27 November 2008

Film "Lewat Djam Malam", Sebuah Mahakarya

SAYA tak pernah tertarik menonton film Indonesia, sejak film-film seperti “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” tidak pernah dibuat orang lagi, begitu suatu kali Goenawan Mohamad menulis. Ketika membacanya saya tertegun : film macam apakah “Lewat Djam Malam” dan “Krisis” yang begitu dipujikan Goenawan itu? Rasa penasaran semakin bertambah setelah saya membaca juga ulasan seorang kritikus film asal Jepang. Sang kritikus menyebut film itu sebagai salah satu film terbaik dunia (!) yang pernah ditontonnya.

Kedua film itu meluncur dari tangan dingin sineas besar kita, Usmar Ismail (alm). Saya merasa beruntung pernah menonton keduanya lewat sajian layar TVRI entah berapa tahun yang lalu—rasanya masa itu sudah lama sekali. Saya kurang begitu ingat film “Krisis”, tapi “Lewat Djam Malam” bagi saya sungguh sebuah film hebat. Film itu berkisah tentang kekecewaan “para pejuang” revolusi ketika mereka kembali ke dalam kehidupan “damai” di kota. Tokoh utamanya diceritakan “gagal” berdaptasi dengan situasi kehidupan yang “normal” dan terlibat dalam sejumlah konflik, bahkan juga dengan bekas teman-temannya sesama “pejuang”.

Masa sewaktu film itu dibuat adalah masa-masa yang belum lagi jauh dari kalibut debu dan mesiu 1945. Situasi masih serba seadanya dan darurat. Tapi justru di tengah kondisi yang serba pas-pasan itu Usmar berhasil menelurkan sebuah “maha karya”—pujian yang tidaklah mengada-ada dan berlebihan—sebagaimana diutarakan oleh kritikus film asal Jepang itu. Konflik dalam film itu tertuang dengan jernih dan kuat. Sungguh sebuah karya yang menggetarkan.

Sesudah menontonnya saya pun terpaksa bersetuju dengan Goenawan Mohamad. Memang saya masih menyempatkan diri menonton sejumlah film nasional lain, dan ada sejumlah film yang cukup menarik, tapi pengalaman artistik yang menggetarkan—seperti ketika menyaksikan “Lewat Djam Malam”—belum pernah lagi saya alami. Sineas-sineas yang dianggap “besar” dan ”penting” pasca Usmar Ismail (dari Teguh Karya sampai yang paling mutakhir generasi Riri Riza) menurut saya belum bisa membuat film sebagus itu lagi.

Mungkin yang “agak mendekati” kebesaran Usmar Ismail adalah Syumanjaya. Salah satu filmnya, “Yang Muda Yang Bercinta”, bagi saya sangat menarik. Tapi Syumanjaya (seperti Usmar Ismail) juga sudah lama tiada.

24 November 2008

"Sandiwara Politik" Koes Bersaudara

GRUP musik—dulu kita sempat terbiasa dengan istilah “band”—Koes Bersaudara (yang kemudian menjelma Koes Plus dan sekarang Koes Plus Pembaharuan—kayak nama koran hehe) pernah juga menorehkan kisah di halaman sejarah politik negeri ini. Itulah lelakon sudah lama berselang kala mereka dijebloskan ke penjara rejim Orde Lama.

Bung Karno (BK), sang pemimpin masa itu, menganggap mereka sebagai bagian dari “musuh” yang musti diganyang. Dari penggal kisah itulah kemudian lahir sebutan “musik ngak ngik ngok”—penamaan yang diberikan sang pemimpin untuk melecehkan model musik “barat” dan gaya “elvis-elvisan” yang “tidak sejalan dengan semangat revolusi”.

Tapi siapa nyana peritiwa kelam puluhan tahun yang lalu itu—yang sedikit atau banyak telah berjasa juga mendudukkan band legendaris itu selaku “hero”—ternyata hanya sebuah rekayasa politik alias sandiwara alias bohong-bohongan belaka? Adalah Yok Koeswoyo, salah satu personil kelompok musik itu sendiri, yang membeberkannya dalam tayangan acara Kick Andy pekan lalu.

Ceritanya saat itu ibu pertiwi kan lagi cekcok berat dengan Malaysia. Tetangga serumpun itu dipandang BK sebagai antek kapitalis Amerika di Asia. BK selaku pemimpin merasa perlu menciptakan semacam kehebohan di panggung politik guna mensupport gerakan “ Amerika kita seterika” dan “Inggris kita linggis” yang sedang beliau propagandakan. Maka didekatilah Koes Bersaudara untuk dibujuk agar mau “berkurban demi negara” dengan memainkan sandiwara sedih masuk bui itu.

Hebatnya BK, yang boleh tahu urusan ini hanya Yok, personil band yang lainnya tidak. Maka kejadianlah sewaktu mendekam di sel Nomo sering memarahi Yok sebab sang adik ini tidak pernah menunjukkan rasa prihatin layaknya orang masuk penjara. Ia kelihatan tenang-tenang saja dan malah kadang masih suka cengengesan bergurau, yang tentu saja tambah membikin Nomo dan yang lainnya sewot.

19 November 2008

Adam yang "Sexi", Pertanyaan Anak Saya

“Adam itu seksi ya, nggak pake baju lagi”, celutuk anak saya belum lama ini. Dengan kalem saya mencoba membantahnya. “Adam pasti pake baju, kalau nggak pake nanti masuk angin dong”. Tapi dia tak mau kalah, diangsurkannya buku pelajaran agama dari sekolahnya. “Lihat aja ini gambarnya, nggak pake baju kan”, katanya. Saya juga tidak menyerah begitu saja. “Adam pasti pake baju, yang di gambar itu baru mandi barangkali”. Tapi dia tertawa mendengar jawaban itu. “Baru mandi? Mandinya di kali ya, jorok dong …” Saya tak mencoba lagi membantah atau memperpanjang obrolan kami itu.

Seperti anak saya yang kelas 3 SD itu, ada banyak sekali orang yang sungguh percaya bahwa kisah Adam dan Hawa di Firdaus adalah sebuah kejadian nyata. Para fundamentalis dan barisan panjang pengikutnya terlalu takut (atau malas) untuk membaca dan mencari yang “tersirat” di belakang yang tersurat. Mereka membaca kitab suci bak memelototi kitab sejarah, dan meyakininya mentah-mentah sebagaimana tertulis di sana. Setiap huruf dan noktah dalam buku itu haram untuk dipersoalkan.

Tapi studi kitab suci modern mengajar dan berhasil membuktikan bahwa teks-teks yang dipandang suci itu sebetulnya juga sebuah produk sejarah yang tak bisa dilepaskan dari konteks budaya-tempat-waktu teks itu “diturunkan”. Karena sifatnya yang sedikit banyak “kontekstual” itu, bisa dan wajar jika ada teks yang tak lagi terasa “nyambung” dengan situasi hari ini. Maka supaya teks itu tidak menjadi mubazir perlu ada keberanian (dan kerelaan) untuk membacanya dalam semangat baru.

Kembali ke kisah Adam dan Hawa. Tafsir resmi gereja katolik mengajar bahwa kisah dua sejoli itu beserta sejumlah cerita ikutannya harus dipahami seperti kita membaca mitos. Di dalam mitos bukan kebenaran faktual atau historis yang dipentingkan, melainkan pesan moralnya. Seperti kalau kita membaca dongeng “Kancil dan Buaya”, yang penting di sana bukan soal “apakah betul kancil bisa ngobrol dengan buaya”, tetapi pesan bahwa “kekuatan” (buaya) bisa diatasi oleh “kecerdikan” (kancil).

Para pakar Alkitab katolik sampai pada kesimpulan bahwa sejarah keberadaan manusia hanya bisa terlacak sampai pada zaman Abraham (Ibrahim). Segala hal yang terjadi pada masa pra Abraham sesungguhnya gelap adanya. Dan asal muasal penciptaan dengan demikian tetap tinggal sebagai misteri, yang hanya diketahui ‘apa-bagaimana’nya oleh Sang Khalik sendiri.

Kisah Adam dan Hawa sebetulnya modifikasi dari sebuah dongeng (amat) tua Babilonia. Dongeng itu dicangkokkan oleh para guru Yahudi/Israel purba untuk “menyambung” mata rantai sejarah keselamatan manusia yang terputus jejaknya sampai periode Abraham. Dengan ditambahkannya kisah firdaus mata rantai yang terputus itu sekarang menjadi “lengkap” : semesta memiliki titik awal, dan titik awal itu Allah adanya. Itulah pesan kunci yang mau disampaikan kisah Firdaus—lain-lainnya hanya pelengkap, bumbu, mungkin juga sekadar ornamen.

Jawaban seperti itulah yang mustinya saya sodorkan kepada anak saya, tetapi tentu itu tidak mungkin dilakukan. Bayangkan, ia masih 8 tahun, baru kelas 3 SD, dan seperti jutaan orang lainnya, ia pasti belum siap dan lebih suka tinggal terlelap dalam “kebutaan” teologis yang melenakan, seraya belajar merasa “aman” dan “cukup” dengan kualitas iman yang seperti itu. Mungkin untuk sepanjang hidupnya.

14 November 2008

Berdoa 9 X 9 X 9 Kali

SEBERAPA tekunkah anda berdoa? Jika anda misalnya menginginkan sesuatu yang begitu berharga—sebutlah keinginan mendapat anak, atau rumah tinggal yang layak huni—selain dengan usaha-usaha “duniawi”, seberapa rajinkah anda juga datang padaNya untuk memohon dikabulkannya permintaan itu?

Di dalam tradisi gereja katolik terdapat ritual doa yang disebut Doa Novena. Ini adalah cara berdoa yang unik : kita mendaraskan permohonan kita selama 9 hari berturut-turut, di tempat yang sama dan pada waktu yang sama. Banyak kesaksian yang mengisahkan betapa untuk memenuhi janji “bertemu” selama 9 kali itu ternyata tidak mudah. Biasanya, begitulah cerita yang sering saya dengar, ada saja halangan ini dan itu yang merintangi.

Jika berdoa Novena dalam hitungan normal dan standar saja (9 kali) begitu sulit, terbayangkah oleh anda bahwa ada yang pernah melakoni doa ini dalam hitungan “tidak nornal”, yaitu : 9 X 9, alias 81 kali pertemuan! Ini pernah dilakukan oleh seorang pengajar dalam kelas Alkitab yang saya ikuti. Ia menceritakan pengalamannya itu beberapa pekan lalu.

Apakah itu sudah contoh yang paling heboh? Ternyata belum. Sebab pernah ada seorang ibu yang berdoa Novena sebanyak 9 X 9 X 9 kali alias 729 kali pertemuan. Atau jika dikonversi ke dalam satuan waktu hari, ia telah dengan setia berdoa mendaraskan permohonannya pada jam yang sama dan di tempat yang sama pula selama waktu (persis) 2 tahun kurang 1 hari!

Ceritanya ibu ini telah menikah selama 5 tahun dan belum juga dikaruniai anak. Lalu setelah segala usaha “duniawi”nya untuk mendapatkan anak mentok, ia pun berpaling pada doa Novena ini, dan ia tidak hanya mengikuti kebiasaan yang umum, yaitu berdoa sebanyak 9 kali (atau 81 kali), tetapi 729 kali. Tuhan maha mendengar! Sang ibu akhirnya berkesempatan juga menggendong anaknya. Saking senangnya anak itu dinamainya Novena.

Kisah ibu ini sangat menggugah saya :.seperti itulah seharusnya saya berdoa—yaitu dengan setia dan “tak jemu-jemu”. Tentu seraya selalu mengingat bahwa seberapa hebat pun usaha doa saya, dikabulkan atau tidaknya doa itu akhirnya menjadi hak prerogatif ‘Beliau’ di atas sana, yang tidak berhak saya gugat. Dan inilah hal lain yang juga “sulit” dalam urusan berdoa.

10 November 2008

Amrozi Mati, Terorisme Tidak ...

SESUDAH lama terkatung-katung, akhirnya trio bomber Bom Bali I Amrozi cs jadi juga dieksekusi mati pada Ahad dinihari pukul 00.15 WIB, di sebuah lokasi tersembunyi di hutan Nusakambangan. Ketiganya dikabarkan ditembak dengan mata tidak ditutup sesuai permintaan mereka sendiri.

Sementara itu, Imam Samudra, menulis surat wasiat yang isinya antara lain menyatakan bahwa sebutan “teroris” yang mereka sandang “jauh lebih terhormat” ketimbang sebutan “ulama” jika ulama itu hanya diam terhadap apa yang disebutnya “penindasan kaum kafir”. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri mengeluarkan pernyataan bahwa kematian ketiga teroris itu bukanlah “syahid”, karena cara “perjuangan” mereka dinilai salah kaprah, dan malah menganiaya Islam (Koran Tempo, 10 November 2008).

Pernyataan MUI itu tidak menyurutkan semangat ribuan orang untuk berdatangan ke pemakaman trio bomber tersebut. Bagi para pelayat ini Amrozi cs, tak bisa tidak, adalah pahlawan dan martir, seperti antara lain ditandaskan oleh tokoh Islam garis keras, Abubakar Ba’asyir. Memanglah sebutan “pahlawan” dan “pengkhianat” hanya soal persepsi belaka. Itu hanya menjelaskan di posisi mana kita berdiri.

Yang pasti kematian ketiga bomber Bom Bali I itu tidak lantas berarti ancaman teror berakhir. Masih ada “Noordin M(emang) Top” yang sampai hari ini masih bebas gentayangan, selain kelompok “pejuang anti kafir” lainnya. Kematian Amrozi cs diyakini malah semakin menyalakan semangat “jihad” mereka .Dan ancaman mereka sungguh nyata, meskipun keberadaan mereka sendiri seolah tak pernah nyata.

Memburu dan menangkap “para pejuang anti kafir” ini hidup atau mati jauh lebih mendesak ketimbang meributkan urusan gelar yang pantas disandangkan pada trio bomber yang kini mungkin sedang santai menikmati kenyamanan hidup di sorga, di antara para malaikat dan bidadari yang dengan telaten mengeloni mereka …

03 November 2008

Belas Kasihan Untuk Amrozi?

HARI-HARI ini, menjelang waktu eksekusi terpidana mati Amrozi cs, sejumlah media televisi ganti-berganti menshoot (dan men-”zoom”) para “pahlawan” Islam itu. Lantas, mungkin dengan maksud untuk lebih menumbuhkan kesan dramatis, ditampilkan juga sejumlah anggota keluarga mereka. Tidak ketinggalan diperlihatkan juga komunitas “asli” mereka : desa sederhana dengan orang-orang yang tampaknya juga sederhana.

Menonton tayangan-tayangan itu sejumlah orang mungkin jadi merasa kasihan dan iba hati pada nasib Amrozi dan dua konconya. Mereka sekonyong sadar bahwa bagaimanapun para teroris itu juga “manusia biasa”. Mereka punya asal-muasal, para sanak, dan orang tua yang diam-diam meratapi nasib mereka.

Perasaan “simpati” dadakan itu sah dan wajar saja. Meskipun itu belum cukup membuktikan bahwa kita masih manuusia, mengingat hewan pun sampai batas tertentu bisa menampilkan kualitas serupa itu dengan baiknya. Tapi mudah-mudahan orang-orang yang menaruh belas kasihan kepada Amrozi cs juga tidak pernah lupa bahwa para korban teror mereka pun hakikatnya sama.

Artinya mereka pun bukan segunduk mayat hangus yang anonim belaka. Mereka semua, juga punya keluarga dan asal-muasal dari mana mereka pernah tumbuh dan datang. Punya seorang ibu, yang tak pernah bisa paham mengapa gerangan anak mereka musti mati atas cara yang demikian mengerikan dan atas nama sebuah alasan yang juga begitu abssurd?

02 November 2008

Untuk Sebuah Kenangan

BULAN Oktober 28 tahun yang lalu adalah bulan yang gerah dan berkeringat—mirip sekali dengan pekan-pekan terakhir Oktober tahun ini. Saya kerap terkenang malam-malam sewaktu sendirian berjaga, mencoba “membunuhi” bala tentara nyamuk yang tiada putus-putusnya menyerang, sementara ayah saya terbaring di ranjang, di kamarnya yang, sebetulnya kalau saya kenang sekarang, nyaman juga keadaannya, meskipun agak sempit.

Sesekali suara batuknya terdengar, dan setiap kali mendengar ia batuk, saya pun merasa “lega”. Ketika itu kondisinya sudah semakin memburuk (kanker menggerogotinya tanpa ampun), maka kadang kalau dari kamarnya tidak terdengar suara apa-apa, saya malah suka was-was, sebab jangan-jangan “yang terburuk sudah terjadi”. Maka diam-diam saya suka berharap ia terbatuk, sebab batuk itu menjadi tanda bahwa ia masih bertahan, masih ada di kamarnya.

Sesungguhnya saya tak pernah percaya bahwa “yang terburuk” itu akan terjadi padanya. Ibu saya pernah bercerita bahwa ayah sudah dua kali “nyaris meninggal”, tapi toh senantiasa selamat. Maka saya pun percaya bahwa ia akan kembali selamat kala itu. Tapi barangkali juga keyakinan saya lahir karena di rumah kami sejauh itu memang belum pernah terjadi “hal yang terburuk” itu. Juga mungkin sebab pemahaman saya yang teramat miskin mengenai ganas dan buasnya kanker. Begitulah, ketidakpahaman rupanya malah bisa menjadi sumber kekuatan.

Pun sewaktu kemudian saya bermimpi “aneh” (sebuah mobil jenazah berhenti di depan rumah kami, dan beberapa orang terlihat mengusung peti mati ke dalam rumah), perasaan saya tetap biasa saja. Baru sewaktu “yang terburuk” itu kemudian sungguh terjadi, saya tersentak. Mendadak maut menjadi sesuatu yang nyata bagi saya, setelah sebelumnya (rupanya) ia sekadar sebuah kabar (dari jauh) yang seolah ada tapi tiada.

Setiap kali almanak mendekati penghujung Oktober, kenangan akan hari-hari itu terasa menguat kembali. Meskipun ia semakin mirip sejilid buku tua yang kertasnya sudah menguning, huruf-hurufnya mulai meluntur, dan isinya boleh jadi semakin tak relevan, tapi setiap kali pula saya ingin kembali “membaca” buku itu, atau paling tidak sekadar menyentuhnya.

Lebih dari sekadar keinginan bernostalgia belaka, saya merasa memiliki semacam kewajiban untuk menjaga agar “buku tua” itu tetap terawat baik. Mungkin karena kepergian ayah membuat saya seperti disorongkan ke dalam situasi yang sebetulnya belum siap saya arungi. Kejadian itu adalah salah satu momentum penting dalam hidup saya. Sebab sesudah itu setiap hal menjadi tak sama lagi.

Maka setiap tahun, pada penghujung Oktober dan awal November (ayah saya berpulang 2 November 1980), saya raih kembali buku itu, hati-hati dan dengan rasa haru (yang anehnya tak menjadi makin pudar) saya bolak-balik lagi halaman-halamannya yang sudah menguning itu. Mungkin seraya membersihkannya dari debu waktu yang mau mencoba menguruknya dalam semak belukar ingatan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...