26 September 2011

Indonesia dalam Sebuah Angkot

Angkot adalah kendaraan umum “andalan” warga kota kebanyakan karena ongkosnya yang murah meriah, dan karena rute trayeknya yang bisa nyelusup menyuruk jauh ke pelosok perumahan dan kampung. Sekarang ini tarif angkot untuk jarak dekat (atau dalam kompleks perumahan) setahu saya dua ribu perak, sedang untuk jarak lebih jauh dari itu bervariasi, dari 2.500 sampai 4.000. Dengan ongkos segitu penumpangnya umumnya sudah pada maklum akan mendapat mutu “servis” yang serupa apa.

Tempat duduk belakang biasanya diisi 10 penumpang, dan berlaku rumus “nasional” : 6 dan 4. Artinya, untuk bangku yang lebih panjang, yang menghadap ke pintu, musti diisi enam pantat, sedang bangku satunya, yang lebih pendek, disiapkan untuk 4 penumpang. Kalau ada penumpang yang membawa anak, sopirnya akan segera bertanya curiga, “Itu anaknya bayar nggak? Kalau nggak bayar tolong dipangku ya.” Sering pula ada bangku kecil tambahan di dekat pintu. Bangku depan di sebelah sopir biasa diisi 2 penumpang,. Maka dalam kondisi “normal” sebuah angkot bisa mengangkut 13 penumpang sekali jalan.

Masalahnya, tidak selalu angkot bisa penuh termuat seperti itu. Maka ada banyak sopir yang memilih ngetem berlama-lama, menunggu “mobilnya” penuh dulu, sembari membiarkan penumpang yang sudah telanjur naik menggerutu. Saya perhatikan, biasanya para sopir yang “hobi” ngetem itu ternyata gemar juga ngebut. Agaknya untuk mereka ini berlaku aturan “ngetem selama mungkin, ngebut sekencang bisa”. Banyak yang bilang itulah ciri utama para sopir-sopir tembak.

Para “sopir tembak” itulah yang sering bikin suasana tambah tak nyaman dalam angkot. Biasanya mereka para preman yang lagi nganggur. Namanya juga preman, kelakuannya pastilah rada-rada “gokil”. Kadang ada yang membawa kendaraan dalam keadaan setengah teler, ada yang mulutnya tiap sebentar mengeluarkan bunyi-bunyian jorok, ada yang sukanya nyetel musik atau radio dengan volume gede. Maka kalau kemudian ada kabar mereka melakukan pula tindak kriminal, seperti main rampok-perkosa-bunuh penumpangnya sendiri—saya pribadi tidak kelewat kaget.

Angkot—dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, penumpang serta awaknya-- memang berada dalam zona kritis. Awak angkot hampir pasti adalah individu dari kelompok “bawah” yang hidup tergencet situasi kehidupan ekonomi yang sulit, yang boleh dikata terus-menerus berada dalam situasi “genting”. Kondisi keras di jalan raya (polisi yang gemar main tilang, kemacetan yang tak masuk akal, cuaca panas tropis), semakin menjebak mereka menjadi tambah dekat pada pilihan-pilihan untuk berlaku kriminal.

Saya tak hendak membuat telaah sosiologi yang rumit. Saya bukan ahlinya. Ini hanya hasil amatan sepintas lalu dari seorang warga kota biasa yang kebetulan terpaksa mengandalkan juga angkot dalam urusan sehari-harinya. Saya hanya hendak bilang bahwa suasana di lapis bawah masyarakat kita, suasana Indonesia lapis bawah—yang antara lain terepresentasi dengan utuh dalam sebuah angkot—sedemikian genting dan kritisnya, sehingga peluang terjadinya laku kriminal sangat sangat terbuka.

Maka saya termasuk yang menganggap aneh pendapat yang mengatakan ada hubungan antara rok (yang) mini dengan maraknya kasus perkosaan dalam angkot. Perkosaan-perampokan-pembunuhan dalam angkot kaitannya pastilah dengan kondisi kemiskinan dan pengangguran yang mengoyak-ngoyak masyarakat kita. Adapun rok mini, menurut saya, adalah sekadar “asesoris tambahan” yang sedikit banyak kehadirannya justru bisa ikut membantu membuat “adem” suasana dalam angkot. Mohon maaf, kalau banyak yang tak setuju dengan pendapat yang terakhir ini.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...