Selalu ada “harta karun di balik reruntuhan”, selalu ada hikmah di balik setiap nasib buruk, begitu orang-orang bijak kerap menasehati. Masalahnya adalah tidak setiap orang beruntung sanggup menemukan “bongkahan emas” di balik reruntuhan itu, tidak setiap kita cukup dibekali ketabahan untuk mau bersabar menggali untuk akhirnya menemukan harta karun di sebalik nasib buruk kita. Seakan hanya orang-orang dengan talenta khusus saja yang berkesempatan mengalami karunia tersembunyi itu.
Steve Jobs, pendiri Apple Computer, mungkin contoh orang dengan talenta khusus itu. Di masa mudanya ia keliru mengambil mata kuliah yang ternyata kemudian tak diminatinya samasekali, padahal ia telah menguras habis seluruh tabungan orang tuanya—yang hanya pegawai rendahan—untuk bisa kuliah di jurusan yang diyakininya “tak membawa manfaat apa pun “ itu. Ia lalu memutuskan drop out begitu saja.
Ia mengenang saat itu sebagai “saat-saat paling menakutkan dalam hidupnya”. Bacalah kembali cuplikan komentarnya berikut ini: “Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna.”
Tapi belakangan ia menganggap pilihan tindakannya untuk DO itu adalah benar, sebenar-benarnya. Setelah berhenti kuliah ia jadi punya kesempatan menghadiri perkuliahan yang disukainya. Salah satu kelas yang diikutinya dengan bersgairah adalah kelas kaligrafi. Di sana ia dengan takzim belajar mengotak-atik jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains, katanya.
Tapi yang paling menarik untuk disimak adalah bahwa Steve Jobs, saat itu, sebetulnyai tidak melihat samasekali manfaat pelajaran kaligrafi bagi kehidupannya. Ia, ketika itu, hanya sekadar menurutkan hasrat dan dorongan dari dalam dirinya belaka. Tapi 10 tahun kemudian, ketia ia dan timnya mendesain komputer Macintosh yang pertama, pelajaran kaligrafi yang dulu ditekuninya itu memperlihatkan kegunaannya secara nyata: “Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik,” kata Stve Jobs.
Jadi seandainya ia dulu tak keliru memilih mata kuliah, seandainya ia lalu tak memutuskan DO—artinya memilih mengecewakan banyak orang, utamanya kedua orang tuanya—tentu ia tak akan berkesempatan kuliah kaligrafi yang di kemudian hari memberi sumbangan penting pada perkembangan Personal Computer pada masa-masa selanjutnya.
Steve Jobs akhirnya menemukan “harta karun” di balik reruntuhan nasib masa mudanya. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa ia sanggup untuk sampai di sana karena ia telah memilih untuk melanjutkan sisa hidupnya—yang ketika itu tampak tak berpengharapan--dengan semacam semangat murni, atau dengan kata lain, dengan passion. Mudah-mudanan kesimpulan ini tidak terlalu ngawur.
No comments:
Post a Comment