau ke dalam Gelas 1 dicurahkan energi baik, maka ke dalam Gelas 2 dicurahkan energi negatif. Kemudian kedua gelas itu dibawa ke Lab guna diteliti dengan saksama.Hasilnya? Terbukti kemudian bahwa Gelas 1 yang mendapat perlakuan "manis" mempunyai kualitas kimiwi yang lebih baik ketimbang Gelas 2 yang diperlakukan kasar dan tidak sopan.

Jadi berhati-hatilah dengan omongan yang keluar dari mulut kita. Jika air saja bisa jadi rusak, macam mana pula kejadiannya terhadap hati manusia, yang sedemikian rapuhnya? Pepatah lama "fitnah lebih kejam dari pembunuhan" bukanlah mengada-ada.Kata-kata memang bisa lebih berbisa dari senjata apa pun.

10 September 2013

Mengapa FPI Tak Mati-Mati?

BELUM lama ini, ormas yang kerap bikin kita mengurut dada, Front Pembela Islam (FPI), berulang tahun. Ulang tahun yang keberapa, tak pentinglah itu kita urus.Yang lebih menarik buat diomongin adalah kenapa  kok ormas yang tindak-tanduknya teramat menggelisahkan banyak orang itu masih bisa eksis dan sejahtera hingga saat ini?

Kalau bagi saya sendiri soalnya sudah menjadi cukup jelas dengan sendirinya. FPI masih bisa survice tentu saja karena penguasa di sini belum menginginkannya "habis". Pastilah ada kalkulasi-kalkulasi politis tertentu yang telah dilakukukan dengan "saksama" sebelum lalu sampai pada keputusan mengambangkan keberadaan ormas preman berjubah ini.

Silakan menduga-duga sendiri "kalkulasi bijak" macam apa yang menjadi dasar pembiaran ormas ini. Tentu sah saja kalau misalnya Anda menaruh kecurigaan bahwa alasan itu karena penguasa saat ini merasa "jeri" kepada kelompok mayoritas yang berada di belakang preman-preman ini. Bagaimanapun perasaan sang mayoritas janganlah sampai dicederai--meskipun terang dan jelas kerjanya FPI ya menciderai perasaan kelompok lain.

Sah-sah juga kalau Anda menduga bahwa alasan pembiaraan itu semata-mata karena alasan pencitraan belaka. Maksudnya, supaya penguasa terlihat "sangat demokratis" oleh pihak luar. Biar saja orang di dalam pada ribut dan gereja-gereja disegel, yang penting publik di luar sana bisa diyakinkan bahwa penguasa saat ini mampu menahan diri dari kemungkinan tergoda bertindak reaktif dan emosional.

Mungkin Anda masih punya dugaan lainnya seputar soal FPI ini. Tak apa, itu artinya Anda masih punya cukup akal waras di tengah situasi yang semakin gokil ini, dan itu sah juga.

07 September 2013

Calon Presiden 2014?

  1. SIAPA gerangan calon presiden RI 2014 adalah pertanyaan luar biasa penting--karena itu menyangkut nasib ratusan juta warga negara di sini--tapi saya kuatir pertanyaan itu tidak dianggap lagi "penting" karena bisa saja sebagian besar kita sudah menjadi apatis. Sudah hopeless memikirkan nasib negara ini. Saya misalnya, terus terang termasuk kelompok yang merasa hampir yakin bahwa Pemilu 2014 tidak akan membawa negara ini beranjak jauh dari problem-problem gawatnya hari ini.
  2. BAGAIMANA saya bisa optimis kalau calon-calon yang kayaknya bakal "mentas" jauh dari meyakinkan. Merekak adalah sejumlah "stok lama" yang sebagiannya kita tahu tidak bakal becus kalau disuruh mengurus negara ini, sedang sebagiannya lagi adalah nama-nama yang menyandang cacat politis pada rekam jejak masa silamnya. Bagi saya sangatlah mengerikan memberikan kepada para mantan bandit ini peluang berkuasa.
  3. SEBETULNYA saya diam-diam menaruh harapan pada satu atau dua nama "alternatif" yang sedikit jauh mempunyai performa lebih baik ketimbang "stok lama" yang sepertinya pada tidak punya cermin di rumahnya itu. Tapi aturan main yang sekarang jadi "akidah" politik di sini tidak memungkinkan calon-calon alternatif ini mentas secara independen. Mereka harus  "nebeng" parpol yang ada, dan itu artinya mereka pun jadi sandera politik yang tidak merdeka lagi.Dan kalau sudah begitu, harapan apa lagikah yang masih boleh disandangkan pada mereka?
  4. JADI ini sebuah lingkaran setan, negeri ini macam terkena kutuk saja .Jika tidak terjadi hal-hal luar biasa, Pemilu 2014 hanya akan menghasilkan sejumlah pejabat baru (dan juga para penjahat politik yang baru)--bukan para pemimpin dan pengayom yang didambakan. Ah, mungkin saya kelewat berlebihan, maaf, tapi saya tak tega membohongi diri saya sendiri. Sekali lagi, maaf.

28 August 2013

Kiat Bahagia, Hiduplah Lebih Slow ... ...

KIAT bagaimana caranya supaya bisa lebih "bahagia" ternyata "gampang" saja, yaitu coba hidup lebih pelan, lebih slow, jangan kelewat grasa-grusu. Cobalah sebagai langkah awal, kata penganjur kiat ini, belajar melakukan segala sesuatunya lebih lambat 5 (lima) menit dari waktu yang biasanya kita jalani. Jadi misalnya sarapan pagi 5 menit lebih lama, berangkat ke kantor 5 menit lebih lambat dari biasa, lalu browsing di internet (sebelum mulai kerja) 5 menit lebih lama juga ...

Mungkin terdengar rada konyol nasehat itu, tapi coba perhatikan fakta bahwa ketika sedang liburan kita biasa melakukan hampir segala sesuatu dengan tempo lebih lambat dari biasa, dan nyatanya kita jadi merasa jauh lebih nyaman, bukan? Bukankah sudah lama ditengarai bahwa gaya hidup modern yang selalu terbirit-birit macam lomba itu menjadi penyebab timbulnya berbagai penyakit, dan pada gilirannya menyebabkan ketidakbahagiaan. 

Sebuah temuan mengejutkan (seharusnya tidak lagi mengejutkan) belum lama ini menyebutkan bahwa penduduk Singapura ternyata tergolong penduduk yang "tidak bahagia" di dunia. Mengherankan (seharusnya juga tidak perlu diherani) bahwa ternyata kemakmuran fisik; keserbacukupan materi di negeri mungil nan tajir itu tidak otomatis mengantar pada kebahagiaan. Bahkan kita mungkin menjadi sah untuk bertanya, apakah bukan tidak mungkin kemakmuran fisik itu yang jadi penyebab ketidakbahagiaan di sana?

Temuan itu selanjutnya menyodorkan fakta bahwa penduduk di sejumlah negara Amerika Latin (yang lebih "miskin" ketimbang Singapura) ternyata malah terglolong "bahagia" dengan hidupnya. Mengapa bisa begitu?  Mungkin perbedaan gaya hidup di Singapura dan Amerika Latin itulah penyebabnya. Di Singapura hidup begitu bergegas sehingga orang di sana dipaksa menjalani segala sesuatunya mungkin lebih cepat 5 menit dari biasanya. Sementara di Amerika Latin irama hidup berjalan lebih pelan, dan orang di sana masih bisa melakukan segala sesuatunya 5 menit lebih lambat ...

Mungkin menarik menambahkan satu catatan lagi, yaitu bahwa Singapura adalah contoh negara sekuler di mana hal-hal spiritual makin dianggap sebagai "tidak relevan" lagi. Hal sebaliknya terjadi di negara-negara Amerika Latin. Jadi bolehkah kita pun sedikit bergurau: penduduk Singapura memetik banyak kekayaan duniawi tapi pada saat yang sama mereka dipaksa mencicipi juga pahitnya bebuah sekulerisme?

19 August 2013

Teka-teki Blog yang Hilang

BLOG saya, [Rak Puisi], pernah sekonyong-konyong hilang begitu saja. Kejadiannya sudah hampir dua tahun yang lalu, kalau tak salah ingat. Kalau kita coba mengaksesnya kala itu akan muncul pesan "Blog Ini Sudah Dihapus". Heran bin bingung saya ketika itu--juga sedih dan marah. Bagaimana tidak, blog yang sudah susah payah dirrawat dan diupdate 5 (lima) tahun lebih tiba-tiba saja kok raib. Saya langsung menduga itu kerjaan "hacker". 

Anehnya, akun Gmail saya pun tidak bisa diakses. Lebih aneh lagi blog [Ruang Samping] ini tetap bisa tampil, hanya saya nggak bisa login karena ia menggunakan akun Gmail yang sama dengan [Rak.Puisi].


Saya sempat mengumumkan peristiwa "kematian misterius" blog saya itu di situs jejaring sosial. Beberapa orang secara spontan pada turut menyatakan belasungkawa, sehingga membuat saya sedikit "terhibur" karenanya. Sesudahnya saya merasa akan berhenti ngeblog samasekali, karena kalau harus menulis dari awal lagi rasanya malas sekali.

Tapi kemudian terjadi lagi hal yang lebih aneh. Sesudah lewat beberapa bulan, ketika saya sudah mulai belajar melupakan "nasib malang" saya itu, eh blog yang hilang itu tahu-tahu bisa diakses kembali sewaktu saya secara iseng mencoba memanggilnya. Saya periksa ternyata keadaannya tak kurang suatu apa, masih sama persis seperti sebelum ia "hilang". Dan akun Gmail saya yang macet mendadak bisa diakses juga.

Begitulah, dengan terheran-heran saya lalu mengumumkan kembalinhya blog itu. Sampai hari ini saya tetap tak paham gerangan apa yang sebetulnya terjadi dengan blog puisi saya itu. Saya menduga-duga apakah ini kerjaan Google--selaku pemilik Blogspot? Mungkin  ada "perilaku" blog saya yang dianggap "melanggar akidah", maka blog itu kena cekal. Kemudian agaknya terbukti bahwa saya tak bikin dosa apa pun, maka ia dibebaskan kembali. Hanyai apakah betul duduk soalnyha demikian? Wallahuallam.

Sedihnya, mungkin saja ada yang kemudian mengira saya sengaja membikin kehebohan itu guna menarik perhatian.

14 August 2013

Misalkan Dulu Saya tak Kawin

YA, misalkan dulu hari itu saya memutuskan tak kawin, tetap lajang begitu, sedang apa gerangan saya saat ini, pada malam nan sepi ini? Saya pasti tidak sedang berada di rumah yang kini saya tempati ini. Sebuah rumah di sebuah gang (buntu) di Kebon Jeruk Jakarta. Jadi di mana kiranya saya tinggal? Oh,  mungkin sekali saya memilih menetap di Bekasi, nemplok di rumah orang tua, di sebuah perumahan menengah di Kalimalang.

Atau saya tinggal di sebuah rumah BTN tipe 45 yang dulu memang sempat saya beli, di Bekasi juga, hanya lokasinhya rada mojok, aksesnya setahu saya lumayan macet sehari-harinya. Rumah itu mungkin sudah saya desain sedemikian rupa, sehingga cocoklah untuk ditinggali seorang bujangan yang punya kegemaran membaca dan menulis. Jadi saya membayangkan di rumah itu ada sebuah kamar kerja yang merangkap perpustakaan pribadi. Tentu ada juga internet, televisi layar datar dan seperangkat alat pemutar musik--sebab sang bujangan lumayan gemar mendengarkan musik.  

Kata orang, hidup hanyalah soal pilihan. Memang kalau saya coba berandai-andai dan membayangkan kembali jika saja pilihan yang dulu saya ambil itu adalah bukan yang sekarang saya jalani, sejuta kemungkinan dari yang sangat "biasa" sampai yang paling "gila" segera terbayang di dalam ini jidat. Jangan salah sangka dulu, saya tak menyesali pilihan saya, saya hanya sedang mencoba iseng dengan imajinasi saya.

Dan jujur, saya sungguh takjub tapi sekaligus "ngeri" juga membayangkan serba kemungkinan jalan nasib saya sekiranya pilihan "tidak kawin" itu yang dulu saya ambil. Di atas semuanya, tak ada jaminan sama sekali bahwa hidup saya akan jadi "lebih bahagia"--pilihan hidup melajang tentu mempunyai konsekuensinya sendiri, bukan?

(Tapi satu hal bisa saya pastikan betul, jika misalkan dulu saya memang tak kawin, maka tulisan ini sudah pasti tak akan pernah ada  Atau sebaliknya saya kemudian menulis, "Misalkan Dulu Saya Kawin" Aduh kacau sekalki, sudahlah tidak usah beranda-andai. Jalani saja yang sudah telanjur ada ini).

12 August 2013

Beli Buku, Dari Mana Duitnya?

MESKI lumayan doyan membaca, anggaran saya untuk buku tak pernah besar. Sebabnya simpel saja, dana untuk itu memang tak banyak tersedia. Dulu waktu masih bujang sih lain kondisinya. Sekarang saya perlu berhitung cermat untuk setiap rupiah yang saya keluarkan. Yah, maklum pegawai kecil.

Biasanya saya terbantu oleh duit honor puisi dari koran yang memuat sajak saya. Meski tak banyak, lumayanlah. Tapi yang namanya puisi kan juga tidak bisa rutin keluar seperti kita "ngepuk" saban pagi.. Sekarang saja misalnya, sudah setengah tahun belum ada lagi puisi yang datang menemui saya. Ini juga ada sebabnya: rutinitas kantor bikin saya mati kutu.

Jadinya seperti lingkaran setan. Puisi memang memerlukan prasyarat khusus--dalam kasus saya--untuk bisa dihadirkan. Saya butuh jeda yang cukup lama guna menyiapkan dulu atmosfir penciptaan itu. Saya bukan penulis yang bisa leluasa menulis pada segala cuaca. Tapi mungkin saya harus mencoba mengubah "gaya" itu, mencoba memutus "lingkaran" yang membuntukan ini. Ya, mungkin dengan percobaan-percobaan "kecil" dulu.

Tapi jujur saja, saya tak yakin akan bisa melakukannya.

10 August 2013

Lebaran Sudah Lewat

RASANYA belum lama kita masuk ke Bulan Ramadhan, berpuasa, bertarawih, bersahur, eh tahu-tahu sudah Lebaran, dan yah sekarang Lebaran juga sudah lewat. Rasanya baru kemarin dulu saya terima duit THR (yang tak pernah cukup itu), kini bersama "Sang Lebaran" yang buru-buru pamitan di ujung kalender, "Sang THR" pun sudah ikutan ludes.

Untunglah Lebaran tahun ini jatuh di pertengahan minggu, sehingga masih tersisa hari Sabtu dan Ahad, sehingga kita pun masih bisa memanjangkan libur dan tidur, masih boleh melupakan tumpukan pekerjaan di kantor. Saya sendiri mengambil cuti sampai Selasa pekan depan karena suster penjaga anak-anak baru balik dari mudik Rabu pagi.

Saya berharap bisa memanfaatkan sisa liburan ini sebaik-baiknya untuk membaca, hal yang belakangan (dua tahu terakhir ini) menjadi sulit saya lakukan karena kerepotan kerja kantor. Kerepotan itu sampai pernah begitu gilanya hingga rasanya tak ada lagi ruang tersisa di kepala saya untuk hal lain selain pekerjaan. Saya sungguh berharap "kerja rodi" semacam itu tak akan pernah datang lagi.

Saya ingin hidup yang "normal" saja, seperti jutaan pekerja lain di planet ini. Bekerja delapan jam sehari, itu cukup nggak usah pake "bonus" lembur segala-- lebay itu sebutanya. Lalu sisa waktu didedikasikan sepenuhnya untuk anak-anak dan keluarga. Dan tentu saja juga untuk dua blog saya tercinta, ehm.

08 August 2013

Lebaran, Menu Setahun Sekali

LEBARAN memberi kesempatan kepada, setidaknya saya, untuk mencicipi menu makan yang sangat beda. Yaitu ketupat dengan segala lauk dan "asesori"ya. Menu yang sangat spesial, tidak akan pernah kita temukan di restoran mana pun juga, karena ketupat Lebaran itu dibuat oleh para tetangga kita sendiri.

Dari tahun ke tahun memang menunya "standar", ketupat lalu ada opor ayam, bumbu santan, dan kadang ada tambahan potongan daging rendangnya. Meskipun dari dulu menunya "dari itu ke kitu juga" saya ternyata sangat menikmatinya, tak pernah merasa bosan. Mungkin karena kesempatan saya menikmatinya hanya datang setahun sekali.

Tapi pastilash itu juga karena masakan-masakan itu telah diolah dengan sangat piawai. Ah, saya jadi tahu sekarang bahwa Ibu Haji tetangga depan rumah saya, yang penampilan sehari-harinya "biasa" saja, ternyata rendang Betawinya enak sekali. Saya pun jadi mendusin bahwa tetangga di ujung gang sana, yang cuma saya kenal begitu saja, ternyata masakan ketupat dan kuah santannya betul muantab    

Nah, bolehlah pada kesempatan yang baik ini, saya menghaturkan terima kasih karena mereka telah sudi mengingat saya, menyisihkan sebagian dari panganan Lebaran untuk keluarganya guna memberi juga saya kesempatan mencicipi bersama "nikmat" lidah ini. Lebaran memang bukan hari biasa. Minal aidin wal faidzin, maaf lahir dan bathin.

05 August 2013

Ramadhan dan Saya

MESKI bukan muslim, bulan Ramadhan selalu bearti khusus buat saya. Mungkin sebagian karena  kenangan masa kanak. Ketika itu, bulan Ramadhan--Bulan Puasa, begitu saya biasa menyebutnya kala itu--identik dengan libur panjang sekolah. Liburnya lebih panjang ketimbang libur sekolah sekarang, yang "hanya" sepuluh hari. Libur Puasa sekolah ketika itu bisa sampai sebulan atau lebih. Sebagai bocah tentu saya begitu suka cita menyambut datangnhya "Bulan Liburan" itu.

Selain itu, suasana di bulan yang satu ini--khususnya pada malam harinya--memang beda. Malam-malam di bulan Ramadhan adalah malam-malam yang "meriah". Pemandangan rombnongan jamaah yang berduyun-duyun mendatangi masjid guna bersholat Tarawih, entah mengapa, menyejukkan saya. Lalu panggilan untuk ber-sahur pada sepi dinihari, sungguh membuat saya merasa damai. Beberapa kawan saya di masa kanak suka bercerita bahwa selama Bulan Puasa semua setan pada dikurung sehingga, katanya, kita tidak usah takut keluyuran sendiri di malam-malam Bulan Puasa itu.

Ketika saya beranjak lebih besar, ada satu hal lagi yang teramati. Yaitu pada bulan Ramadhan sepertinya semangat orang untuk belajar (maksud saya membaca kitab-kitab agama) juga meningkat  Saya tak  peduli apa yang mendasari kegairahan membaca buku pada bulan Ramadhan itu, yang pokok dan positif adalah bahwa kegairahan itu sudah terjadi,  Dan biasanya saya juga ikut ketularan, jadi tambah semangat membolak-balik kitan pelajaran agama yang biasanya jarang saya jenguk itu.

Jadi singkatnya, Ramadhan memang bulan yang "beda"--tak peduli saya bukan muslim--saya merasa bisa ikut menikmatinya juga. (Belakangan Ramadhan juga punya arti lain bagi saya. Yaitu bahwa bulan ini menjadi identik dengan akan keluarnya THR--tapi ini catatan dari sudut pandang yang lain lagi). Maka seperti penyair Taufiq Ismail dalam salah satu syair Ramdhannya yang dinyanyikan dengan amat syahdunya oleh Grup Musik Bimbo, saya pun suka merasa "kehilangan" setiap kali bulan nan penuh barokah ini akhirnya usai.

Bahkan ada membersit sedikit rasa gamang, bisakah saya ketemu lagi Ramadhan di tahun depan? Masih bisakah, misalnya, saya ketemu ibu saya, yang tahun ini sudah 78, pada "Bulan Puasa" berikutnya? .  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...