24 April 2008

Bila Blogger "Berpoligami"

MESKIPUN ada hukum agama tertentu yang mengijinkannya, dalam prakteknya berpoligami ternyata memang merepotkan. Konon laku berpoligami itu akan oke-oke saja sepanjang pelakunya bisa berlaku adil dalam membagi perhatian dan membagi “lain-lain”nya kepada pasangan poligaminya. Tapi justru itulah sumber keruwetannya : “berbagi” dengan adil itu nonsens faktanya.

Agaknya hukum poligami dalam perilaku beragama juga berlaku dalam urusan ngeblog. Artinya kita tidak pernah dilarang punya lebih dari satu blog. Mau punya seratus blog juga silakan saja. Tapi masalahnya kemudian, bagaimana lalu anda mengatur waktu dan membagi-bagi “kasih sayang” anda kepada blog-blog itu? Bisakah anda berlaku adil dan tidak berat sebelah sehingga tidak ada blog anda yang merasa “terzalimi”—sehingga lalu merana, dan akhirnya mati kesepian?

Begitulah, seperti lazimnya “blogger yang normal” dan merasa “masih perkasa” saya tidak tahan juga untuk tidak “berpoligami”. Tidak puas hanya “mengawini” satu blog, sudah hampir setahun ini saya memaksakan diri hidup seiring semati dengan dua blog sekaligus. Awalnya kehidupan “poligami” saya berjalan beres-beres saja. Tapi kemudian ternyata saya mulai suka mencong dan plintat-plintut dengan salah satu blog saya.

Tidak bisa saya pungkiri ternyata saya lebih sayang kepada blog sastra saya, ketimbang blog gado-gado saya yang ini. Mau bilang apa, diputar-putar ke manapun itulah faktanya. Blog sastra saya ternyata lebih sering saya “nafkahi”, minimal seminggu dua kali, malah kadang kalau lagi ngebet kami malah bisa “bercintaan” saban hari. Sementara blog gado-gado [Ruang Samping] ini hanya sesekali saja saya jamah dan belai.

Sebetulnya saya masih cinta sama blog gado-gado saya ini. Masalahnya sampai saat ini saya belum punya “kendaraan” (alias komputer) sendiri. Jadi kalau mau menengokinya saya terpaksa naik “kendaraan umum” (maksudnya warnet). Itu sangat melelahkan dan tidak praktis. Sering terjadi mendadak pada tengah malam yang sepi dan dingin saya ngebet dan kepingin sekali “mengencaninya”, tapi karena ketiadaan sarana saya hanya bisa menahan “gejolak” saya itu.diam-diam, sampai akhirnya padam sendiri.

Tapi saya belum berpikir untuk meninggalkan apalagi menceraikannya. Seperti saya katakan di atas, sebetulnya saya masih sayang sama “dia”, hanya keadaanlah yang memaksa kami jadi jarang bisa ketemu. Lagi pula “dia” tampaknya cukup mengerti kok dengan keadaan saya yang hanya pegawai rendahan dengan gaji pas-pasan ini. Dan yang paling penting dia sama sekali tak keberatan saya “madu”. Jadi tidak ada masalah kan?

17 April 2008

Dewi Persik : Korban Sikap Munafik Kita

GONJANG-ganjing seputar “goyang gergaji” penyanyi dangdut Dewi Persik, yang kemudian berbuntut pada pencekalan atas penyanyi itu di wilayah Tangerang dan Bandung, adalah sebuah lagu lama. Bangsa ini dikenal munafik dalam banyak perkara—juga dalam urusan “goyang bergoyang” ini. Kita misalnya sering mengaku “anti pornografi”, tapi lihatlah berita-berita perkosaan ditampilkan dengan begitu vulgar di halaman-halaman koran, sampai hampir mirip novel stensilan, dan kita pun menyantapnya dengan lahap.

Masih ingat kasus pembunuhan seorang dara bernama Christine beberapa tahun lalu? Koran-koran dengan tangkasnya menelanjangi figur wanita yang ternyata sebelum dihabisi sudah sering “digarap” oleh pamannya sendiri itu. Mereka bahkan menjelajah sampai ke wilayah yang sangat pribadi. Misalnya saja perihal perilaku seksual Christine yang dianggap menyimpang tak ketinggalan dibahas juga. Saya masih ingat misalnya, sebuah koran besar (dan terhormat) di sini merasa perlu berkisah perihal ukuran liang dubur Christine yang dianggap “tidak lazim”—sebagai “bukti” bahwa almarhumah memang punya perilaku seksual tidak biasa.

Sedemikian rinci dan “tuntas” koran-koran membeberkan kasus ini sehingga rasanya tidak keliru kalau kita simpulkan bahwa Christine mengalami pembunuhan dua kali : pertama, dibunuh pamannya sendiri, dan kedua, dihabisi oleh media. Dan itulah sebetulnya wajah kita yang asli seaslinya dalam urusan beginian.

Dewi Persik (dulu ada Inul, dan entah siapa lagi) hanya korban dari sikap hipokrit kita. Kebetulan juga ini sudah dekat Pemilu, kebetulan juga di sana-sini lagi ada musim Pilkada, kebetulan juga ada politisi anu, atau pejabat itu, yang baru saja terpilih tapi merasa masih “utang setoran” kepada orang-orang di kampungnya; singkatnya ini memang lagi waktunya buat politisi “cari muka”, maka dicarilah korban. Dan yang apes kali ini Dewi Persik.

Tapi kalau kita mau berpikir dengan “teori dagang”, segala keributan ini sebetulnya malah berdampak bagus buat sang penyanyi. Ini sungguh promosi gratis yang luar biasa, bukan? Dulu Inul juga “dikerjain”, tapi ujung-ujungnya malah tambah “ngebor” karirnya. Maka kalau Dewi Persik hari ini dapat giliran “dikerjain”, percayalah besok dan lusa ia akan semakin “menggergaji” kita. Sampai di sini jelas sudah, “siapa mengerjai siapa” sebetulnya. Bravo “goyang gergaji”!

11 April 2008

Susahnya Mengajak Teman Ngeblog

SAYA punya teman yang salah satu kesenangannya adalah membagi-bagikan cerita bernuansa relijius lewat internet. Tapi ia tak melakukannya lewat situs atau blog, melainkan dengan mengirimkannya lewat surat elektronik. Ia menganggap media surat elektronik sudah cukup ideal untuk memenuhi kesenangannya itu. Surat elektronik itu bersifat personal, jadi si penerima, kata teman saya ini, akan merasa diperlakukan juga dengan personal.

Berulang kali saya katakan bahwa “misi”nya berbagi hal-hal relijius itu akan lebih efektif kalau menggunakan media blog—dan bukan surat elektronik. Blog jangkauannya lebih luas dan jauh, bersifat massal dan tidak personal. Cerita-ceritamu yang bagus itu, kata saya, mungkin nanti akan terbaca oleh “entah siapa” yang tinggal “entah di mana” yang diam-diam jauh lebih membutuhkannya ketimbang orang atau teman yang sengaja kau kirimi ceritamu itu.

Lagi pula, kata saya, bagi banyak orang mengakses halaman situs jauh lebih mudah dan menyenangkan ketimbang membuka inbox pada surat elektronik yang harus melewati beberapa tahapan—belum lagi kalau pas akses internetnya payah. Makanya ada banyak orang yang malas membuka kotak suratnya. Jadi, kata saya, bisa saja pesanmu itu akhirnya tidak dibaca oleh mereka yang sengaja kau kirimi surat.

Saya yakinkan juga bahwa membuat situs pribadi tidak sulit. Saya pinjami dia beberapa buku panduan membuat blog sendiri—dan saya menawarkan diri membantunya, kalau ia mengalami kesulitan. Sepertinya dia mulai tertarik, tapi sesudah sempat ngendon beberapa bulan dalam lacinya, buku-buku itu akhirnya dikembalikan, dan ia tak kunjung juga membuat blog.

Ia bilang bahwa situs atau blog “relijius” sudah banyak, jadi, katanya buat apa saya musti menambah-nambahi lagi. Ia juga suka jengkel karena sering menemukan blog yang “sok relijius” dan “sok pintar”. Maka kata saya, itulah celah yang bisa kau isi : buatlah blog relijius yang tidak sok relijius dan tidak pula sok pintar—tapi yang tulus mau share hal-hal relijius untuk membuat orang jadi teduh. Ia hanya menggeleng mendengar argumen itu.

Ia pernah pula bertanya apa yang saya dapatkan dari kegiatan ngeblog. Saya katakan padanya, tak ada—selain kepuasan batin karena tulisan saya dibaca orang lain, dan (kadang-kadang) dikomentari. Ia tertawa mendengar jawaban itu, mungkin karena jawaban saya baginya terasa lucu, atau ganjil.Yang pasti ia masih belum juga membuat blog, dan masih rajin mengirimkan cerita-ceritanya lewat surat elektronik. Kadang-kadang saja saya membuka dan membacanya.

09 April 2008

Ulang Tahun, Kaus Kaki, Celana Dalam

SAYA termasuk orang yang tak begitu memusingkan ritual hari ulang tahun. Ulang tahun memang hari yang spesial, tapi saya tak ingin mengindentikkan hari itu dengan hari pesta umpamanya. Bagi saya ulang tahun adalah waktu yang lebih pas dipakai untuk merenung. Misalnya, cobalah anda bertanya sudah “berapa ton nasi yang anda telan sejak anda mbrojol di dunia ini”, atau pernakah anda menghitung “sudah berapa ribu liter air yang anda tenggak selama ini”. Atau lakukan hal-hal “gila” lain yang tidak sekedar berdimensi perut belaka.

Dulu waktu masih bujangan saya punya ritual sedikit khusus untuk merayakan hari ulang tahun. Pada hari yang “spesial” itu saya pasti tak masuk kerja. Kadang ijin baik-baik, sering juga bolos begitu saja. Seharian itu saya menghabiskan waktu untuk keluyuran sendirian berkeliling Jakarta dengan bus kota. Kadang saya berhenti di sebuah terminal, mengamati dengan takzim segala kesibukan di sana. Atau saya singgah di tempat-tempat lain, yang sudah lama (atau mendadak) kepingin saya kunjungi.

Bahasa “tinggi”nya saya mencoba berefleksi dengan hidup saya--dengan cara mencoba melihat hal-hal keseharian dari sudut pandang yang saya usahakan lain. Saya mencoba mengambil angle yang “tak biasa”. Singkatnya, hari itu saya kepingin bebas, berada di luar kungkungan sistem dan beban rutinitas yang saban hari “membunuh” saya. Hari ulang tahun adalah kesempatan saya merayakan “kemerdekaan”.Mencoba menjadi “bayi” kembali.

Untunglah istri dan kedua anak saya sekarang juga agak sependapat dengan cara saya dalam memandang urusan ini. Mereka sepakat bahwa hari ulang tahun memang “harus dibedakan” dengan hari biasa, tapi membedakannya tidak musti dengan cara bikin acara “makan-makan”. Banyak cara membuat hari yang spesial itu menjadi paling tidak terasa “sedikit beda” dengan hari lainnya.

Waktu ulang tahun saya kemarin dulu misalnya, anak saya membuatkan saya puisi, doa supaya sukses, bahagia, panjang umur, dan harapan supaya buku puisi saya diterima—saat ini saya memang tengah “berjuang” menawarkan naskah puisi saya ke penerbit, dan hasilnya masih tak jelas. Semua mereka tulis dengan sungguh-sungguh dan tulus di atas kertas buku biasa, dengan pensil biasa, tapi bagi saya justru terasa begitu manis, mengharukan—dan karenanya jadi tak biasa.

Masih ada tambahannya. Daniel (6), anak saya yang kedua, membelikan saya kaus kaki--dia tahu agaknya saya seorang “pejalan”, dan karenanya butuh kaus kaki, selain juga sepatu yang kuat. Sedang Frida (8), anak pertama saya, membelikan saya sebuah celana dalam—ah dia begitu peduli pada “kemelaratan” saya rupanya, dan tak rela kalau bapaknya sampai mendapat malu karena tak bercelana.

Sayang, celana dalam itu agak kebesaran ukurannya. Tapi tak mengapa. Yang penting sebuah usaha membuat hari ulang tahun menjadi “beda” telah coba mereka lakukan. Meskipun dengan cara yang sangat sederhana.

06 April 2008

Tjerita Silat : Pilih OKT atau Gan KL?

NAMA besar memang bisa mengecoh. Begitulah baru-baru ini saya merasa terkecoh oleh nama besar Gan KL. Anda penggila tjerita silat Cina jaman dulu (bukan yang Kho Ping Hoo lho) pasti sudah kenal nama ini. Beliaulah—bersama-sama OKT, Gan KH, SD Liong—empu penerjemah (lebih tepat penyadur) cerita silat dari “seberang” yang banyak digilai di sini pada masanya.

Belakangan ini, sesudah lama “koma”, tjerita silat seperti mendapat nyawa kembali. Muncul usaha untuk menerbitkan ulang sejumlah besar judul yang dulu pada zamannya menjadi barang yang banyak diburu. Selain karya-karya OKT, buku-buku Gan KL juga kebagian giliran diterbitkan ulang.

Tapi rupanya ada beda strategi antara penerbitan buku-buku Gan KL dan OKT. Buku-buku OKT dijajakan ulang dengan tetap mempertahankan bahasa aslinya. Semua elemen yang menempel pada buku aslinya tetap dijaga. Malahan ada yang diterbitkan masih dalam ejaan lama. Rupanya memang ada usaha untuk betul-betul menghadirkan kembali atmosfir “jaman dulu” ke situasi hari ini.

Tidak demikian Gan KL. Kecuali gambar sampul, buku-bukunya mengalami edit ulang bahasa yang cukup radikal. Binarto Gani, sang putera Gan KL, yang merintis usaha cetak ulang itu rupanya punya kalkulasi lain. Dia agaknya berpendapat bahwa atmosfir jaman baheula tjerita silat itu pasti tidak akan cocok untuk dibaca generasi hari ini. Maka perlu ada penyesuaian suasana lewat penggunaan gaya bahasa yang diyakini klop dengan suasana sekarang.

Tentu saja itu sah dan baik saja. Hanya bagi saya—yang memang asli produk jadul—buku-buku Gan KL yang “baru” jadi terasa tidak menyengat lagi. Saya membaca Pendekar-Pendekar Negeri Tayli misalnya, dan saya begitu kecewa dan akhirnya sesudah mencapai jilid 11 saya putuskan untuk berhenti membacanya. Padahal masih ada 2 jilid lagi yang sudah kadung saya beli--dan ceritanya sendiri sepertinya memang masih akan cukup panjang.

Baiklah, ini akhirnya memang masalah selera dan rasa belaka. Saya pun tak ingin mengecilkan usaha Binarto Gani untuk membuat tjerita silat bisa diterima oleh pembaca dari generasi baru. Hanya saya jadi tahu, bahwa saya harus berpaling ke buku-buku OKT guna memuaskan dahaga saya pada buku-buku “antik” ini. Sedang Gan KL versi baru apa boleh buat agaknya memang ditakdirkan bukan untuk saya.

01 April 2008

Islam Kok Seram Ya?

SUDAH lama saya diusik tanya ini. Terakhir, gara-gara heboh film, Fitna, rasa terusik saya makin bertambah. Kenapa Islam kok kesannya serem ya? Gampang marah, cepat main ancam, sigap main boikot, dan kalau diperlukan, tangkas juga main serbu, main rusak, diteruskan dengan main bakar ini dan itu, dan lain sebagainya. Saya datang dari latar belakang bukan muslim, jadi maaf kalau saya tak begitu paham dengan semua fenomena itu.

Saya suka bertanya, apakah memang Islam sejatinya mengajar untuk cepat marah dan main hantam begitu, atau ini masalah tafsir belaka? Saya sering berusaha meyakin-yakinkan diri bahwa ini hanya soal tafsir barangkali. Saya katakan kepada diri saya, Islam yang sejati pastilah berwajah sejuk, meski bukan berarti lembek dan mandah saja diperlakukan berat sebelah. Sejauh yang pernah saya dengar dan baca, Rasulullah adalah sosok penyejuk seperti itu.

Maka saya suka pada figur damai dan moderat seperti Gus Dur, Nurcholis Majid, Emha Ainun Najib, Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa lainnya. Adakah mereka representasi yang paling mewakili Islam? Oh pasti banyak yang tidak setuju dengan pikiran itu. Bukankah pada masanya dulu almarhum Nurcholis Majid pun dianggap “murtad” karena gagasan sekularisasinya?

Ulil Abshar Abdalla malah pernah ditafwa mati oleh sejumlah ulama Islam di sini, karena pikiran dan omongan-omongannya dianggap ngawur dan menyesatkan. Emha? Ia pun saya kira bukan tokoh yang disukai oleh banyak ulama karena pikiran-pikirannya yang cenderung “nyeni”. Lalu Gus Dur. Ah kita sudah tahu ia banyak “mengoleksi” musuh justru dari kelompok muslim, dan malah meraih simpati dari kelompok yang non muslim.

Di luar nama-nama yang dituduh “liberal” itu kita bisa menemukan barisan muslim yang lain. Sebagian dari mereka menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi Islam yang “menentukan” di sini. Mereka, dengan atau minus sorban Arabnya, umumnya berwajah “tunggal” : mematok harga mati untuk banyak hal.

Tapi kadang saya mendapat kesan kelompok “keras” ini menampilkan wajah yang mendua. Misalnya, mereka suka mengeluarkan imbauan agar umat tidak “terpancing”, atau berapologi bahwa Islam menolak kekerasan, tapi mereka cenderung membiarkan kalau kekerasan itu kemudian sungguh terjadi. Setahu saya, MUI umpamanya, tidak pernah mengeluarkan semacam teguran (apalagi dampratan) kepada aksi-aksi anarkistis sepihak yang kerap dipamerkan oleh kelompok Front Pembela Islam.

Ini membingungkan saya. Sebetulnya mereka (MUI) setuju atau tidak pada aksi premanisme ala FPI itu? Saya, sekali lagi, tidak datang dari latar belakang muslim—meski beberapa teman karib saya adalah muslim semuslimnya—jadi maaf, apabila saya tak kunjung paham dengan fenomena ini. Adakah yang bersedia membantu menjelaskan?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...