28 August 2007

Kepada Renate Hong

RENATE HONG (dahulunya Renate Kleinle) bertemu Hong Ok Geun sewaktu keduanya masih mahasiswa di Universitas Friedrich Schiller Jena (Jerman Timur, ketika itu). Hong adalah satu dari sekian ratus pemuda Korea yang dikirim pemerintahnya untuk belajar di universitas itu. Cinta mereka konon sudah bersemi pada tatapan pertama.

Itu terjadi pada 1955. Lima tahun kemudian (1960) mereka menikah, lalu Peter Hyon Choi Hong, putra pertama mereka lahir tahun itu juga. Apa mau dikata, setahun kemudian Hong dipanggil pulang ke negerinya. Saat itu Renate dalam kondisi hamil anak keduanya. Hubungan mereka lalu diteruskan dengan cara surat-suratan—karena waktu itu belum ada internet , tentu mereka nggak bisa chatting, atau saling berbalas email.

Selama 2 tahun, Hong mengirimi Renate sekitar 50 pucuk surat. Pada salah satu suratnya ia melampirkan selembar daun teratai. Tapi pada 1963 surat-surat dari Hong mendadak berhenti. Renate dengan setia terus menunggu, menyimpan lembaran daun yang disebutnya “bukti cinta terakhir yang pernah diberikan suaminya kepadanya”. Ia memilih bertahan seraya merawat dua orang putranya.

Puluhan tahun kemudian mendadak ia mendapat warta bahwa Hong, sang suami, ternyata masih hidup, tapi ada keluarga lain di sana mendampinginya. Ia pun menyusun ikhtiar untuk bisa menemui Hong lagi, meski ia tahu pertemuan ini—jika bisa terjadi—bukanlah sebuah ending yang bahagia. Ia, sukup tahu diri, karena itu ia berkata “Kami akan berbicara hanya mengenai masa lalu, karena kami tidak punya lagi masa depan.”

Kisah Renate, buat saya, begitu mengharukan sekaligus perih. Ia sudah mengajar kepada kita apa artinya setia—tidak dengan kata-kata, melainkan dengan laku. Adakah ia kemudian menyesali penantiannya selama 46 tahun yang ternyata berakhir seperti itu, kita tak tahu, atau sebaiknya kita tak perlu tahu saja. Sebab pelajaran yang diberikannya jauh lebih berarti dibanding akhir tidak bahagianya itu sendiri, menurut saya.


Pada Selembar Daun

- Renate Hong

Pada selembar daun
Pernah kau rekam ingatan itu
Kau berkisah tentang pohon-pohon elm
Dahan-dahannya yang menggigil dalam angin

Salju juga jatuh di sana
Kota jadi putih dan jam membisu
Sementara kau sendokkan suap
Penghabisan sepi pada mangkukmu itu

Kau pernah menuliskan itu semua
Pada selembar daun, lantas kau kirimkan
Dengan pos kilat khusus musim gugur
Ke sebuah alamat di dasar mimpi

Kini musim berangkat coklat di jendela
Pada secarik warta yang akhirnya melapuk
Ingin kuputar kembali ingatan itu, barangkali
Bakal kubawa ke sebuah addres lain di batas cuaca

19 August 2007

Setahun Republik Mimpi

WAPRES “JK” dari Republik Mimpi bertanya kepada JK, wapres beneran dari “negeri tetangga”nya Republik Indonesia begini :”Apa pak Wapres pernah merasa capek atau bosan menjadi Wapres?” Kenapa anda menanyakan soal ini, menukas Effendi Gazali kepada “JK”. Dan “JK” alias Jarwo Kwat menjawab : “Ya tidak apa-apa sih, cuma kalau betul sudah capek atau bosan, saya siap menggantikan”. Jawaban itu disambut derai tawa dari JK alias Jusuf Kalla, yang lalu menambahkan “tapi anda musti menukar dulu status warga negara anda”. Ah, itu kan bisa diatur, brother, kata “JK” lagi.

Tanya jawab kocak itu muncul dalam episode NewsdotCom edisi ulang tahun kemarin malam. Sebuah momen yang 10 bahkan 5 tahun yang lalu rasanya tak terbayangkan bisa hadir begitu leluasa di depan kita. Maka kalau ada hal yang masih bisa disyukuri dari Reformasi yang konon mati suri, itu adalah peluang berekspresi secara relatif bebas yang masih cukup tersedia pada hari ini. Meskipun sering “kebebasan” itu ditafsirkan secara ngawur menjadi bebas juga “mengganyang” pihak lain dengan semena-mena.

Dan kalau ada hal yang masih pantas dipujikan ke alamat duet SBY-JK—yang konon tingkat popularitasnya terus anjlog—maka salah satunya adalah “keberanian” mereka untuk membiarkan peluang bebas berekspresi itu tetap ada. Acara seperti Republik Mimpi misalnya, boleh jadi sudah lama diberangus dan menjadi kenangan kalau saja yang bercokol di kursi paling atas itu bukan mereka. Saya berani bertaruh--kecil-kecilan tapi--untuk hal ini.

Sebetulnya memang tidak perlu ada yang ditakutkan dari acara ini. Lucu-lucuan yang mereka buat akan otomatis kehilangan sengatnya kalau kepemimpinan yang dijadikan bahan olok-olok itu sanggup membuktikan bahwa mereka sudah bekerja dengan benar dan baik. Selama syarat itu tidak bisa dipenuhi, maka penonton yang sudah capek dan muak akan terus mencari saluran untuk memuaskan segala kemarahan dan ketidakberdayaan mereka. Bentuknya bisa macam-macam. Republik Mimpi, hanya salah satunya.

16 August 2007

Siapa Pengunjung Blog Anda?

ADA dua jenis pengunjung yang merapat ke blog anda. Pengunjung jenis pertama adalah mereka yang memang sengaja “jauh-jauh datang bertamu”. Mereka ini boleh jadi para penggemar berat anda, atau sekedar simpatisan, aktif atau setengah aktif. Atau bisa juga “saingan” yang sedang sibuk mengusut kelebihan dan kekurangan blog anda.

Pengunjung jenis kedua adalah mereka yang mampir nggak sengaja. Mungkin mereka sampai ke blog anda lewat mesin pencari. Jadi mereka bisa hadir di blog anda karena “nyasar”. Atau bisa juga mereka menemukan anda di blog lain yang mereka sambangi, di situs-situs komunitas, umpamanya. Lalu entah karena alasan apa mereka iseng-iseng mengklik blog anda.

Pernahkah anda menghitung pengunjung jenis 1 atau 2 yang lebih banyak mengunjungi blog anda? Jika jenis 1 yang lebih dominan, maka mungkin itu petunjuk awal bahwa tingkat popularitas blog anda sudah ada. Paling tidak, anda sudah punya komunitas sendiri, biarpun mungkin jumlahnya hanya 10 sampai 20 orang. Itu sudah bagus kalau kita ingat betapa sengitnya persaingan di ranah blog saat ini.

Kalau pengunjung jenis 2 yang banyak mampir, maka itu pertanda anda memang nggak punya penggemar, atau sedikit saja penggemar. Kabar baiknya, anda mungkin boleh dianggap sudah cukup menguasai trik-trik Search Engine Optimation (SEO), sehingga ada cukup banyak pengunjung yang sudah berhasil anda giring ke dalam blog anda lewat mesin pencari.

14 August 2007

Menulis Tidak Selalu Gampang

MENULIS boleh jadi bukan perkara teramat sulit—ini tentu dalam konteks menulis di blog sendiri—tetapi yang sulit barangkali mencari, atau lebih betul, menciptakan situasi yang enak untuk menulis itu sendiri.Tema tulisan gampang dicari, asal mau sedikit jeli pasang mata. Sebuah buku notes kecil bisa membantu banyak, tapi itu baru permulaan dari “peperangan” yang sesungguhnya.

Sudah sebulan ini suasana di kantor tidak nyaman karena adanya pekerjaan renovasi ruang dan pindah-pindahan barang dan posisi duduk. Mendadak saja keasyikan saya ngeblog gratis melalui komputer kantor jadi berantakan. Setumpuk bahan yang dengan rajin sudah saya kumpulkan dalam notes sakti saya tinggal tak tergarap.

Ada dua blog yang mesti saya hidupi. Tadinya jadwal update 3 kali seminggu berjalan lancar, tapi sekarang jadwal setor 3 kali seminggu itu terpaksa saya langgar. Untuk blog sastra situasi masih bisa tertolong karena sampai saat ini saya masih memiliki stok puisi yang cukup.

Tapi untuk blog gado-gado saya yang ini, urusannya jadi rada sulit. Biasanya saya menggarap artikel saya di MS Word sebelum kemudian disiarkan. Biasanya juga stok tulisan saya selalu surplus. Untuk satu pekan ke depan selalu sudah terjadwal rapi. Tapi sejak posisi duduk saya dipindah ini mood saya untuk menulis agak rusak.

Saya memang termasuk “spesies” yang rada sulit beradaptasi dengan suasana baru. Saya hanya berharap urusan di kantor ini cepat selesai, dan kenyamanan saya ngeblog gratis bisa kembali seperti dulu. Kalau harus setiap kali nongkrong di warnet wah berat buat pegawai kecil seperti saya ini. Sedang untuk beli komputer sendiri rasanya kelewat mewah bahkan sekedar untuk saya lamunkan saat ini.

12 August 2007

Gempa dan Gigi Palsu

PADA malam (atau dini hari) sewaktu gempa itu terjadi saya belum tidur. Memang sudah jadi kebiasaan saya tidur larut. Saya sedang duduk selonjor di lantai, televisi sudah dimatikan. Pikiran saya melantur ke sana ke mari. Anak-anak dan ibunya sudah pada terlelap di kamar lantai bawah. Saat itulah kisahnya dimulai..

Saya mendengar suara tak-tok-tak-tok di luar jendela kamar, yang tak saya paham bunyi apa. Sementara saya terlongong-longong menyimak bunyi itulah saya merasa kamar bergoyang. Seingat saya tidak keras. Masih belum ngeh. Baru pada goyangan berikutnya sewaktu saya merasa lantai di mana saya meletakkan pantat saya terangkat, jantung saya rasanya saat itu juga berhenti bekerja.

Langsung saya ingat pada ramalan heboh yang beberapa bulan lalu dikatakan Mama Lauren. Lantas kata pertama yang keluar dari mulut saya saat itu adalah “Tuhan, janganlah sampai ramalan itu terjadi”. Baru sesudah itu serangkaian tindakan teknis penyelamatan saya lakukan.

Kipas angin saya matikan, lalu sesudah itu hal pertama yang saya ingat—anda pasti tak percaya ini—adalah memasang gigi palsu saya yang kalau malam saya cempungkan di gelas. Baru sesudah itu menyambar senter dan meluncur ke lantai bawah, membuka pintu supaya akses pertama untuk evakuasi—jika memang diperlukan--terbuka.

Bahkan pada saat itu saya masih belum sepenuhnya yakin sudah terjadi gempa. Itu sebabnya saya tak serta merta membangunkan anak-anak dan ibunya. Apalagi begitu saya keluar rumah suasana gang di depan rumah langang! Tak ada kehebohan. Ah, orang-orang sudah pada kecapean rupanya sehabis siangnya menyoblos, dan mungkin malamnya sebagian ada yang “nyoblos” lagi.

Sedang terbengong begitu, saya mendengar suara seorang tetangga depan saya berteriak kepada seorang adiknya menanyakan “apa tadi lu ngerasa gempa”? Ya, baru saat itulah saya sepenuhnya yakin sudah terjadi gempa. Pelan-pelan saya bangunkan istri saya supaya tidak terjadi kepanikan. Lalu ia memasang televisi dan segalanya jelas sudah.

Kira-kira satu jam kemudian, sesudah yakin keadaan aman, ia kembali tidur. Saya sendiri baru bisa pulas mungkin sekitar pukul 1.30 pagi. Saya tidur tanpa mencopot lagi gigi palsu saya, dan dengan senter setia menunggui di sebelah saya.

08 August 2007

Ini Dia Blog Jablai

JABLAI masuk ke dalam khazanah bahasa gaul di sini lewat film Mendadak Dangdut, hasil olahan sutradara muda berbakat Rudi Sujarwo. Jablai itu sendiri resminya kalau tak salah adalah akronim dari “jarang dibelai”. Di luar itu mungkin sudah muncul banyak tafsiran lain, tapi artikel ini berada di luar konteks pembicaraan itu.

Maka sebutan Blog Jablai maksudnya adalah “blog yang jarang dibelai” alias “jarang didatangi pengunjung”. Mungkin pengunjung yang masih mau setia “membelainya” ya hanya bloggernya sendiri. Sesudah selesai posting, ia akan berselancar ke blognya sendiri, mungkin seraya termangu-mangu memandangi wajah blognya yang merana dan kesepian itu.

Blog saya ini, boleh jadi tergolong juga Blog Jablai. Catatan statistik yang ada menunjukkan betapa sedikitnya pengunjung yang “sengaja” mampir. Pengunjung yang datang—dua atau tiga orang seharinya rata-rata—adalah mereka yang nggak sengaja “kesasar” karena dituntun oleh mesin pencari, atau oleh sebab-sebab lainnya.

Berhakkah, atau “pantaskah” Blog Jablai dibiarkan terus hidup? Tentu saja! Ngeblog menjadi hak setiap orang, tidak peduli dia “ngetop” atau hanya seorang yang “anonim”. Ngeblog meniadakan segala sekat dan batas. Siapa saja dipersilakan ikutan. Blog “laris” dan “jablai” mempunyai hak hidup yang sama.

Lagi pula, tidak semua blog yang sepi pengunjung itu jelek lho. Dan sebaliknya, tidak mesti blog yang “laris manis” adalah blog yang bagus. Ada blog yang—menurut hemat saya—isinya “nggak ada apa-apanya”, tapi ajaibnya selalu nangkring di papan atas dalam komunitas-komunitas blog. Kalau kita datang ke sana, tool statistiknya selalu menunjukkan adanya sejumlah—kadang sampai bilangan puluhan—pengunjung yang sedang aktif bertamu.

Jadi, terus sajalah ngeblog. Kalau pengunjung blog Anda sedikit, yakinlah paling tidak mesin pencari alias search engine diam-diam dengan setia terus menyambangi blog Anda yang “jablai” itu. Bagi saya, ini menjadi semacam hiburan berarti juga. Yah, teruslah menulis kalau begitu, teruslah ngeblog, demi search engine paling tidak.

05 August 2007

Betapa Tidak Menariknya Pilkada Jakarta

SEJUJURNYA saya pribadi tidak merasa tertarik samasekali pada hajatan besar Pilkada DKI yang dalam hitungan hari ke depan bakal digelar. Saya tidak percaya hajatan itu nantinya akan membawa perubahan signifikan pada kehidupan di ibu kota. Saya percaya siapa pun gubernurnya nanti, banjir masih akan rajin menyambangi kota ini. Kerumunan joki “three in one” masih akan meramaikan lalu lintas pagi, lalu pungli dan suap terus berjaya, dan seterusnya.

Dua calon yang disediakan untuk dicoblos gambarnya sungguh tidak menggugah “libido” saya samasekali. Kalau pilih yang satu, yang diklaim “paling tahu” perihal Jakarta—karena dia “stok lama”—itu artinya saya sekedar memastikan bahwa memang tidak akan ada perubahan berarti di kota ini. Calon yang “stok lama” ini rasanya hanya akan melanjutkan rencana gubernur sebelumnya. Cara dan isi kampanyenya membuktikan bahwa ia memang akan sekedar “nerusin” yang udah ada.

Sedang calon satunya, yang gembar-gembor gerah mau “ngebenahin Jakarta” juga tidak memunculkan ide-ide yang mengejutkan, yang bisa bikin saya paling tidak manggut-manggut. Fakta bahwa dia “orang baru” tidak cukup meyakinkan saya bahwa calon ini layak dilirik. Sebab “baru” itu bisa berarti ganda. Karena beliau “baru”, bolehlah kita melamun bahwa dia sungguh “bersih” dan “serius” mau mengurus kita.

Tapi “baru” juga bisa berarti “belum tahu apa-apa” bukan? Tidakkah riskan menyerahkan nasib ibu kota ke tangan pejabat yang “belum tahu apa-apa”? Atau, karena “orang baru” nantinya beliau akan kelewat bersemangat membuat banyak kejutan yang betul-betul membuat warga jadi tidak berhenti “terkejut-kejut” dan capek sepanjang masa jabatannya.

Saya bukan sedang menghasut anda supaya “golput”, karena itu artinya saya memaksakan persepsi saya. Saya percaya anda jauh lebih cerdas dari saya untuk memastikan sikap yang benar dalam hajatan ini. Pesta memang harus tetap jalan, dan meskipun calon yang disediakan “jauh dari menarik”, setidaknya libur resmi pada hari H hajatan itu tetaplah menarik dinikmati. So, happy holiday ...

02 August 2007

Dua Zaenal, Dua Perkara

ZAENAL yang pertama adalah Zaenal Arief, pemain Persib Bandung, yang belum lama ini dicoret dari daftar pemain timnas karena ketahuan “kabur” dari kamar hotelnya. Insiden itu terjadi menjelang timnas bersiap berlaga “hidup mati” melawan Korea Selatan pada penyisihan grup Asian Cup 2007.

Pelatih Ivan Kolev marah besar karena tindakan tidak disiplin yang dipertontonkan penyerang Persib itu. Ia menolak berkompromi dalam urusan kedisplinan pemain ini. PSSI pun sudah menjatuhkan sanksi berupa larangan merumput selama 6 bulan. Tapi reaksi pun muncul. Zaenal dan Persib mengajukan banding karena menganggap sanksi itu “kelewat berat”.

Apakah PSSI akan kembali “jatuh kasihan”—seperti dicontohkan dengan baik dalam kejadian-kejadian sebelum ini—dan mengubah hukuman itu, mari kita tunggu saja kelanjutannya.

Zaenal yang kedua tentu saja Zaenal Maarif, politisi yang saat ini terlibat perseteruan dengan RI 1. Entah hitung-hitungan apa yang sebetulnya ada di kepala Maarif sehingga dia berani melakukan apa yang oleh RI 1 disebut tindakan “fitnah” dan “pencemaran nama baik” itu. Gunjingan di warung-warung pinggir jalan menyebut mungkin awalnya ada pihak tertentu yang “bersimpati” pada Maarif, lalu menawarkan bantuan amunisi untuk melawan “penganiayaan” yang dialaminya.

Tapi kemudian bantuan amunisi itu rupanya dibatalkan sepihak setelah keadaan dinilai menjadi “tidak menguntungkan”. Satu demi satu nama yang semula disebut Maarif berada di belakangnya pada berebut membantah. Malah ada yang mau balik memperkarakan Maarif, seraya menyebutnya sudah melakukan “fitnah” pula.

Kabar terakhir menyebut ada “pihak ketiga” yang mau membantu mendamaikannya dengan Sang RI 1. Jika itu benar, menarik untuk melihat bagaimana RI 1 menanggapi tawaran itu. Analisa di warung-warung menyebut SBY tentu akan berhitung masak. Jika memang ada kesempatan “main keras”—sekalian “show of force”--mengapa memilih damai? Memang siapa itu Zaenal Maarif?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...