13 December 2007

Pastor Juga Perlu Diinjili : Surat untuk Seorang Pastor di Bekasi

Pastor yang terhormat,

Memang menjengkelkan melihat kelakuan umat yang “sembarangan” pada perayaan misa kudus. Tetapi apakah juga tepat kalau kemudian pastor musti mengganti khotbah dengan acara marah-marah? Terus terang saya jadi merasa terganggu dengan gaya pastor dalam beberapa pekan terakhir ini. Sungguh tidak nyaman rasanya jauh-jauh datang ke gereja hanya untuk melihat pastornya mencak-mencak di altar, meskipun menurut Injil, Yesus junjungan kita juga pernah marah besar sewaktu melihat sinagoga dipakai menjadi tempat berjualan. Suatu hal yang kita tahu masih berlangsung sampai saat ini di gereja-gereja modern.

Menurut saya pastor sebaiknya fokus saja pada umat yang memang serius mengikuti misa. Sedang untuk umat yang sibuk cengengesan, atau main SMS itu, bolehlah disindir sesekali—tapi tidak usahlah sampai “kalap” seperti pastor pertontonkan belakangan ini. Umat yang tidak serius adalah fenomena umum. Dalam bidang apa pun—agama, seni, sport, sebutlah apa saja--selalu ada dua kecenderungan itu : kecenderungan untuk “serius” dan kecenderungan untuk “main-main”. Dan biasanya kelompok yang “main-main” jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang yang mengaku “serius”. Itu juga mungkin sudah hukum alam. Umat katolik di manapun pasti juga begitu.

Ah, saya terka pastor akan menyergah seraya mengutip Injil perihal perumpamaan “domba yang hilang “ atau “dirham yang hilang”, bukan? Bahwa sorga akan lebih bersuka-cita kalau umat katolik yang berkelakuan “brengsek” itu bisa dipertobatkan—ketimbang repot mengurusi barisan umat “anak mami” yang tak memerlukan lagi pertobatan. Terserahlah kalau begitu. Artinya, kita berbeda pendapat, dan itu tak apa-apa juga, bukan?

Ada satu hal lagi, harap pastor jangan jadi tersinggung. Mutu umat sedikit banyak juga sangat tergantung pada mutu pastornya. Kita omong fair saja, ada banyak pastor yang memang harus dibilang tidak bermutu. Mereka membawakan misa seperti tanpa penghayatan, doa syukur agung didaraskan secepat kilat, ngebut macam pesawat jet F 16 , belum lagi khotbahnya tidak menggugah samasekali. Lha, kalau pastornya saja memble bagaimana umatnya tidak memble?

Menurut saya wajar dan sah saja kalau umat menuntut pastornya tampil “ekstra”. Umat itu tidak bodoh, pastor, jadi jangan pernah meremehkan mereka. Umat yang datang ke gereja mungkin sudah puyeng dan stres dengan tumpukan masalah sehari-hari. Mereka kepingin mendapatkan yang lain di gereja, mungkin sesuatu yang bisa membuat mereka tercerahkan. Sesuatu yang bisa mereka bawa sebagai bekal pulang, guna melanjutkan ziarah mereka di bumi yang kacau balau ini. Tapi kalau ternyata yang ditemuinya malah pastor-pastor yang menambah puyeng kepala mereka, siapa yang musti disalahkan dalam hal ini?

Ah, sebetulnya saya tak bermaksud menghakimi, tapi tak ada salahnya barangkali seorang pastor sekali-sekali menerima masukan semacam ini. Saya jadi ingat seloroh serius seorang pastor asal Flores yang pernah bilang bahwa “memang banyak pastor yang harus dinjili lagi”, diisi ulang lagi baterenya. Mungkin beliau benar, kan pastor juga manusia biasa saja, sama seperti umat-umat “brengsek” itu, sama dengan saya, dan kita semua.

10 December 2007

Three in One : Dihapus Sayang

PERATURAN “three in one” (3 in I) di jalan-jalan protokol Jakarta dibikin dengan niat bagus : mengurangi tingkat kemacetan di ibukota. Tapi kita sudah tahu, niatan itu gagal total. Para pemilik mobil pribadi tidaklah bodoh. Dengan gampang mereka menyiasati aturan itu dengan mencari tumpangan—kalau terpaksa pembantu pun diajak tamasya sebentar ke kantor—atau cukup memanggil para joki yang selalu stand by di jalan.

Meskipun sudah ketahuan gagal, saya kok rasanya agak keberatan kalau misalnya aturan ini dihapuskan saja. Semua tahu peraturan “3 in 1” kini malah menjadi mata pencarian alternatif untuk sebagian penduduk Jakarta. Di tengah situasi ekonomi yang “kolaps” dengan tingkat pengangguran begitu tinggi, menjadi joki 3 in 1 adalah sebuah pilhan yang “apa salahnya” dilakukan di tengah keterjepitan hidup—daripada mandah pasrah, lantas mengemis, atau jadi pengedar narkoba, bukan?

Para pemilik mobil pribadi juga tak dirugikan. Buat sebagian besar mereka, membayar 3 atau 5 ribu perak untuk para joki itu bukanlah soal besar—yah, mungkin seperti membuang daki saja layaknya. Sedang bagi para polisi sendiri juga rasanya tak masalah. Malahan bagi mereka, ini juga sebuah peluang untuk mendapatkan “duit kagetan” apabila kebetulan bisa memergoki mobil pribadi yang masih juga nekat tidak “ber 3 in 1”.

Jadi semua pihak senang dan dapat bagiannya. Hanya satuan Polisi Pamongpraja (PP)—yang seragamnya biru-biru itu—yang kelihatannya kurang bergembira. Ah, barangkali karena mereka tak sempat mencicipi sedikit gurihnya bisnis “3 in 1” ini. Cuma kebagian capeknya doang karena musti tiap kali main udak-udakan dengan para joki.

07 December 2007

T o m m y

Seperti dikisahkan John Powell, SJ

14 tahun yang lalu, aku berdiri menyaksikan para mahasiswaku berbaris memasuki kelas untuk mengikuti kuliah pertama teologi iman. Pada hari itulah untuk pertama kalinya aku melihat Tommy. Dia sedang menyisir rambutnya yang gondrong. Penilaian singkatku: dia seorang yang nyentrik, sangat nyentrik. Tommy ternyata betul menjadi tantanganku yang terberat. Dia terus-terusan mengajukan komplain. Dia juga tak bisa percaya bahwa Tuhan mencintai kita tanpa pamrih. Dia terang-terangan melecehkan hal itu.

Ketika dia muncul untuk mengikuti ujian di akhir kuliah, dia bertanya dengan agak sinis, "Menurut pastor apakah saya akan pernah menemukan Tuhan?" "Tidak," jawabku dengan sungguh-sungguh. "Oh," sahutnya. "Rasanya Anda memang tidak pernah mengajarkan bagaimana menemukan Tuhan." Kubiarkan dia berjalan sampai lima langkah lagi dari pintu, lalu kupanggil, "Saya rasa kamu tak akan pernah menemukan-Nya. Tapi, saya yakin Dialah yang akan menemukanmu." Tommy mengangkat bahu, lalu pergi. Aku merasa agak kecewa karena dia tidak bisa menangkap maksud kata-kataku.

Kemudian kudengar Tommy lulus, dan aku bersyukur. Namun kemudian sebuah kabar sedih : Tommy mengidap kanker, dan sudah mencapai stadium lanjut. Sebelum aku sempat mengunjunginya, dia malah duluan menemuiku. Tubuhnya sudah kisut, dan rambut gondrongnya rontok karena kemoterapi.

Namun, matanya tetap bercahaya dan suaranya, untuk pertama kalinya, terdengar tegas. "Tommy! Saya sering memikirkanmu. Katanya kamu sakit keras?" tanyaku langsung. "Oh ya, saya memang sakit keras. Saya kena kanker, dan hidup saya tinggal beberapa minggu lagi”. Lalu kataku : “Kamu mau membicarakan itu?" Tommy menyahut, "Boleh saja. Apa yang ingin pastor ketahui?" Aku bertanya lagi, "Bagaimana rasanya berumur 24, tapi kematian sudah di depan mata". Dan Tommy menjawab, "Ini lebih baik ketimbang jadi lelaki berumur 50 tapi mengira bahwa minum, rmain perempuan, dan menguber-nguber harta adalah hal paling penting dalam hidup ini."

Lalu dia mengatakan mengapa dia menemuiku. "Sesuatu yang pastor pernah katakan pada saya pada hari terakhir kuliah pastor. Saya bertanya waktu itu apakah saya akan pernah menemukan Tuhan, dan pastor mengatakan tidak. Jawaban yang sungguh mengejutkan saya. Lalu, pastor mengatakan bahwa Tuhanlah yang akan menemukan saya. Saya sering memikirkan kata-kata pastor itu, meskipun pencarian Tuhan yang saya lakukan pada masa itu tidaklah sungguh-sungguh. Tetapi, ketika dokter mengeluarkan segumpal daging dari pangkal paha saya", Tommy melanjutkan, "dan mengatakan bahwa gumpalan itu ganas, saya pun mulai serius melacak Tuhan. Dan ketika tumor ganas itu menyebar sampai ke organ-organ vital, saya benar-benar menggedor-gedor pintu surga, tapi tak terjadi apa pun. Lalu, saya terbangun suatu hari, dan saya tidak lagi berusaha keras mencari-cari pesan itu. Saya menghentikan segala usaha itu. Saya memutuskan untuk tidak peduli sama sekali pada Tuhan, kehidupan setelah kematian, atau hal-hal sejenis itu. Saya memutuskan untuk melewatkan waktu yang tersisa untuk melakukan hal-hal penting," lanjut Tommy, "Saya teringat tentang pastor dan kata-kata pastor yang lain, “Kesedihan yang paling utama adalah menjalani hidup tanpa mencintai. Tapi hampir sama sedihnya, meninggalkan dunia ini tanpa mengatakan pada orang yang kita cintai bahwa kita mencintai mereka. Jadi saya memulai dengan orang yang tersulit, yaitu... ayah saya."

Ayah Tommy waktu itu sedang membaca koran saat anaknya menghampirinya. "Yah, aku pengin omong." "Omong saja.", katanya "Yah, ini penting sekali." Korannya turun perlahan. "Ada apa?". "Yah, aku cinta ayah, aku hanya ingin ayah tahu itu." Tommy tersenyum padaku saat mengenang saat itu. “Korannya jatuh ke lantai. Lalu ayah melakukan dua hal yang seingatku belum pernah dilakukannya. Ia menangis dan memelukku. Dan kami mengobrol semalaman, meskipun dia harus bekerja besok paginya."

"Dengan ibu saya dan adik saya lebih mudah," sambung Tommy. "Mereka menangis bersama saya, dan kami berpelukan, dan berbagi hal yang kami rahasiakan bertahun-tahun. Saya hanya menyesalkan mengapa saya harus menunggu sekian lama. Saya berada dalam bayang-bayang kematian, dan saya baru mulai terbuka pada semua orang yang sebenarnya dekat dengan saya. Lalu suatu hari saya berbalik dan Tuhan ada di situ. Ia tidak datang saat saya memohon pada-Nya. Rupanya Dia bertindak menurut kehendak-Nya dan pada waktu-Nya. Yang penting adalah pastor benar. Dia menemukan saya bahkan setelah saya berhenti mencari-Nya."

"Tommy," aku tersedak, "Menurut saya, kata-katamu lebih universal daripada yang kamu sadari. Kamu menunjukkan bahwa cara terpasti untuk menemukan Tuhan adalah bukan dengan membuatnya menjadi milik pribadi atau penghiburan instan saat membutuhkan, melainkan dengan membuka diri pada cinta kasih.” Lalu aku menambahkan, "boleh saya minta tolong? Maukah kamu datang ke kuliah teologi iman dan mengatakan kepada para mahasiswa saya apa yang baru kamu ceritakan?"

Meskipun kami menjadwalkannya, ia tak berhasil hadir hari itu. Ia keburu meninggal. Tapi satu hal, ia sudah melangkah jauh dari iman ke visi. Ia sudah menemukan kehidupan yang jauh lebih indah daripada yang pernah dilihat mata kemanusiaan atau yang pernah dibayangkan banyak orang.

29 November 2007

Faces of Death

KEMATIAN terasa bagaikan dongeng, tak nyata, sepertinya tak betul-betul ada. Seperti membaca kabar di halaman koran, jauh dan setempo terasa meragukan. Atau paling banter seperti ketika mendengar tetangga bicara si anu suaminya si itu meninggal kemarin sore ketabrak bis. Itulah yang saya rasakan tentang kematian sampai umur 20—sampai sesuatu kemudian mengubah segalanya.

Ketika kanker ganas menggerogoti tubuh ringkih ayah saya hampir 30 tahun yang lalu, ketika dokter bahkan sudah angkat tangan, ketika tanda-tanda ke arah “keberangkatan” itu menjadi semakin jelas, tetap saja kematian tak mengusik saya. Maut hanya kabar yang saya baca di koran, atau saya tonton di televisi, atau saya dengar dari mulut tetangga sambil lalu—tapi bukan kejadian nyata di rumah saya. Memang, belum pernah ada seorang yang meninggal di rumah kami hingga saat itu.

Maka ketika hari itu pun tiba, saya baru tahu apa artinya kematian. Ketika jasad kaku dan dingin ayah saya digotong beramai ke dipan di ruang depan, saya sempat memandang wajahnya, dan pada momen itu saya teringat kalimat seorang tokoh dalam novel Yukio Mishima, Kuil Kencana. Wajah si mati adalah sebuah liang, tapi tanpa dasar—tak ada warta apa pun yang bisa kita dengar dari kedalaman tak terukur itu.

Ada orang yang suka mengibaratkan kematian dengan sebuah tidur yang panjang, tapi kalau kita sempat menyaksikan dari dekat wajah kosong si mati, kita akan tahu betapa bedanya tidur dan mati.

Jarak dan kekekalan—barangkali itulah hakikat kematian. Jarak, karena dari sejak saat itu antara saya dan si mati membentang jurang yang begitu mutlak, yang tak bisa tersebrangi dengan apa pun. Kekekalan, karena sejak saat itu si mati pun menjadi tetap, kekal, abadi, tak terhapuskan dalam kenangan orang-orang yang pernah bersamanya—tak siapa pun atau apa pun bisa mengubahnya kini. Kecuali waktu.

26 November 2007

Pertobatan dan Kisah Gito Rollies

PERTOBATAN adalah sebuah peristiwa personal, dan momennya biasanya spesial pula. Di sana boleh saja ada semacam seremoni yang menyertai : sejumlah umat yang diminta menjadi saksi, dan petinggi agama yang bertugas “mengesahkan” pertobatan itu. Tapi seremoni itu hakikatnya hanya sebuah pelengkap liturgis yang sebetulnya bukanlah esensi dari peristiwa pertobatan itu sendiri.

Hal lain yang menandai sebuah pertobatan adalah bahwa ia datang dalam kesukarelaan. Memang ada faktor eksternal yang ikut bermain. Mungkin teman dekat, pasangan hidup, atau bisa saja seorang musuh pribadi—memainkan peran awal yang menentukan. Tapi pertobatan itu sendiri kemudian lahir dengan, atau, dalam sebuah kondisi takluk yang sukarela, serta diliputi syukur. Bukanlah pertobatan namanya kalau itu berlangsung dalam situasi penuh ketakutan, dan paksaan.

Atau jika pasal “takut” mau juga disertakan, maka “takut” di sini tentulah bukan jenis takut karena adanya ancaman beringas dari massa yang mayoritas dan, karenanya jadi suka mentang-mentang.

Bangun Sugito alias Gito Rollies punya kisah menarik seputar riwayat pertobaannya. Lama sebelum ia sungguh bertobat ia mengaku suka diusik sebuah pertanyaan “remeh”. Ia, akunya, sering heran melihat orang-orang yang berangkat ke masjid. Orang-orang itu tampak damai, mungkin juga bahagia pikirnya, melangkah berombongan, atau sendiri-sendiri, dalam diam, atau dengan senda gurau. Tapi wajah mereka, wajah mereka, katanya, mengapa nian begitu damai.

Ada apa dengan mereka, apa gerangan yang mereka temukan di masjid—begitulah sang rocker bertanya-tanya, heran, barangkali takjub.Dan itulah benih awal pertobatan sejati. Perhatikan bahwa tak ada siapa pun yang menyuruh apalagi menakut-nakutinya untuk merasa heran dan takjub. Tapi jika begitu, lantas darimana muasalnya rasa heran dan takjub itu?

Maka kita sampai pada poin terpenting dalam diskusi kecil ini. Ketika seseorang bertobat, sebetulnya yang terjadi bukanlah karena dia “berhasil” menemukan Tuhan, tetapi yang benar, Tuhanlah yang berkenan menemuiya. Tapi ini memang bukan perkara yang bisa dengan gampang diterang-jelaskan. Sebab pertobatan, seperti sudah disinggung di awal sekali, adalah sebuah peristiwa yang memang sangat sekali personal, dan spesial.

Dan karenanya ia menjadi sebuah momen yang meta-bahasa, sebuah momen di mana bahasa manusia tak bisa lagi terlalu jauh ikut campur. Dan memang, sesungguhnya di sana, pada momen itu, tiada diperlukan lagi kata-kata, dan bahasa. Seperti puisi sejati ditemukan dalam diam, dalam keheningan maha luas dan dalam—begitupun ibadah yang sebenar-benarnya.

23 November 2007

Ranking Blog

APAKAH anda peduli pada ranking blog anda, khususnya ranking versi paman Google? Kalau saya, jujur saja sangat peduli. Google Page Rank (PR) bagi saya adalah salah satu indikator seberapa dikenalnya blog kita. Ranking blog ini sejak dua bulan terakhir naik dari nol menjadi dua. Tentu saya pun paham, nilai 2 itu bukan apa-apa, masih “belum kelihatan”, belum mapan. Tapi bagaimanapun 2 lebih baik dari 0, dan saya cukup merasa terhibur dengan kenaikan ini.

Saya selalu menasehati diri sendiri supaya terus rajin mengupdate. Meskipun pengunjung ke halaman ruang samping ini sungguh jarang,teruslah ngeblog, kata saya kepada diri sendiri. Ya, teruslah ngeblog, setidaknya demi search engine—yang diam-diam tanpa setahumu, setia menyambangi blogmu.

Tentu saja orang boleh berbeda pendapat soal urgensi PR blog ini. Blogger senior Budi Raharjo menulis dalam salah satu artikel di blognya begini :“I am writing this blog not to get ranks, but to contribute (something) to the readers. I know I have been busy writing my opinion (more like rants - ha ha ha) elsewhere”.

Ya, itulah salah satu beda saya dan beliau. Yang satu masih blogger bau kencur, jadi masih butuh banyak support guna menambah semangat, sedang satunya sudah blogger kawakan. Sudah eksis, dan tidak perlu merasa risau lagi dengan urusan ranking blog dan pengakuan.

21 November 2007

Kampanye (Sangat) kepagian Megawati

SUNGGUH lucu manuver politik yang dilakukan mantan presiden Megawati beberapa waktu terakhir ini. Apa yang dilakukannya jelas sebuah kampanye yang dilakukan kepagian, sangat kepagian bahkan—meskipun tentu saja ia mati-matian membantahnya. Katanya, ia tak perlu kampanye, karena namanya sudah terkenal. Mungkin maksudnya sudah terkenal sebagai presiden yang tidak berhasil. Bantahan itu saja sudah sebuah kelucuan.

Yang lebih lucu lagi adalah apa yang dikampanyekannya. Ia misalnya menyindir para pemilih perempuan yang pada 2004 tidak memilihnya, tapi malah memilih calon presiden yang lain semata karena si calon lain ini ganteng. Katanya, laki-laki itu tidak becus mengurus harga, makanya sekarang segala macam barang pada naik harganya. Ia pun berkilah bahwa pada Pemilu 2004 itu sebetulnya ia tidak kalah, melainkan hanya kurang mendapat suara.

Puncak kelucuan adalah ketika ia dengan tidak malu-malu lagi meminta supaya mereka yang pada 2004 tidak memilihnya, nanti pada 2009 mbok apa salahnya memilihnya menjadi presiden lagi. Dengan manuver terakhirnya ini Megawati hanya berhasil membuktikan bahwa ia sungguh seorang politisi yang tidak peka, yang luput membaca apa isi hati publik terhadapnya. Ia kelewat meremehkan intelegensi rakyat yang sejak 1999 sudah banyak belajar dari kebobrokan politisi di sini.

Memang tidak mudah menjadi anak Bung Karno. Sang bapak kelewat besar, hingga bayang-bayangnya pun jadi begitu berat bagi anak-anaknya.

19 November 2007

Pil Masa Depan

SUASANA hati—perasaan gembira, mungkin separuh gembira, atau gembira banget, dan sebaliknya perasaan bete dengan banyak tingkatan variasinya—sudah terbukti bisa diciptakan. Itulah kiranya salah satu “sumbangan positif” obat-obatan yang kini suka disebut haram : pil koplo, ganja, kokain, sabu, dan “teman-teman”nya..

Memang rekayasa suasana hati itu masih jauh dari sempurna. Waktu kerja obat-obat itu terbatas—hanya beberapa jam—dan yang paling berabe, obat-obatan itu punya sifat adiktif yang luar biasa merusak, yang akan membuat dosisnya menjadi terus bertambah, dan itu suatu saat bakal menyebabkan si pemakainya knock out..

Saya tengah membayangkan, mungkin beberapa puluh atau ratus tahun lagi, manusia sudah menjadi jauh lebih pintar, dan urusan rekayasa suasana hati bukan lagi masalah yang merepotkan. Saat itu sudah tersedia bermacam-macam pil untuk bermacam suasana hati yang diinginkan—dengan tingkat efek samping yang sudah bisa ditekan menjadi nol persen.

Misalnya, ada pil senang, pil setengah senang. Ada juga pil sedih, dengan banyak variasi kesedihan, dari yang paling enteng sampai gawat. Dan manusia saat itu mengkonsumsinya seperti hari ini kita mengkonsumsi nasi dan lauknya. Jadi tidak ada lagi keberatan moral apalagi medis. Satuan tugas anti narkoba di kepolisian pun sudah dibubarkan. Dan organisasi sangar semisal FPI, MUI, yang suka main larang itu, tidak lagi diperlukan.

Kelompok profesi lain yang mungkin juga tergusur karena tak laku lagi adalah para psikolog dan psikiater. Buat apa? Toh semua urusan yang bersumber dari keruwetan pikir dan rasa sudah bisa dijinakkan. Mungkin para rohaniwan—pastor, pendeta, ustad, biksu—jangan-jangan juga tak diperlukan lagi saat itu. Orang sudah pada berhenti berdoa, kitab suci tak dibaca lagi, dan tempat-tempat ibadah sudah pula ditutup—atau beralih fungsi.

Dan Tuhan, seperti kata sebuah sajak Carl Sandburg, akan tambah kesepian.

16 November 2007

Jalan Sabu Roy Marten

NARKOBA dan dunia selebritis adalah dua hal yang tak terpisahkan—itu sudah menjadi rahasia umum. Maka tak perlulah kaget kalau Roy Marten ketangkep lagi gara-gara urusan yang sama. Aktor ganteng ini berdalih bahwa ia mengkonsumsi sabu untuk menggenjot tenaganya. Dunia film menuntut kesiapan stamina yang prima, sedang ia sudah merasa reyot dan tak muda lagi.

Alasan untuk memperoleh stimulans guna menjaga performa prima itu mungkin menjadi dalih pembenar bagi banyak pengguna narkoba lainnya. Di zaman yang katanya edan ini, di mana tingkat persaingan berlangsung gila-gilaan—sehingga tingkat stres dan ketegangan hidup juga menjadi meningkat tinggi--praktik doping dengan segala bentuk dan variasinya menjadi hal yang umum dilakukan.

Saya bahkan berani taruhan bahwa pemakaian narkoba sebagai doping bukan hanya monopoli artis dan seniman—politikus, pejabat, pengusaha, dan banyak anggota masyarakat lainnya juga ikut meramaikan. Bukankah narkoba sudah lama menerjang masuk ke balik tembok sekolah? Dan lebih absurd lagi malah sudah ada juga polisi yang ketangkep tangan sedang nyabu.

Karena begitu biasanya gaya hidup bernarkoba ria di kalangan artis, maka teman-teman dan kerabat dekat yang membesuk Roy Marten tidak akan bilang “Kenapa sih lu masih make juga? Katanya udah tobat”. Bukan, bukan begitu. Teman-teman dekat Roy akan mengomelinya begini “Lu kok bego amat sih, bisa ketangkep sampe dua kali. Lihat dong gua nih”.

Tapi, betul begitu begokah Roy Marten? Kini berkembang setidaknya 2 teori lain di seputar kasusnya ini. Teori pertama mengatakan bahwa sang aktor terlibat dalam sindikat narkoba—jadi ia bukan lagi sekedar pemakai. Mungkin ia “digarap” sewaktu ngendon di bui dulu, atau malah sebelum itu ia sudah ikut main. Cukup masuk akal.

Teori kedua mengatakan bahwa Roy justru tengah “dimanfaatkan”—atau lebih persisnya sedang diajak kerja sama dengan polisi—untuk bisa masuk ke dalam jejaring sindikat narkoba yang bak hantu, ada tapi tak nyata itu. Jadi ia akan pura-pura ditangkap, dinterogasi, nantinya pura-pura diadili lantas masuk bui lagi. Ia tengah memerankan sosok pecundang—padahal sebetulnya ialah sang heronya.

Kelewat spekulatif? Berlebihan? Mengada-ada? Mungkin. Tapi namanya kan baru teori, jadi sah saja. Lagian katanya dunia ini cuma “panggung sandiwara”, jadi segala kemungkinan boleh-boleh saja, atau bisa-bisa saja terjadi.

13 November 2007

Dicari : Blog yang Tak Biasa

DALAM artikelnya mengomentari blognya Yusril Ihza Mahendra, Wicaksano menulis antara lain supaya Yusril sebaiknya tidak memilih menulis tema-tema yang “aman”, tema-tema yang biasa-biasa saja. Sebab, kata Wicaksono pula, “ranah blog sudah terlalu sesak oleh blog yang biasa-biasa saja. Nge-blog-lah dengan cara dan gaya yang berbeda — sesuatu yang unik dan khas”.

Membaca anjuran itu saya jadi teringat apa yang pernah dibilang Kiran Desai, novelis India pemenang Booker Prize. Sang novelis pernah bilang bahwa dalam menulis kita harus berani “ekstrem”.Mungkin yang dimaksudkannya dengan “ekstrem” kurang lebih sama dengan apa yang ditulis Wicaksono sebelumnya : menulis dengan gaya unik, orisinal, dan kalau mungkin belum pernah dilakukan penulis lain.

Tentu saja saya pribadi setuju dengan nasehat itu. Menulis yang “unik”, yang membedakan kita dengan penulis lainnya, menjadi impian setiap penulis sejati. Juga dalam perkara ngeblog, seorang blogger sejati mengidamkan bisa menjadi blogger yang tidak biasa-biasa saja.

Karena itu mulai sekarang,.marilah kita dengan cara kita masing-masing mencoba mengikuti apa yang disarankan Kiran Desai dan Wicaksono. Marilah kita belajar menjadi blogger yang berani “ekstrem”, tampil seunik bisa, barangkali boleh juga sedikit “gila”. Sesekali menggali tema-tema yang “liar”, nyerempet-nyerempet tabu, lalu menuliskannya juga dengan cara yang ekstrem dan boleh juga sedikit “edan”.

Kita harus melakukannya bung, sekali lagi “harus”, atau kita akan ditinggalkan. (Ah sok tahu lu …).

12 November 2007

100 Tahun Lagi ...

INI sebuah adegan klise dari sebuah film yang sudah saya lupa judulnya : cewek pelayan restoran itu menumpahkan kuah sayuran ke pangkuan seorang tamu yang sedang asyik santap. Dengan gelagapan, sang pelayan menghiba-hiba memohon maaf. Bosnya ikut-ikutan juga menyemprotnya. Dan mungkin karena kebetulan tamu itu “orang penting”, seorang pelanggan VIP di restoran itu, ia bukan hanya menyemprot, tapi bahkan memecatnya sekalian.

Sesudah ribut-ribut reda si cewek pergi ke pojokan, meratapi nasib apesnya. Seorang konco baiknya lalu mendatanginya dan menasihatinya begini :“Tentang kejadian tadi, begini saja, coba kau pikirlah dengan tenang, 100 tahun lagi siapa masih peduli semua itu. Ok!” Nasihat itu sederhana, simpel, tapi menurut saya bagus, dan manjur. Saya pun sering mempraktikannya saat merasa kepepet. Tidak susah kok, hanya mengatakan kepada diri sendiri “100 tahun lagi siapa masih peduli dengan ini”. Tapi lakukanlah dengan takzim dan sungguh-sungguh.

Jadi kalau anda saat ini, misalnya, tengah merencanakan sebuah kehebohan, katakanlah tindak korupsi gede-gedean, atau jenis kejahatan lainnya, dan anda diusik ragu, segera katakan pada diri anda (dengan takzim tentu), “Lakukan saja, 100 tahun lagi siapa sih masih peduli soal ini”. Percayalah, bahkan tak usah menunggu 100 tahun, selewatnya 5 atau 10 tahun pun orang di sini sudah pada lupa bahwa anda pernah jadi bajingan.

Apalagi kalau anda sering nongol di televisi, memakai kopiah putih dan berbaju koko. Lantas rajin pula menyambangi dan menyumbangi tempat-tempat ibadah atau orang susah, membagi-bagi nasi bungkus sembari memamerkan senyum Yudas. Bangsa ini sungguh adalah bangsa yang pemurah, penuh dengan tenggang rasa dan toleran—sering toleran untuk hal-hal yang jelas-jelas ngawur. Begitu pemurahnya sampai kadang ketelingsut menjadi, maaf. murahan.

06 November 2007

Apakah Saya "Sesat"?

SUATU kali, menjelang musim haji, saya mendatangi seorang teman. Saya tanyakan kepadanya, apakah pada musim haji ini ia punya teman atau sanak yang akan pergi haji. Kalau ada, mohon titip dibelikan tasbih, tapi betul tasbih dari Arab—jangan beli di Tanah Abang lalu diaku sebagai bukinan Arab.

Teman saya yang muslim itu heran, buat apa saya yang nasrani memesan tasbih, dan kenapa pula mesti jauh-jauh memesannya ke tanah Arab. Atas keheranan itu saya hanya menjawab singkat. Saya memang menyukai benda-benda “rohani”, atau apa saja yang memiliki nuansa relijius. Tasbih, adalah salah satunya. Tapi kenapa mesti dari Arab? Ya, pasti bedalah menggenggam tasbih Arab dengan tasbih Tanah Abang, kata saya sembari nyengir.

Kabar saya memesan tasbih itu sampai ke kuping beberapa teman lain yang nasrani seperti saya. Karena mereka tahu saya seorang nasrani yang “lumayan serius” (cailah), mereka pada heran. Kenapa lu cari tasbih segala, apa tidak cukup itu rosario—begitulah mereka bertanya, separuh complain. Seorang teman yang agak bijak bilang ini bukan soal yang perlu diributkan. Tasbih sekadar sarana, yang penting kan doanya, ibadahnya.

Persis seperti itulah sikap saya. Meskipun saya seorang nasrani—yang insyallah “saleh”--bagi saya bukanlah tabu atau halangan untuk belajar dari khazanah relijius yang lain. Saya membaca sejumlah buku tasauf, juga Zen, sama bergairahnya dengan saya menjelajah Injil Yohanes atau Surat Ibrani, umpamanya.

Keluyuran ke luar “kampung sendiri” lalu masuk ke “kampung orang lain” itu, juga dilakoni oleh banyak peziarah batin. Anthony de Mello, seorang pastor Jesuit, misalnya, tak merasa canggung “mencuri” banyak hal dari Zen,.Hinduisme, di samping dari khazanah mistik Islam. Hasilnya? Alih-alih menjadi bingung, atau membingungkan, sang pastor malah bertumbuh menjadi sosok katolik panutan yang tangguh.

Kini saya telah punya seuntai tasbih. Bukan bikinan Arab, tapi asli buatan lokal. Saya membelinya di bis kota. Bahannya dari kayu stiki, kata penjualnya. Saya tak tahu apa itu kayu stiki, dan apa pula “kesaktiannya”. Konon tasbih Sunan Kalijaga terbikin dari bahan yang sama. Entahlah. Yang penting bagi saya tasbih itu terlihat bagus, angker, penuh wibawa, dan terasa mantap dalam genggaman. Karena itu saya membelinya—lagian harganya cuma 10 ribu..

Sering kalau malam-malam susah tidur, saya ambil tasbih itu. Seraya berbaring mulailah saya daraskan dzikir.Tentu saja dzikir menurut cara saya sendiri—dijamin tidak bakal bisa anda temukan dalam buku liturgi agama manapun. Lalu apakah yang saya lakukan ini salah, atau “sesat”, menyalahi akidah, syirik, musyrik? Ah, mana ada waktu saya mengurusi pertanyaan gawat itu. Yang begituan biar saja jadi lahannya MUI atau FPI. Saya tak berhubungan dengan mereka. Lagi pula dalam urusan dengan “beliau” setahu saya jasa “calo” tak diperlukan.

01 November 2007

Sebutan "Cina" Itu ...

PAGI itu saya kembali terjebak macet. Dalam mikrolet, selain saya ada beberapa penumpang lain. Di sebelah kiri saya seorang ibu berjilbab, sebelahnya seorang yang kini tak saya ingat lagi. Sebelah kanan saya, seingat saya seorang dengan tongkrongan mahasiswa, dan di depan saya seorang lelaki, usia mungkin 40-an, bertampang keras dan rada sangar.

Mikrolet terhenti lama di pertigaan itu. Laki-laki bertampang sangar itu mengambil hapenya, lalu menelpon entah siapa, mengabarkan bahwa dia kejebak macet. Ia menjelaskan bahwa posisinya saat itu ada di depan “Sekolah Nusantara”, begitulah ia menyebut nama universitas Bina Nusantara (Binus)—sebuah perguruan tinggi swasta ternama di ibu kota, yang mengkhususkan diri pada bidang teknologi informasi.

Kembali pada laki-laki 40-an sangar itu. Orang yang ditelponnya rupanya tidak bisa langsung “ngopi” apa yang disampaikannya, sehingga si sangar itu lantas merasa perlu mengeraskan suaranya di hape dan bilang begini “…ya, betul, saya masih ada di depan sekolah Cina itu!” Kaget saya mendengarnya. Saya lirik ibu berjilbab di sebelah saya ternyata tenang saja. Mungkin tak sempat mendengar, mungkin juga itu baginya bukan hal istimewa yang perlu dipusingkan.

Sekolah Binus setahu saya memang didominasi “siswa bermata sipit”, prosentasenya mungkin di atas bilangan 90. Tapi tentu saja bukan itu yang menarik perhatian saya. Omongan si lelaki sangar itulah yang membuat saya terganggu. Ia menyebut kata “cina” dengan intonasi yang mengisyaratkan adanya kebencian yang dalam kepada apa yang disebut “cina” itu.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa hubungan antara kelompok “sipit” yang minoritas di sini dengan rekannya yang mayoritas sawo matang itu tidak harmonis. Itu terjadi pada pelbagai level dan bidang kehidupan. Di permukaan kelihatannya mereka “akur”, tapi sebetulnya tidak begitu. Peristiwa Mei 1998, umpamanya, membuktikan betapa rapuhnya tali silaturahmi antar kedua kelompok ini. Tapi apa gerangan penyebab “dendam turunan” itu?

Para pakar sepakat bahwa itu adalah warisan politik kolonial yang dengan sengaja telah mengondisikan kedua kelompok itu dalam posisi “saling bermusuhan”. Dalam urutan “kasta” yang dibuat ketika itu, kelompok “sipit”—yang notabene adalah “tamu” di tanah Boemi Poetra--diletakkan pada level yang “lebih tinggi” dari rekannya yang “sawo matang”. Kondisi tidak seimbang inilah—menurut teori itu—yang menjadi akar penyebab timbulnya rasa benci kelompok “pri” kepada “non pri”, dan sebaliknya rasa superior dari yang “non pri” kepada yang “pri”.

Jadi itukah jawabannya? Mungkin untuk sebagian, untuk konteks sejarah lokal kita, ya. Tapi mungkin ada sebab lainnya, karena kalau kita tengok di Malaysia, misalnya, yang setahu saya tidak mengalami fase “pengkastaan” seperti di sini, perseteruan antar “melayu” dan “cina” ini juga terjadi, dan dalam tingkat kegawatan yang juga besar.

Mungkinkah penyebab utamanya adalah semata karena benturan dua model kultur yang saling tak klop? Antara budaya Melayu yang “alon-alon asal ke lakon”—yang oleh pihak “non pri” lalu ditafsirkan sebagai “kemalasan”—dan budaya “si mata sipit” yang konon “hemat dan tekun”—yang celakanya kemudian ditafsirkan oleh si “pri” sebagai sebentuk “keserakahan yang ekspansif”? Entahlah, gamang saya menyentuh soal yang peka dan muskil ini.

29 October 2007

You Are What You Think

BAGAIMANA anda memandang hidup dan hari-hari anda? Kualitas hidup anda sangat tergantung dari bagaimana cara anda memandang dan menilainya. Konon ada tiga jenis manusia beserta caranya menilai. Jika hidup ini kita umpamakan saja dengan sebuah kerja membikin tembok, maka 3 jenis orang itu adalah seperti berikut.

Jenis pertama. Orang dari jenis ini melihat dan menilai dirinya tidak lebih dan tidak kurang dari seorang tukang yang sedang memasang batu di atas batu lainnya. Mungkin ia bekerja sembari menggerutu, atau mungkin juga tidak. Tapi kabar buruknya adalah ia tak kuasa melihat lebih jauh : Saya seorang tukang batu, hidup dan kerja saya adalah memasang batu. Titik.

Jenis kedua. Orang dari tipe ini paham bahwa ia seorang tukang batu. Tapi ia sanggup memandang lebih jauh. Ia akan berkata kepada dirinya : Kerja saya memang memasang batu, tapi batu-batu ini nantinya sesudah rampung saya susun akan menjelma menjadi sebentang tembok, kukuh dan gagah. Jadi, dalam kebersahajaannya, dalam ketidakberdayaannya, tipe orang yang ini masih bisa menyisakan hiburan bagi dirinya.

Lalu jenis ketiga. Orang dari tipe ini akan mengatakan kepada dirinya (dan mungkin juga kepada dunia) dengan penuh kebanggaan, bahwa ia bukan hanya sedang menyusun batu untuk mendirikan sebidang tembok yang keren, tapi lebih jauh lagi ia percaya bahwa ia pun sedang menyiapkan sebuah “istana” untuk anak-anak dan masa depannya kelak.

Ia, jenis ketiga ini, mungkin hanya seorang pegawai biasa yang saban pagi berangkat tergopoh-gopoh ke tempat kerjanya naik bis kota yang sumpek berjejal, sehingga belum apa-apa bajunya yang lusuh murahan sudah keringetan dan bau. Mungkin ia akan terpaksa berlari-lari—seraya mengeluh--menguber sisa waktu untuk jangan sampai telat sampai di kantor.

Lalu sepanjang hari ia akan membenamkan dirinya di antara tumpukan kertas dan angka-angka. Mungkin atasannya seorang tiran yang gemar membentaknya. Mungkin gajinya pas-pasan, anaknya masih pada kecil, dan ia terpaksa tinggal mengontrak di sebuah gang buntu, yang kalau hujan jadi lumayan becek. Tapi, siapa tahu diam-diam ia pun ternyata seorang blogger—meski hanya seorang blogger “gurem”.

Saya ingin mengatakan di akhir tulisan ini, siapa tahu, bukan tidak mungkin, ia, ternyata anda sendiri.

25 October 2007

"Tukang Sihir" Itu Bernama Mario Teguh

MUNGKIN tidak kelewat berlebihan kalau predikat “tukang sihir” kita lekatkan di depan nama Mario Teguh, sang motivator yang ujar-ujarnya hari-hari ini banyak ditunggu dan dicari orang. Ia sendiri dengan rendah hati lebih suka menyebut dirinya seorang sales, “hanya” seorang “penjual semangat”.

Sebagai penjual semangat ia memang piawai. Petuah-petuahnya terasa sangat bertenaga—dan mencerahkan. Itu bisa terjadi karena ia berhasil lolos dari sergapan klise, hal yang adalah perintang terbesar dalam urusan seperti ini. Banyak dari nasehatnya sebetulnya bukan barang baru apalagi ajaib, tapi karena disampaikan dengan cara “baru” maka ia lalu berubah menjadi “sihir yang memukau”.

Namun Mario Teguh tidak pernah menjanjikan sulapan. Ketika suatu kali ditanya soal seberapa perlunya faktor “luck” dalam sukses seseorang, ia dengan tandas mengatakan bahwa “keberuntungan” 100 persen berada di belakang sebuah sukses. Tapi “keberuntungan” dalam kamus seorang Mario Teguh hanyalah sejumput momen yang baru betul-betul akan menjadi “luck” manakala kita setiap hari bersiaga dan setia menantikannya—dengan cara antara lain merawat dan menjaga semangat kita.

Dengan kata lain, sukses dan keberuntungan adalah buah dari ketekunan dan kerja keras, dan bukan sekali-sekali produk dari sebuah “kebetulan”.

Hal lain yang mengesan—dan mungkin juga menjadi faktor pembeda dengan motivator lainnya--adalah nyelipnya nuansa relijius dalam sesion-sesionnya. Memadukan nasehat reljius ke dalam petuah bisnis sangat sekali beresiko, tapi Mario Teguh membuktikan bahwa bisnis pun sebuah area di mana hal-hal seperti relijiusitas, iman, dan Tuhan, adalah sah untuk hadir atau dihadirkan.

Bukan sekali dua kali ia mencoba meyakinkan kita bahwa setiap perbuatan baik akan mendapatkan ganjaran baik. Kalau tidak sekarang, mungkin besok, atau lusa, atau bulan depan, tahun depan, atau mungkin kelak anak-anak kitalah yang akan mencicipinya—tapi ganjaran itu suatu yang niscaya, katanya. Sebab, kata Mario Teguh pula, sistem akunting manusia bisa saja salah, tapi tidak sistem akunting Tuhan.

21 October 2007

Berburu Cersil, Merawat Kenangan

SALAH satu hobi atau kesenangan senggang saya adalah membacai dan mengoleksi buku-buku cerita silat (cersil) Cina. Bukan buku-buku Kho Ping Hoo lho, tapi buku-buku yang merupakan saduran dari karya-karya Chin Yung, Liang I Shen, dan Wang Tu Lu—tiga nama yang sejauh ini masih dianggap paling representatif dari khazanah cerita silat. Di Indonesia buku-buku mereka sampai kepada pembacanya lewat tangan Oey Kim Tiang (OKT), Gan Kok Liang (Gan KL), dan beberapa nama lain seperti Gan Kok Hie (Gan KH), SD Liong, Tjan ID. Kecuali Tjan ID, nama-nama lainnya sudah pada pulang ke “langit barat”—alias marhum.

Saya pertama berkenalan dengan genre “novel silat” ini sewaktu kelas 5 SD. Waktu itu ada teman meminjami Istana Pulau Esnya Kho Ping Hoo (KPH) Sampai sekarang saya menganggap buku ini adalah salah satu karya monumental KPH. Selama lebih kurang 3 tahun saya keranjingan membaca buku-buku beliau, tapi kemudian menjadi bosan sendiri karena pola ceritanya ternyata mirip satu sama lain. Buku-buku KPH menurut saya menarik dibaca pada bagian awal sampai pertengahan, tapi sesudahnya malah hilang gregetnya—karena ending yang biasanya sudah terpola, jadi bisa ketebak duluan.

Pada saat kejenuhan pada buku-buku KPH mencapai puncaknya itulah saya berkenalan dengan karya Chin Yung, Sia Tiauw Eng Hiong (Memanah Burung Rajawali). Buku ini, bersama-sama dengan Sin Tiau Hiap Lu (Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar) dan Ie Thien To Liong (Kisah Membunuh Naga) konon katanya merupakan “buku wajib” untuk seorang penggila cerita silat. Menurut saya trilogi Chin Yung ini memang luar biasa. Dibanding dengan buku-buku KPH, oh jauh sekali rentang mutunya. Konon bahkan seorang Gus Dur pun sempat dibuat kesengsem.

Waktu itu saya membaca dengan cara menyewa. Tidak kepikiran untuk membeli apalagi mengoleksinya—lagi pula duitnya nggak ada. Booming buku-buku silat lalu surut memasuki dekade 80-an dan kemudian buku-buku jenis ini seperti raib. Saya pun kemudian seperti melupakannya begitu saja, dan lantas tenggelam dalam jenis bacaaan lain yang kata banyak orang “lebih bermutu” dan “lebih sastrawi” pula.

Suatu malam saya bermimpi—ini beneran lho—berkunjung ke sebuah toko buku. Di rak-rak buku toko itu saya menemukan jejeran buku-buku cerita silat yang pernah saya baca bertahun-tahun yang lalu. Ternyata memang kesenangan saya pada “novel silat” tidak menjadi padam—ia lalu nongol atau memantul lewat mimpi (jadi ingat teori mimpinya Freud). Saya lalu mulai bertanya-tanya di mana bisa mendapatkan kembali buku-buku itu. Pikir saya, kali ini saya harus membeli dan mengoleksinya.

Kemudian saya tahu, kerinduan pada buku-buku “aneh dan langka” itu ternyata bukan hanya menimpa saya. Banyak juga yang rupanya “bermimpi” kepingin memiliki dan membaca ulang buku-buku ini. Di pihak lain ternyata juga ada sejumlah orang “gila” yang berani mempertaruhkan “segalanya” demi menerbitkan ulang buku-buku yang sudah lama terkubur itu. Saya sebut mereka ini “gila”, karena dari kalkulasi dagang proyek ini bisa dipastikan jeblok—dan nyatanya begitu—tapi mereka masih terus juga—sampai hari ini—meneruskan ide gilanya itu.

Melalui orang-orang “gila” inilah akhirnya hasrat saya mengolekksi buku-buku silat itu kesampaian. Selain itu kadang saya sengaja “berburu” ke “liang rase”—istilah untuk menyebut tempat “rahasia” di mana masih dijual buku-buku jenis ini—guna memuaskan dahaga saya "mengembarai" lagi "dunia persilatan". Jadilah saya kolektor buku cerita silat kecil-kecilan. Kecil-kecilan, karena harga buku-buku itu ternyata masih saja terasa mahal—dibanding isi dompet seorang karyawan gurem seperti saya.

Tapi lumayanlah, sejumlah judul penting dan “wajib” seperti trilogi Sia Tiauw Eng Hiongnya Chin Yung, lalu sejumlah judul dari serial Thiansannya Liang I Shen yang termashur itu, serta pantalogi Ho Keng Kun Lunnya Wang Tu Lu sudah bisa saya dapat dan kini nangkring dengan gagahnya di rak buku saya.

Kadang saya berpikir “kegilaan” saya mengoleksi cersil ini jangan-jangan sebentuk rasa cemas tersamar. Kecemasan yang diam-diam merongrong sanubari saya melihat masa depan yang tak menentu. Mungkin dalam suasana gamang itu lantas muncul sebentuk perlawanan—atau usaha melarikan diri?—dengan cara mengawetkan rasa atau pengalaman “nikmat” yang pernah saya dapat sewaktu membaca buku-buku cersil itu di masa lampau. Mungkin, mungkin betul begitu.

10 October 2007

Percintaan adalah Nasib yang Aneh

PERCINTAAN adalah nasib yang aneh—begitulah bunyi sebuah baris puisi Taufiq Ismail yang saya sukai. Usia perkawinan kami hari ini genap 9 tahun. Sebuah perjalanan yang masih sangat pendek—10 tahun saja belum nyampe. Belum ada apa-apa yang “pantas” diomongkan barangkali. Tapi tak ada salahnya satu dua catatan dibuat—sekedar bahan refleksi pribadi.

Tahukah anda, dulu saya sempat berpikir untuk hidup membujang sampai tua? Karena ketika itu saya teramat yakin tak bakal ada seorang perempuan pun yang akan bisa “menerima” saya. Orang-orang mengenal saya sebagai contoh pribadi yang “sulit”. Sulit diatur, sulit bergaul, sulit rejekinya, dan menampik pula agama, karena saya merasa Tuhan dan agama hanya semacam hiburan palsu. Jadi lengkaplah ke”alienasi”an saya saat itu.

Ketika lalu saya kepincut eksistensialisme—maka itu lebih karena alasan emosional. Filsuf favorit saya Sartre dan Camus.Tentu saja kalimat terkenal Sartre yang pernah berkoar bahwa “orang lain itulah neraka” menjadi salah satu “pegangan” penting saya..Novel Camus yang berjudul “Orang Asing” adalah salah satu bacaan kesukaan saya. Salah satu film favorit saya adalah Alice in Town besutan Wim Wenders, karena film itu berhasil dengan luar biasa menggambarkan situasi terasing kehidupan manusia modern.

Dan kalau diminta merumuskan apa itu hidup, maka saya akan bilang “oh, hidup bagiku hanyalah sebuah perjalanan panjang yang sunyi”—itu konon kata-kata Hemingway yang disadur lewat tokoh pak tua dalam novelnya The Old Man and The Sea. Ungkapan favorit lain yang kerap saya pakai untuk menggambarkan situasi solitaire saya adalah “lonely wolf”. Serigala yang kesepian—ya, itulah saya.

Tapi betul kata Taufiq Ismail, percintaan adalah nasib yang aneh. Banyak hal kemudian jadi berubah—namun terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Yang pasti hari ini usia perkawinan saya genap 9 tahun. Dua anak lahir dari perkawinan itu. Mereka masih kecil-kecil, yang sulung tahun ini baru kelas 2 SD. Kadang terbersit rasa was-was tentang masa depan mereka, mengingat umur saya yang sekarang sudah Ashar, sementara saya hanya seorang karyawan biasa dengan gaji ngepas tiap bulannya.

Tapi seorang teman yang relijius membesarkan semangat saya. Katanya selalu, “Tuhan jauh lebih pandai mengurus anak dibanding kau, jadi tenang sajalah”. Maka, saya pun mencoba tenang. Menjalani hidup seperti jutaan orang lain menjalaninya, melewati sehari demi sehari dengan segala suka dukanya.

Telah saya tanggalkan tema-tema kelam “stranger in the night” model Dostoevski yang lama menelikung saya. Kini saya hanyalah bagian “anonim” dari sebuah kafilah raksasa yang mencoba menyebrangi “the long and winding road” yang membentang tak terbatas di depan kami, sebuah padang gurun kering, sebuah “waste land”, untuk mengutip Elliot —tapi dengan semangat yang—mudah-mudahan betul—sudah berubah.. .

03 October 2007

Busway : Mati Gila Cara Sutiyoso

UNTUK siapakah sebetulnya jalur-jalur busway—yang hari-hari ini membikin banyak warga Jakarta menjadi “setengah gila”—dibangun? Jika itu ditanyakan kepada pejabat-pejabat nun di atas sana, maka mereka akan menjawab—mungkin seraya tak berpikir lagi—tentu, untuk “orang-orang kecil” di belantara ibu kota ini.

Tapi siapakah gerangan “orang-orang kecil” yang bercokol dalam benak mereka? Tadi pagi saya mendengar keluh-kesah seorang sopir mikrolet yang bilang bahwa “tak ada lagi yang tersisa buatnya”. Yang dia maksud, jalur busway yang seperti gurita merambah ke mana-mana itu akhirnya, cepat atau lambat, akan membunuh trayek mikrolet yang saban hari dibawanya. Busway akan menerbalikkan periuk nasinya.

Keluhan itu tentu saja mewakili suara ribuan supir mikrolet lainnya, belum termasuk suara ribuan supir dan kernet bis kota yang juga akan kena imbas sebagai akibat bakal dijadikannya bis-bis transjakarta sebagai sarana utama transportasi di ibu kota. Selaku konsumen tentu saya senang dengan tersedianya media transportasi yang murah dan praktis, tetapi sudahkah kebijakan “revolusioner” ini dikaji masak-masak?

Bukan maksud saya mau “sok pahlawan”, hanya saja saya terus-terang agak merasa heran dengan gerak laju pembuatan jakur busway yang—menurut saya—terkesan membabi-buta, dan kagak mau tahu itu. Apakah sungguh perlu semua jalan di Jakarta ini dipasangi jalur busway, sehingga ribuan, mungkin jutaan, warga dibkin “sinting” setiap harinya?

Saya teringat Daendels, gubernur jenderal kompeni yang pernah “sukses” membikin jalan tembus Anyer-Panarukan—dengan korban jiwa dan ongkos sosial yang tak terbayangkan itu. Kita hanya bisa menduga-duga, bukan tidak mungkin angan-angan itu pula yang menggelantung dalam benak Sutiyoso, orang yang paling bertanggung-jawab atas proyek busway ini—keinginan untuk dicatat dalam sejarah, meski dengan tumbal darah, dan kemelaratan-kemelaratan baru.

Maka, untuk siapakah sebetulnya jalur-jalur busway dibangun? Jika untuk “orang-orang kecil”—“orang kecil” yang mana? Atau hanya demi memuaskan hasrat megalomoniak.seorang gubernur—yang segera pensiun, dan tengah merintis jalan menuju kursi presiden? Atau semua kerepotan ini hanya demi target bisnis sejumlah cukong di belakangnya?

19 September 2007

Oh, Ternyata Dia Maling Juga ...

KALAU ada berita yang paling malas saya baca di koran, maka salah satunya adalah berita tentang korupsi. Sudah jadi klise yang diulang-ulang bahwa korupsi sudah menjadi “budaya” di sini. Artinya, perilaku “mengutil duit rakyat” ini sudah disepakati sebagai hal yang lumrah dan dianggap biasa sekali. Begitu gilanya “wabah” ini menjangkiti negeri, sampai kita pun agaknya diminta supaya tidak usah kaget atau ribut atas perilaku “korupsi berjamaah” ini.

Dan nyatanya saya memang tidak jadi kaget ketika hari-hari ini koran seperti tidak ada putusnya memberitakan kabar tentang mantan pejabat anu, atau politisi parpol A, yang tadinya dianggap “bersih” dan karenanya dijadikan “panutan” ternyata maling juga, sama sebangun seperti yang lain-lainnya. Begitu banyak nama yang terbukti “kotor” sampai kita pun mungkin jadi bertanya, “lalu siapa lagi tokoh yang masih boleh dipercaya”?

Padahal usaha pemerintah menangkapi para pengutil ini masih jauh dari maksimal. Yang dipilih untuk disikat baru kelompok maling kelas teri—dan yang penting secara politis sudah dihitung masak mereka tidak bakal bisa bikin “serangan balik” yang merepotkan. Jadi usaha itu masih dalam tingkatan “tebang pilih” dan “tebar pesona”, sehingga apa yang sekarang muncul di koran setiap hari sebetulnya hanya puncak dari gunung es yang sebetetulnya.

Saya teringat pada statemen Rendra tahun 1970-an. Ia bilang kalau Indonesia mau bebas korupsi, itu artinya seluruh pemerintahan harus diganti. Tentu saja omongan seperti itu tidak punya daya kejut lagi jika diletakkan dalam perspektif waktu hari ini. Yang menarik dari pernyataan itu memang bukanlah pesona retorisnya yang kini jadi melapuk, tetapi kenyataan bahwa Rendra sudah mengatakan apa yang agaknya memang “benar”—bahkan “benar” sampai hari ini.

Kita belum bisa seperti Cina, umpamanya, yang berani bertindak keras dan cepat dalam upaya menumpas korupsi. Kita, agaknya lebih suka mendahulukan “musyawarah” dan pendekatan “kekeluargaan”—bahkan juga dalam banyak urusan di luar korupsi. Seorang yang sudah terbukti jelas teroris dan pembunuh, umpamanya, masih bisa terus berlama-lama cengengesan dalam kamar selnya yang nyaman.

Kita memang bangsa yang penuh dengan rasa toleran, kekeluargaan, dan berbelas kasih pula. Kadang belas kasihan itu kita limpahkan untuk hal-hal yang jelas salah dan ngawur.Tapi, sudahlah.

(Image diambil dari media-ide-bajingloncat.com)

10 September 2007

Kalah dan Menang

JIKA hidup kita hanya berisikan hal-hal buruk, kekalahan demi kekalahan,maka pastilah sudah lama kita tamat, atau paling tidak, hidup dengan mental yang ringsek. Untunglah hidup setiap kita tidak seperti itu. Tapi jika hidup kita selalu berlangsung aman dan beres, pastilah sudah lama kita pun menjadi orang-orang dengan mental lembek. Dan mungkin, kita pun tak tahu lagi apa arti sebenarnya dari “kalah” dan “menang”.

Untunglah hidup memang tidak teranyam dengan komposisi tunggal begitu. Kekalahan dan kemenangan datang bergantian. Tidak bergiliran memang, sering tanpa pola yang bisa dijelaskan, tapi keduanya selalu hadir, selalu ada, dan saling melengkapi yang satunya.

Kita baru paham bagaimana sakitnya “kekalahan”, kalau sebelumnya sempat mencicipi “kemenangan”. Sebaliknya, manisnya “kemenangan” hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah sungguh-sungguh jatuh nyungsep ke dalam “kekalahan”. Kita musti lapar dulu baru bisa merasakan kenyang, begitulah memang aturan main dari sononya.

Itulah Yin Yang, keseimbangan yang mengatur jalannya ini jagat. Tidak ada yang lebih “baik” atau lebih “buruk”, karena keduanya dibutuhkan. Jika salah satunya ditiadakan, hidup akan menjadi roda yang kehilangan porosnya, sehingga perputarannya akan terganggu. Jadi, jangan sesali kekalahan anda, dan sebaliknya, jangan lupa daratan kalau sedang dapat giliran “menang”.

Orang-orang beriman percaya Tuhan menguji kita baik dalam susah maupun senang, Pada saat susah, saat terpuruk kalah, kita diuji untuk tabah. Pada saat berada di puncak kemenangan, kita diuji untuk tidak serakah. Ah, saya sama sekali tak bermaksud menggurui. Artikel ini hanya akal-akalan karena terus terang saya sedang bingung mesti menulis apa lagi, sementara blog ini sudah saatnya diupdate. Maaf.

02 September 2007

Hidup Bukan Kursus Mengetik

BANYAK orang rupanya punya anggapan bahwa hidup hanya berisi hal-hal teknis. Semua hal bisa dipelajari dan ditularkan—seperti ketrampilan mengetik. Lalu banyak orang juga percaya bahwa tujuan hidup adalah “sukses”. Dan ukuran “sukses” dilihat dari seberapa tebal dompet anda, atau seberapa kemilau jabatan anda, atau seberapa hebatnya kekuasaan anda, atau bisa juga dari seberapa ngetopnya anda.

Maka banyak orang lalu merasa “belum sukses” kalau belum kaya, atau belum punya jabatan, atau belum terkenal. Malah banyak orang lantas merasa hidupnya “kurang beres”, merasa ada yang “keliru” dengan cara hidupnya. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi pelahap buku-buku Dale Carnegie, dan banyak lagi nama yang dengan tidak bosan-bosannya mencoba meyakinkan kita bahwa hidup memang seperti sebuah kursus mengetik. Bahwa semua hal bisa dipelajari, dan semua orang bisa “sukses”.

Saya termasuk orang yang tidak gampang percaya dengan segala nasehat Carnegian yang begitu banyak mengepung kita. Setahun yang lalu nama Robert T Kiyosaki mendadak jadi magnet yang membetot-betot dari segala jurusan. Buku-bukunya diburu dan dipelototi karena diyakini memuat resep ajaib yang bisa mengantar kita “sukses”. Saya termasuk yang waktu itu ikut mengudak-udak bukunya.

Ketika membaca buku-bukunya terus terang—seperti jutaan pembaca lainnya—saya merasa tersihir oleh petuah-petuahnya. Harus saya akui bahwa ia memberikan semacam “pencerahan”, menyodorkan hal-hal yang selama ini luput dari amatan kita. Saya pun dengan bersemangat menenteng-nenteng buku itu—dengan semacam perasaan “bangga” yang aneh. Tapi sesudah semua ritual itu saya lakukan ternyata nasib saya tak jadi berubah. Apa yang salah?

Saya rasa sebab paling utama adalah karena hidup memang bukan semacam “kursus mengetik”. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang ada cukup banyak orang yang berhasil mengubah hidupnya antara lain karena petuah-petuah Carnegian itu. Tapi sebagian besar lainnya tidak punya kemampuan, atau keberanian, atau kesempatan mempraktekkan jurus-jurus how to be success itu.

Sebagian besar orang—mungkin termasuk saya—adalah dari jenis pengagum merek atau label. Mereka ini sebetulnya tahu “obat” yang mereka butuhkan untuk sembuh. Tapi mereka, mungkin, tak punya keberanian menelan “obat” itu, karena memang rasanya luar biasa pahit. Jadi mereka ini hanya mengelus-ngelus merek “obat” itu, seraya mungkin, memamerkannya kepada siapa saja, tanpa pernah samasekali meminumnya.

Mario Teguh sering ditanya “bagaimana caranya supaya tidak takut?”. Dan ia menjawab dengan kalemnya, “ya jangan takut”. Sesederhana itukah? Tidak, menurut saya. Sebab ada jarak yang luar biasa lebar antara mengatakan “jangan takut” dan mempraktekkan “jangan takut” itu. Karena hidup memang, sekali lagi, bukan semacam kursus mengetik. Jadi mesti bagaimana?

Yang mesti kita lakukan adalah menemukan habitat yang memang cocok untuk kita. Masukilah habitat itu, hiduplah kau di situ, berbahagilah kau di sana. Jangan pernah memaksakan rumus “sukses” orang lain untuk hidup anda. Anda itu lain, unik, jadi temukan rumus “sukses” anda sendiri. Ini adalah nasehat yang pernah diberikan almarhum MAW Brouwer. Apakah petuahnya ini terasa aneh dan ketinggalan zaman? Anda yang berhak menjawabnya.

28 August 2007

Kepada Renate Hong

RENATE HONG (dahulunya Renate Kleinle) bertemu Hong Ok Geun sewaktu keduanya masih mahasiswa di Universitas Friedrich Schiller Jena (Jerman Timur, ketika itu). Hong adalah satu dari sekian ratus pemuda Korea yang dikirim pemerintahnya untuk belajar di universitas itu. Cinta mereka konon sudah bersemi pada tatapan pertama.

Itu terjadi pada 1955. Lima tahun kemudian (1960) mereka menikah, lalu Peter Hyon Choi Hong, putra pertama mereka lahir tahun itu juga. Apa mau dikata, setahun kemudian Hong dipanggil pulang ke negerinya. Saat itu Renate dalam kondisi hamil anak keduanya. Hubungan mereka lalu diteruskan dengan cara surat-suratan—karena waktu itu belum ada internet , tentu mereka nggak bisa chatting, atau saling berbalas email.

Selama 2 tahun, Hong mengirimi Renate sekitar 50 pucuk surat. Pada salah satu suratnya ia melampirkan selembar daun teratai. Tapi pada 1963 surat-surat dari Hong mendadak berhenti. Renate dengan setia terus menunggu, menyimpan lembaran daun yang disebutnya “bukti cinta terakhir yang pernah diberikan suaminya kepadanya”. Ia memilih bertahan seraya merawat dua orang putranya.

Puluhan tahun kemudian mendadak ia mendapat warta bahwa Hong, sang suami, ternyata masih hidup, tapi ada keluarga lain di sana mendampinginya. Ia pun menyusun ikhtiar untuk bisa menemui Hong lagi, meski ia tahu pertemuan ini—jika bisa terjadi—bukanlah sebuah ending yang bahagia. Ia, sukup tahu diri, karena itu ia berkata “Kami akan berbicara hanya mengenai masa lalu, karena kami tidak punya lagi masa depan.”

Kisah Renate, buat saya, begitu mengharukan sekaligus perih. Ia sudah mengajar kepada kita apa artinya setia—tidak dengan kata-kata, melainkan dengan laku. Adakah ia kemudian menyesali penantiannya selama 46 tahun yang ternyata berakhir seperti itu, kita tak tahu, atau sebaiknya kita tak perlu tahu saja. Sebab pelajaran yang diberikannya jauh lebih berarti dibanding akhir tidak bahagianya itu sendiri, menurut saya.


Pada Selembar Daun

- Renate Hong

Pada selembar daun
Pernah kau rekam ingatan itu
Kau berkisah tentang pohon-pohon elm
Dahan-dahannya yang menggigil dalam angin

Salju juga jatuh di sana
Kota jadi putih dan jam membisu
Sementara kau sendokkan suap
Penghabisan sepi pada mangkukmu itu

Kau pernah menuliskan itu semua
Pada selembar daun, lantas kau kirimkan
Dengan pos kilat khusus musim gugur
Ke sebuah alamat di dasar mimpi

Kini musim berangkat coklat di jendela
Pada secarik warta yang akhirnya melapuk
Ingin kuputar kembali ingatan itu, barangkali
Bakal kubawa ke sebuah addres lain di batas cuaca

19 August 2007

Setahun Republik Mimpi

WAPRES “JK” dari Republik Mimpi bertanya kepada JK, wapres beneran dari “negeri tetangga”nya Republik Indonesia begini :”Apa pak Wapres pernah merasa capek atau bosan menjadi Wapres?” Kenapa anda menanyakan soal ini, menukas Effendi Gazali kepada “JK”. Dan “JK” alias Jarwo Kwat menjawab : “Ya tidak apa-apa sih, cuma kalau betul sudah capek atau bosan, saya siap menggantikan”. Jawaban itu disambut derai tawa dari JK alias Jusuf Kalla, yang lalu menambahkan “tapi anda musti menukar dulu status warga negara anda”. Ah, itu kan bisa diatur, brother, kata “JK” lagi.

Tanya jawab kocak itu muncul dalam episode NewsdotCom edisi ulang tahun kemarin malam. Sebuah momen yang 10 bahkan 5 tahun yang lalu rasanya tak terbayangkan bisa hadir begitu leluasa di depan kita. Maka kalau ada hal yang masih bisa disyukuri dari Reformasi yang konon mati suri, itu adalah peluang berekspresi secara relatif bebas yang masih cukup tersedia pada hari ini. Meskipun sering “kebebasan” itu ditafsirkan secara ngawur menjadi bebas juga “mengganyang” pihak lain dengan semena-mena.

Dan kalau ada hal yang masih pantas dipujikan ke alamat duet SBY-JK—yang konon tingkat popularitasnya terus anjlog—maka salah satunya adalah “keberanian” mereka untuk membiarkan peluang bebas berekspresi itu tetap ada. Acara seperti Republik Mimpi misalnya, boleh jadi sudah lama diberangus dan menjadi kenangan kalau saja yang bercokol di kursi paling atas itu bukan mereka. Saya berani bertaruh--kecil-kecilan tapi--untuk hal ini.

Sebetulnya memang tidak perlu ada yang ditakutkan dari acara ini. Lucu-lucuan yang mereka buat akan otomatis kehilangan sengatnya kalau kepemimpinan yang dijadikan bahan olok-olok itu sanggup membuktikan bahwa mereka sudah bekerja dengan benar dan baik. Selama syarat itu tidak bisa dipenuhi, maka penonton yang sudah capek dan muak akan terus mencari saluran untuk memuaskan segala kemarahan dan ketidakberdayaan mereka. Bentuknya bisa macam-macam. Republik Mimpi, hanya salah satunya.

16 August 2007

Siapa Pengunjung Blog Anda?

ADA dua jenis pengunjung yang merapat ke blog anda. Pengunjung jenis pertama adalah mereka yang memang sengaja “jauh-jauh datang bertamu”. Mereka ini boleh jadi para penggemar berat anda, atau sekedar simpatisan, aktif atau setengah aktif. Atau bisa juga “saingan” yang sedang sibuk mengusut kelebihan dan kekurangan blog anda.

Pengunjung jenis kedua adalah mereka yang mampir nggak sengaja. Mungkin mereka sampai ke blog anda lewat mesin pencari. Jadi mereka bisa hadir di blog anda karena “nyasar”. Atau bisa juga mereka menemukan anda di blog lain yang mereka sambangi, di situs-situs komunitas, umpamanya. Lalu entah karena alasan apa mereka iseng-iseng mengklik blog anda.

Pernahkah anda menghitung pengunjung jenis 1 atau 2 yang lebih banyak mengunjungi blog anda? Jika jenis 1 yang lebih dominan, maka mungkin itu petunjuk awal bahwa tingkat popularitas blog anda sudah ada. Paling tidak, anda sudah punya komunitas sendiri, biarpun mungkin jumlahnya hanya 10 sampai 20 orang. Itu sudah bagus kalau kita ingat betapa sengitnya persaingan di ranah blog saat ini.

Kalau pengunjung jenis 2 yang banyak mampir, maka itu pertanda anda memang nggak punya penggemar, atau sedikit saja penggemar. Kabar baiknya, anda mungkin boleh dianggap sudah cukup menguasai trik-trik Search Engine Optimation (SEO), sehingga ada cukup banyak pengunjung yang sudah berhasil anda giring ke dalam blog anda lewat mesin pencari.

14 August 2007

Menulis Tidak Selalu Gampang

MENULIS boleh jadi bukan perkara teramat sulit—ini tentu dalam konteks menulis di blog sendiri—tetapi yang sulit barangkali mencari, atau lebih betul, menciptakan situasi yang enak untuk menulis itu sendiri.Tema tulisan gampang dicari, asal mau sedikit jeli pasang mata. Sebuah buku notes kecil bisa membantu banyak, tapi itu baru permulaan dari “peperangan” yang sesungguhnya.

Sudah sebulan ini suasana di kantor tidak nyaman karena adanya pekerjaan renovasi ruang dan pindah-pindahan barang dan posisi duduk. Mendadak saja keasyikan saya ngeblog gratis melalui komputer kantor jadi berantakan. Setumpuk bahan yang dengan rajin sudah saya kumpulkan dalam notes sakti saya tinggal tak tergarap.

Ada dua blog yang mesti saya hidupi. Tadinya jadwal update 3 kali seminggu berjalan lancar, tapi sekarang jadwal setor 3 kali seminggu itu terpaksa saya langgar. Untuk blog sastra situasi masih bisa tertolong karena sampai saat ini saya masih memiliki stok puisi yang cukup.

Tapi untuk blog gado-gado saya yang ini, urusannya jadi rada sulit. Biasanya saya menggarap artikel saya di MS Word sebelum kemudian disiarkan. Biasanya juga stok tulisan saya selalu surplus. Untuk satu pekan ke depan selalu sudah terjadwal rapi. Tapi sejak posisi duduk saya dipindah ini mood saya untuk menulis agak rusak.

Saya memang termasuk “spesies” yang rada sulit beradaptasi dengan suasana baru. Saya hanya berharap urusan di kantor ini cepat selesai, dan kenyamanan saya ngeblog gratis bisa kembali seperti dulu. Kalau harus setiap kali nongkrong di warnet wah berat buat pegawai kecil seperti saya ini. Sedang untuk beli komputer sendiri rasanya kelewat mewah bahkan sekedar untuk saya lamunkan saat ini.

12 August 2007

Gempa dan Gigi Palsu

PADA malam (atau dini hari) sewaktu gempa itu terjadi saya belum tidur. Memang sudah jadi kebiasaan saya tidur larut. Saya sedang duduk selonjor di lantai, televisi sudah dimatikan. Pikiran saya melantur ke sana ke mari. Anak-anak dan ibunya sudah pada terlelap di kamar lantai bawah. Saat itulah kisahnya dimulai..

Saya mendengar suara tak-tok-tak-tok di luar jendela kamar, yang tak saya paham bunyi apa. Sementara saya terlongong-longong menyimak bunyi itulah saya merasa kamar bergoyang. Seingat saya tidak keras. Masih belum ngeh. Baru pada goyangan berikutnya sewaktu saya merasa lantai di mana saya meletakkan pantat saya terangkat, jantung saya rasanya saat itu juga berhenti bekerja.

Langsung saya ingat pada ramalan heboh yang beberapa bulan lalu dikatakan Mama Lauren. Lantas kata pertama yang keluar dari mulut saya saat itu adalah “Tuhan, janganlah sampai ramalan itu terjadi”. Baru sesudah itu serangkaian tindakan teknis penyelamatan saya lakukan.

Kipas angin saya matikan, lalu sesudah itu hal pertama yang saya ingat—anda pasti tak percaya ini—adalah memasang gigi palsu saya yang kalau malam saya cempungkan di gelas. Baru sesudah itu menyambar senter dan meluncur ke lantai bawah, membuka pintu supaya akses pertama untuk evakuasi—jika memang diperlukan--terbuka.

Bahkan pada saat itu saya masih belum sepenuhnya yakin sudah terjadi gempa. Itu sebabnya saya tak serta merta membangunkan anak-anak dan ibunya. Apalagi begitu saya keluar rumah suasana gang di depan rumah langang! Tak ada kehebohan. Ah, orang-orang sudah pada kecapean rupanya sehabis siangnya menyoblos, dan mungkin malamnya sebagian ada yang “nyoblos” lagi.

Sedang terbengong begitu, saya mendengar suara seorang tetangga depan saya berteriak kepada seorang adiknya menanyakan “apa tadi lu ngerasa gempa”? Ya, baru saat itulah saya sepenuhnya yakin sudah terjadi gempa. Pelan-pelan saya bangunkan istri saya supaya tidak terjadi kepanikan. Lalu ia memasang televisi dan segalanya jelas sudah.

Kira-kira satu jam kemudian, sesudah yakin keadaan aman, ia kembali tidur. Saya sendiri baru bisa pulas mungkin sekitar pukul 1.30 pagi. Saya tidur tanpa mencopot lagi gigi palsu saya, dan dengan senter setia menunggui di sebelah saya.

08 August 2007

Ini Dia Blog Jablai

JABLAI masuk ke dalam khazanah bahasa gaul di sini lewat film Mendadak Dangdut, hasil olahan sutradara muda berbakat Rudi Sujarwo. Jablai itu sendiri resminya kalau tak salah adalah akronim dari “jarang dibelai”. Di luar itu mungkin sudah muncul banyak tafsiran lain, tapi artikel ini berada di luar konteks pembicaraan itu.

Maka sebutan Blog Jablai maksudnya adalah “blog yang jarang dibelai” alias “jarang didatangi pengunjung”. Mungkin pengunjung yang masih mau setia “membelainya” ya hanya bloggernya sendiri. Sesudah selesai posting, ia akan berselancar ke blognya sendiri, mungkin seraya termangu-mangu memandangi wajah blognya yang merana dan kesepian itu.

Blog saya ini, boleh jadi tergolong juga Blog Jablai. Catatan statistik yang ada menunjukkan betapa sedikitnya pengunjung yang “sengaja” mampir. Pengunjung yang datang—dua atau tiga orang seharinya rata-rata—adalah mereka yang nggak sengaja “kesasar” karena dituntun oleh mesin pencari, atau oleh sebab-sebab lainnya.

Berhakkah, atau “pantaskah” Blog Jablai dibiarkan terus hidup? Tentu saja! Ngeblog menjadi hak setiap orang, tidak peduli dia “ngetop” atau hanya seorang yang “anonim”. Ngeblog meniadakan segala sekat dan batas. Siapa saja dipersilakan ikutan. Blog “laris” dan “jablai” mempunyai hak hidup yang sama.

Lagi pula, tidak semua blog yang sepi pengunjung itu jelek lho. Dan sebaliknya, tidak mesti blog yang “laris manis” adalah blog yang bagus. Ada blog yang—menurut hemat saya—isinya “nggak ada apa-apanya”, tapi ajaibnya selalu nangkring di papan atas dalam komunitas-komunitas blog. Kalau kita datang ke sana, tool statistiknya selalu menunjukkan adanya sejumlah—kadang sampai bilangan puluhan—pengunjung yang sedang aktif bertamu.

Jadi, terus sajalah ngeblog. Kalau pengunjung blog Anda sedikit, yakinlah paling tidak mesin pencari alias search engine diam-diam dengan setia terus menyambangi blog Anda yang “jablai” itu. Bagi saya, ini menjadi semacam hiburan berarti juga. Yah, teruslah menulis kalau begitu, teruslah ngeblog, demi search engine paling tidak.

05 August 2007

Betapa Tidak Menariknya Pilkada Jakarta

SEJUJURNYA saya pribadi tidak merasa tertarik samasekali pada hajatan besar Pilkada DKI yang dalam hitungan hari ke depan bakal digelar. Saya tidak percaya hajatan itu nantinya akan membawa perubahan signifikan pada kehidupan di ibu kota. Saya percaya siapa pun gubernurnya nanti, banjir masih akan rajin menyambangi kota ini. Kerumunan joki “three in one” masih akan meramaikan lalu lintas pagi, lalu pungli dan suap terus berjaya, dan seterusnya.

Dua calon yang disediakan untuk dicoblos gambarnya sungguh tidak menggugah “libido” saya samasekali. Kalau pilih yang satu, yang diklaim “paling tahu” perihal Jakarta—karena dia “stok lama”—itu artinya saya sekedar memastikan bahwa memang tidak akan ada perubahan berarti di kota ini. Calon yang “stok lama” ini rasanya hanya akan melanjutkan rencana gubernur sebelumnya. Cara dan isi kampanyenya membuktikan bahwa ia memang akan sekedar “nerusin” yang udah ada.

Sedang calon satunya, yang gembar-gembor gerah mau “ngebenahin Jakarta” juga tidak memunculkan ide-ide yang mengejutkan, yang bisa bikin saya paling tidak manggut-manggut. Fakta bahwa dia “orang baru” tidak cukup meyakinkan saya bahwa calon ini layak dilirik. Sebab “baru” itu bisa berarti ganda. Karena beliau “baru”, bolehlah kita melamun bahwa dia sungguh “bersih” dan “serius” mau mengurus kita.

Tapi “baru” juga bisa berarti “belum tahu apa-apa” bukan? Tidakkah riskan menyerahkan nasib ibu kota ke tangan pejabat yang “belum tahu apa-apa”? Atau, karena “orang baru” nantinya beliau akan kelewat bersemangat membuat banyak kejutan yang betul-betul membuat warga jadi tidak berhenti “terkejut-kejut” dan capek sepanjang masa jabatannya.

Saya bukan sedang menghasut anda supaya “golput”, karena itu artinya saya memaksakan persepsi saya. Saya percaya anda jauh lebih cerdas dari saya untuk memastikan sikap yang benar dalam hajatan ini. Pesta memang harus tetap jalan, dan meskipun calon yang disediakan “jauh dari menarik”, setidaknya libur resmi pada hari H hajatan itu tetaplah menarik dinikmati. So, happy holiday ...

02 August 2007

Dua Zaenal, Dua Perkara

ZAENAL yang pertama adalah Zaenal Arief, pemain Persib Bandung, yang belum lama ini dicoret dari daftar pemain timnas karena ketahuan “kabur” dari kamar hotelnya. Insiden itu terjadi menjelang timnas bersiap berlaga “hidup mati” melawan Korea Selatan pada penyisihan grup Asian Cup 2007.

Pelatih Ivan Kolev marah besar karena tindakan tidak disiplin yang dipertontonkan penyerang Persib itu. Ia menolak berkompromi dalam urusan kedisplinan pemain ini. PSSI pun sudah menjatuhkan sanksi berupa larangan merumput selama 6 bulan. Tapi reaksi pun muncul. Zaenal dan Persib mengajukan banding karena menganggap sanksi itu “kelewat berat”.

Apakah PSSI akan kembali “jatuh kasihan”—seperti dicontohkan dengan baik dalam kejadian-kejadian sebelum ini—dan mengubah hukuman itu, mari kita tunggu saja kelanjutannya.

Zaenal yang kedua tentu saja Zaenal Maarif, politisi yang saat ini terlibat perseteruan dengan RI 1. Entah hitung-hitungan apa yang sebetulnya ada di kepala Maarif sehingga dia berani melakukan apa yang oleh RI 1 disebut tindakan “fitnah” dan “pencemaran nama baik” itu. Gunjingan di warung-warung pinggir jalan menyebut mungkin awalnya ada pihak tertentu yang “bersimpati” pada Maarif, lalu menawarkan bantuan amunisi untuk melawan “penganiayaan” yang dialaminya.

Tapi kemudian bantuan amunisi itu rupanya dibatalkan sepihak setelah keadaan dinilai menjadi “tidak menguntungkan”. Satu demi satu nama yang semula disebut Maarif berada di belakangnya pada berebut membantah. Malah ada yang mau balik memperkarakan Maarif, seraya menyebutnya sudah melakukan “fitnah” pula.

Kabar terakhir menyebut ada “pihak ketiga” yang mau membantu mendamaikannya dengan Sang RI 1. Jika itu benar, menarik untuk melihat bagaimana RI 1 menanggapi tawaran itu. Analisa di warung-warung menyebut SBY tentu akan berhitung masak. Jika memang ada kesempatan “main keras”—sekalian “show of force”--mengapa memilih damai? Memang siapa itu Zaenal Maarif?

29 July 2007

Apakah Tuhan Ikut Bermain Bola?

PENJAGA gawang sudah hilang posisi, gawangnya menganga terbuka, tinggal satu sontekan enteng dan akan tercipta gol. Tapi secara ajaib bola malah membentur tiang gawang dan gol pun batal. Kalau anda penggila bola momen semacam itu pasti tidak asing buat anda. Apakah yang sebetulnya terjadi? Sebuah kesialan? Sebuah mujizat? Relavankah kalau Tuhan kita bawa-bawa dalam urusan ini?

Ketika terjadi drama adu penalti antara Jepang melawan Australia dalam perempat final Asian Cup belum lama ini kamera televisi beberapa kali menyorot pelatih Australia, Graham Arnold. Apa yang kita lihat adalah bahwa sang pelatih itu sedang menunduk sembari mulutnya komat-kamit. Ah, dia boleh jadi sedang berdoa. Pada momen genting itu, Tuhan dimintai bantuanNya supaya gawang Australia tidak jebol.

Presiden SBY pun secara khusus meminta “seluruh rakyat” membantu dengan doa supaya tim nasional sepak bola kita sukses membuat sejarah dalam forum Asian Cup tahun ini. Menpora Adhyaksa Daud juga melakukan hal yang sama. Dan saya percaya bahwa banyak dari kita yang sungguh-sungguh berdoa untuk kemenangan tim nasional kemarin.

Kesimpulan apa yang bias ditarik dari paparan di atas? Mungkin setidaknya ada dua hal. Kabar baiknya adalah bahwa banyak dari kita ternyata masih percaya adanya “tangan tersembunyi” di tengah timbunan persoalan kita, dan kita pun percaya bahwa “beliau” sudi dimintai tolong. Dan kita memang tidak diharamkan malu melakukannya.

Kabar buruknya adalah bahwa pemahaman kita padaNya masih begitu naifnya. Sebagian besar kita tampaknya hanya ingat padaNya saat kepepet. Dan lebih konyol lagi, kita cenderung memperlakukannya sebagai, maaf, “pesuruh”, atau “algojo” guna pemuasan hasrat mau menang sendiri kita sendiri. Kita sering kecewa—mungkin juga mengomel—kalau merasa permohonan kita tidak terpenuhi. Kita kerap lupa bahwa Dia memang bukan “pesuruh” gajian kita.

Nanti malam, saat tim Arab Saudi berlaga melawan Irak dalam final Asian Cup 2007, marilah kita tidak mendoakan kemenangan atau kekalahan salah satu tim itu. Biarlah “sang tangan tersembunyi” bermain dengan leluasa. Kita cukup duduk dengan berdebar menunggu kesudahannya.

26 July 2007

Let's Blog Walking

BERKUNJUNG atau bersilaturahmi ke blog lain—istilah “kampung”nya Blog Walking--adalah salah satu kebiasaan yang banyak dianjurkan. Berkunjung—dengan niat tulus bertamu, atau sekedar “setor muka”—adalah bagian dari kegiatan ngeblog yang asyik, meskipun kadang bisa saja kita kecewa karena kunjungan itu tak membuahkan hasil. Misalnya, karena blog yang kita datangi sudah lama tidak diupdate, sehingga “jauh-jauh datang” kita hanya dapat suguhan “basi”.

Lewat silaturahmi ini kita pun boleh berharap akan mendapat kunjungan balik. Jadi blog walking adalah salah satu kiat yang juga bisa diandalkan untuk menambah jumlah kunjungan ke blog kita—meskipun ada sebagian blogger—biasanya blogger yang telanjur merasa sudah “hebat”--menganggap kunjungan balik ini bukan “wajib”, melainkan hanya “sunnah” saja hukumnya. Dan penafsiran seperti itu sah-sah saja.

Selain dari itu, berkunjung ke blog lain adalah juga salah satu trik yang sangat dianjurkan apabila kita sedang kehabisan ide tulisan. Sembari bertamu kita bisa diam-diam mengintip tulisan apa yang digarap di blog tetangga. Kita bisa mencoba mencari celah yang luput tidak digarap dalam tulisan itu.

Atau kita bisa mencoba mencari dan mendapatkan sudut pandang lain dari tema yang digarap teman kita itu, kemudian dengan bekal itu kita kembali ke blog kita untuk “menuntaskan” ide tulisan yang belum terselesaikan di blog tetangga kita itu. Yah, ada banyak cara sebetulnya untuk menjaga supaya sajian di blog kita tidak jadi basi. Artikel ini pun saya dapat dari hasil “setor muka” ke sebuah blog tetangga.

22 July 2007

Pilkada Jakarta dalam Ancaman Golput

PILKADA DKI sudah di depan pintu. Kalau tak ada aral luar biasa hajatan yang baru pertama kali diadakan di ibu kota itu akan digelar 8 Agustus 2007 nanti. Tapi meskipun sudah tinggal pukul gong untuk dimulai, suasana di Jakarta masih relatif adem ayem. Mungkinkah itu karena hajatan sepak bola Piala Asia—yang saat tulisan ini disusun masih berjalan—jauh lebih menarik perhatian warga?

Lepas dari urusan sepak menyepak bola itu, Pilkada DKI mungkin memang bukan dagangan yang menarik bagi sebagian besar warga Jakarta. Koran Tempo Jum’at, 20 Agustus 2007 memuat perkiraan pemilih yang akan mengambil sikap “golput” dalam Pilkada ini mencapai 65% (survey LSI).. Apa penyebab tingginya angka “golput” itu? Koran itu menyebut faktor ketidakberesan administratif—registrasi pemilih yang berantakan--sebagai penyebab utamanya.

Faktor lain adalah karena warga rupanya menganggap “betapa tidak menariknya” calon yang tersedia untuk dipilih. Survey itu menyebut juga misalnya bahwa kelompok “terpelajar” dan “kaya” tidak menganggap hajatan ini perlu apalagi penting. Tapi, sikap apatis warga mungkin sekali bukan hanya terjadi di level “pintar” dan ‘kaya”. Sangat boleh jadi perilaku apatis itu sudah merembes ke level “bawah” pula. Karena merekalah sejatinya yang selama ini paling merasakan perlakuan “diskriminatif” penguasa.

Jadi, kalau dulu Arief Budiman cs harus bersusah-payah mengampanyekan Gerakan Putih alias “golput” ini supaya mendapatkan massa pengikut yang signifikan jumlahnya, kini tanpa harus disuruh-suruh, dibujuk, apalagi dipaksa, “golput” sebagai “ gerakan”, pun sebagai “dagangan” sudah tak bisa lagi dipungkiri eksistensinya. Dan mestinya ini menjadi bahan belajar buat penguasa bahwa rakyat sudah tidak gampang lagi dikibuli. Berjayanya “golput” membuktikan betapa gawatnya tingkat kekecewaan mereka.

18 July 2007

Bagaimana Anda Marah?

ADA banyak cara atau trik untuk menilai kualitas pribadi seseorang. Misalnya kita bisa langsung menerka kualitas seseorang dari bobot pertanyaan yang diajukannya. Orang-orang dengan kualitas “A” niscaya hanya akan mengajukan pertanyaan yang mutunya “A” juga, yang biasanya membuat kita terhenyak mendengarnya. Nah, kalau Anda tidak mau diperlakukan sepele, hati-hatilah dalam mengajukan pertanyaan.

Sudah barang tentu kualitas seseorang juga bisa diukur dari cara yang bersangkutan menjawab pertanyaan. Orang-orang dengan kualifikasi “A” biasanya juga menyodorkan jawaban-jawaban yang kelas “A” juga. Semakin “sembarangan” dan “tidak nyambung” jawaban kita, semakin “sembarangan” juga orang lain akan memperlakukan kita. Jadi, bertanya dan menjawab itu bukan perkara asal mengeluarkan suara atau bunyi—seperti dengan fasih diperlihatkan banyak pejabat kita.

Kita juga bisa menakar kualitas pribadi seseorang dari caranya mengekspresikan kemarahan. Sungguh menarik menyimak bagaimana masing-masing orang melepaskan hawa amarahnya. Ada yang kalau marah jadi bungkam seribu bahasa, berhari-hari lagi. Sebaliknya ada yang kalau marah bukan cuma mulutnya yang “rame” tapi tangannya ikut membantu.marah-marah. Misalnya dengan merusak, melempar, menggampar, dan sebagainya.

Tentu saja kita tidak bisa selalu merekayasa dan mengatur ekpresi marah kita. Masing-masing kita agaknya sudah “ditakdirkan” punya gaya marahnya sendiri-sendiri. Berbahagialah bila Anda dikarunia kemampuan untuk marah dengan tetap bisa santun. Sehingga orang yang Anda marahi alih-alih ikut sewot—atau ketakutan--malah jadi takluk, menyerah tanpa syarat. Saya kepingin sekali bisa seperti itu—marah tapi bisa tetap mesem--tapi bagaimana ya cara latihannya …

15 July 2007

Blog Munggur : White as Milk

SAYA mengenal blog Munggur ini via Technorati karena ada sebuah artikel blog itu melink ke blog saya. Sudah sejak kunjungan pertama terus terang saya kepincut oleh blog ini. Dengan mengusung tema white as milk, Munggur hadir dengan tampilan yang didominasi warna putih bersih, bersahaja, tanpa harus kelihatan “miskin” dan garing.

Dari jenis kontennya, Munggur adalah jenis blog yang tidak niche, malah full gado-gado. Munggur agaknya penjelajah yang tak kenal lelah. Setidaknya ada 15 tema yang menjejali blog itu. Bisa disebut di sini misalnya : bahasa, internet, berita, blog, jalan2, komputer, teknologi, dan beberapa lagi. Munggur juga “menolak” menghiasi blognya dengan image dan pernik aneh-aneh. Ah, pastilah ia salah satu penganut fanatik jargon “content is the king”.

Yang juga bagi saya luar biasa adalah Munggur menulis begitu banyak. Blog ini mulai digelar September 2006, jadi umurnya belum lagi setahun, tapi jumlah postingnya kalau tak salah hitung sudah tidak jauh dari jumlah 400. Posting terbanyak terdapat pada Mei 2007, sebanyak 89 artikel. Itu artinya seharinya Munggur menulis sekitar 2 ½ tulisan pada bulan itu. Gile betul …

Bagaimana dengan kunjungan? Statistik blog itu mencatat jumlah 42.705 kunjungan ketika tulisan ini disusun. Bagi saya ini juga prestasi fantastik setidaknya kalau dibandingkan dengan situs saya sendiri yang sama-sama launching September 2006 tapi hingga saat ini baru didatangi 3000-an pengunjung.

Berada di blog ini sungguh saya bisa merasakan “nikmatnya ngeblog”. Dan jika Anda selama ini sungguh mendambakan kehadiran seorang passionate blogger, saya tak ragu lagi menganjurkan agar Anda segera mendatangi halaman Munggur, sebuah blog “where the idea and opinion flow without limitation”.

11 July 2007

Masih Percaya Mujizat?

MASIHKAH anda percaya pada “mujizat”? Jawaban anda atas pertanyaan itu sangat tergantung pada pemahaman anda tentang apa itu “mujizat”. Ya, apa sebetulnya “mujizat”? Bagi kebanyakan orang kata itu akan membawa pada pengertian sesuatu yang dalam takaran akal sehat adalah “mustahil”. Mujizatlah namanya apabila seorang yang sudah divonis dokter bakal “lewat”, umpamanya, ternyata malah bugar kembali.

Persepsi kita tentang “mujizat” adalah seperti itu. Mujizat adalah sebuah atau serangkaian peristiwa yang “melawan akal sehat”, atau lebih spesifik lagi, mujizat adalah sebuah peristiwa yang spektakuler. Seperti kisah laut yang terbelah dua dalam Perjanjian Lama sewaktu iring-iringan orang Israel diuber-uber bala tentara Fir’aun, misalnya. Atau seperti ketika Sang Guru mengubah air menjadi anggur dalam sebuah pesta pernikahan.

Pemahaman “mujizat” sebagai sebuah atau serangkain kejadian yang “spektakuler” dan melawan akal sehat, sebetulnya tidak salah samasekali. Masalahnya adalah kejadian atau peristiwa apa sajakah yang layak disebut “spektakuler” dan “melawan akal” itu? Kalau persepsi kita terkurung pada model cerita lama seperti dicontohkan di atas, kita akan tidak ragu mengatakan bahwa zaman “mujizat” kini sudah lewat.

Untunglah zaman “mujizat” dengan sebenarnya memang belum lewat. Yang “melawan akal” dan yang “spektakuler” masih terus berlangsung setiap hari. Masalahnya adalah kebanyakan kita sudah menjadi begitu tumpul untuk bisa merasakan itu. Banyak dari kita bangun setiap pagi seraya mengeluh karena merasa segalanya masih sama, atau bertambah buruk—tanpa pernah menyadari bahwa “mujizatlah” namanya kalau kita masih bisa mendusin dari tidur kita, lantas masih bisa bebas pula menyedot oksigen tanpa dimintai bayaran.

06 July 2007

Pasang Iklan di Blog

MEMASANG iklan dalam blog adalah hal yang sudah jamak dilakukan banyak blogger. Menjadikan pekerjaan ngeblog sebagai cara mendapatkan tambahan penghasilan—lewat iklan yang dipajang di blog itu--bahkan menjadikan itu sebagai pilihan bisnis utama, juga bukan perkara baru lagi. Tapi karena saya sungguh masih “anak kemaren sore” dalam urusan ngeblog, memasang iklan menjadi sebuah urusan “besar” buat saya.

Pada awal mula ngeblog dulu, memasang iklan tidak masuk agenda samasekali. Ketika itu kalau ada orang yang nyasar berkunjung saja senangnya sudah bukan main. Pada fase selanjutnya saya terobsesi pada cara bagaimana supaya bisa “mengakali” mesin pencari agar apa yang sudah ditulis di blog bisa selalu tampil pada halaman depan sewaktu kebetulan ada yang mencarinya.

Lalu ketika memutuskan untuk ikut ber-iklan ria jujur saja motivasi saya adalah uang. Anehnya, sewaktu mengambil putusan itu saya sedikit mengalami “konflik” di dalam diri. Mendadak saya merasa seperti “berkhianat” sudah meninggalkan spirit ngeblog yang “murni”. Kasarnya saya sempat merasa sudah “melacur” dengan melakukan pemasangan iklan di situs saya itu. Untunglah tidak berlama-lama saya terkurung dalam “kebimbangan” moral itu.

Bukankah pemasangan iklan itu hanya bisa sukses menghasilkan uang apabila jumlah kunjungan ke situs kita bisa tetap bagus. Dan kunjungan yang bagus itu hanya bisa dicapai melalui updating konten yang tetap konsisten mutu dan juga jumlahnya. Jadi dilihat dari sudut pandang ini, memasang iklan di blog sebetulnya tidak harus menimbulkan pertengkaran batin apa pun. Iklan dan spirit “murni” ngeblog ternyata tidak bertentangan, malah saling menunjang.

04 July 2007

Kesombongan Institusi

BELUM lama ini beberapa puisi saya dimuat sebuah koran ibukota. Karena pemuatan di koran tersebut sudah beberapa kali terjadi saya segera bisa menduga-duga berapa jumlah honorarium yang bakal saya terima nantinya. Sewaktu transfer honor dari koran itu masuk ternyata jumlahnya jauh di bawah yang saya perkirakan.

Sedikit heran dan penasaran saya pun iseng menyurati koran tersebut, menanyakan dengan baik dan santun perihal honor yang jauh di bawah perkiraan itu. Seraya berharap memang ada kekeliruan dari pihak koran itu sehingga masih ada tambahan uang masuk buat saya.

Tapi sampai tulisan ini dibuat koran itu tidak juga menjawab pertanyaan saya. Padahal, menurut pikiran saya yang suka naif ini, apa susahnya sekedar mengetikkan beberapa kalimat menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi, lalu mengirimnya by e-mail. Menurut saya itu pekerjaan yang sangat mudah, tidak merepotkan, dan malah bakal mengundang respek—ya minimal dari saya.

Tapi koran besar itu agaknya punya pertimbangan lain, dan memutuskan tidak menjawab saja pertanyaan sepele itu. Menurut saya, yang suka naif, itu adalah bukti “kesombongan” kepada sesosok “person” yang notabene memang tak punya power apa pun—kecuali mungkin “power of ngomel”. Marilah kita namakan ini kesombongan institusi. Huh.

01 July 2007

Supaya Tidak Kehabisan Ide Tulisan

PENYAIR Joko Pinurbo punya kebiasaan ke mana-mana mengantongi sebuah buku catatan kecil—sebagian kita mungkin terbiasa menyebutnya notes—yang digunakannya untuk mencatat apa saja yang menarik perhatiannya. Mungkin itu ide atau tema, atau gagasan yang sekonyong muncul di kepala, atau apa sajalah yang dianggapnya penting untuk nantinya digarap menjadi sebuah tulisan utuh. Saya pernah menyebut ini sebagai gaya penyair "pengrajin".

Tidak dinyana kebiasaan “sepele” itu—mengantongi notes ke mana-mana—ternyata juga dilakoni Prof Ikhlasul Amal. Beliau pun menganjurkan untuk kita tidak ragu melakukan hal yang sama, karena memang banyak juga manfaat yang bisa didapat dari kebiasaan itu. Dari mulai sekedar mencatat alamat situs menarik yang nggak sengaja kita temukan misalnya, sampai—mungkin ini yang paling penting—mencatat ide-ide untuk nantinya dijadikan artikel di blog kita.

Belum lama ini saya menulis artikel Menulis dengan Gairah di halaman ini. Di situ saya ceritakan bahwa saya punya kebiasaan mengupdate blog saya 3 kali seminggu. Ternyata ada yang penasaran dan kasih komen bahwa itu target yang kelewat berat baginya. Sebetulnya saya pun tidak menganggap target posting 3 kali seminggu itu ringan, tapi syukurlah sampai sejauh ini semua berjalan lancar.

Posting 3 X seminggu bukan target yang mudah karena memang tidak gampang menemukan bahan untuk dituliskan. Tapi ada penulis yang bilang bahwa “menulis itu seperti ngobrol” dan saya rasanya setuju, tapi tetap saja susah mempraktekkan jurus itu. Pertama, karena memang menulis punya banyak “aturan” beda dengan ngobrol, jadi buat mereka yang memang malas berlatih—apalagi dasarnya nggak suka—kerja menulis akan selalu menjadi semacam beban dan siksaan..

Kedua, menyangkut bahan atau topik untuk dituliskan. Sebetulnya, ini masalah kejelian kita belaka. Menulis di blog itu relatif mudah—jika dibanding menulis di koran, umpamanya—karena banyak hal bisa kita comot dengan bebas untuk kemudian kita tuliskan di blog kita. Tapi, masalahnya kita sering begitu saja membuang banyak tema atau topik yang kita temui, dengan cara melupakannya begitu saja. Nah, di sinilah saya kira sebuah notes—yang ukurannya mungkin hanya separuh telapak tangan—bisa membantu supaya kita tidak selalu merasa blank dan kehabisan ide tulisan.

29 June 2007

Dengan Sinetron "Membegokan" Bangsa

WACANA bahwa acara seperti sinetron di TV telah dipakai sebagai alat untuk membodohkan bangsa ini beberapa kali saya dengar dalam acara Newsdotcom di Metro TV. Pola pembodohannya cukup canggih dan terkesan “ilmiah”. Melibatkan juga antara lain lembaga rating yang secara kontinyu mengabari kita bahwa tontonan-tontonan “sampah” seperti sinetron itulah yang ternyata menjadi suguhan yang “paling dicari” penonton.

Dengan modal rekomendasi lembaga rating itulah kemudian pihak stasiun televisi menyusun program acaranya. Lha karena sinetron adalah item yang paling “recommended”, maka banjirlah televisi kita dengan suguhan sinetron kelas “sampah” itu. Kalau kita komplein soal ini pihak televisi selalu berkilah bahwa mereka hanya bekerja mengikuti “selera pasar” yang tercermin dari hasil rating itu.

Jadi pertanyaan besarnya adalah sungguh sahihkah hasil rating itu sehingga pihak stasiun televisi harus patuh menyembahnya, dan kita pun terpaksa pula percaya bahwa kualitas intelektual penonton televisi kita sebegitu parahnya? Lebih krusial lagi adalah menjawab “apa” atau “siapa” gerangan berdiri di belakang lembaga rating yang kita sembah-sembah itu. Jangan-jangan lembaga-lembaga itu memang tidak pantas dipercaya.

Sebagai wacana, kecurigaan bahwa hasil rating itu semata akal-akalan yang pada gilirannya dimanfaatkan sebagai jembatan untuk tambah menyengsarakan bangsa ini lewat kebodohan-kebodohannya layak dicermati. Tapi haruslah wacana itu didukung hasil survey yang juga valid supaya tidak jatuh menjadi gosip yang lain lagi. Belajarlah menuduh dengan cerdas.

Saya teringat pada statemen sarkastik Syumanjaya (alm) sewaktu mengomentari situasi perfilman nasional dekade 80-an yang saat itu dibanjiri film-film “sampah” semodel “Nyi Blorong cs”. Film-film seperti itu, katanya, adalah film-film bodoh, dibuat oleh orang-orang bodoh, untuk orang-orang bodoh. Jadi, film-film “sampah”, sinetron-sinetron “tolol” ternyata memang selalu punya basis dan pendukungnya dari masa ke masa.

Hanya seberapa kukuhkah keberadaan mereka sebetulnya sehingga secara signifikan sanggup membentuk panorama televisi kita menjadi seperti sekarang, itulah pertanyaan yang masih harus dicari jawabnya. Untuk tujuan itu, memang kita tidak diharuskan percaya pada lembaga rating “anu” yang selama ini banyak dipertanyakan kebenaran hasil ratingnya itu..

27 June 2007

Bendera Parpolnya Aja Berantakan ...

TIDAK susah ternyata mengukur tingkat kepedulian seorang politikus kepada rakyat. Cukup amati saja bendera parpol politikus yang bersangkutan. Bendera, dalam pemahaman saya, merupakan representasi kelompok yang memiliki bendera itu. Karena itu bendera seharusnya digagas & didesain secara matang, dengan memasukkan selain kaidah artistik juga kaidah moral di dalamnya.

Bendera yang baik dengan begitu akan menggambarkan dengan tepat visi dan karakteristik kelompok yang mau diwakilkan dengan bendera itu. Bendera yang didesain dengan sembarangan, tanpa citra artistik yang memadai, dengan gamblang membuktikan ketidakseriusan—dan bisa jadi juga ketidakbecusan--kelompok yang bernaung di bawah bendera itu.

Dalam kaitan dengan bendera parpol, maka bendera parpol yang dibuat serampangan—dan pasti terburu-buru pula—menjelaskan kepada kita betapa tidak serius dan “sembarangan”nya parpol yang bersangkutan mengurus pekerjaan politiknya.Dan “kesembarangan” itu hanyalah bisa terjadi kalau parpol yang bersangkutan memang penuh dimuati orang-orang yang juga “sembarangan” mutunya.

Mereka inilah para petualang politik yang terus mencoba mencari peluang untuk bisa memanjat naik ke puncak kekuasaan—atau minimal berkesempatan mendapat cipratan berkah kekuasaan itu. Maka sungguh konyol dan mengerikan kalau kemudian negeri ini jatuh dalam kekuasaan kelompok petualang politik—untuk tidak menyebut mereka pencoleng—seperti mereka ini, yang bahkan membikin bendera parpolnya saja tidak becus.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...