02 December 2009

Chris John : Juara yang Sudah Mentok?

Chris John adalah juara dunia tinju yang kemampuannya di atas ring terlalu biasa, dan karenanya terasa meragukan. Ia memang berhasil mempertahankan gelar juaranya sebanyak 12 kali. Tetapi kita bisa melihat sendiri betapa 12 kali kemenangannya itu dilaluinya dengan sangat susah payah. Ada beberapa pertandingan yang malah terasa meragukan hasilnya. Kita mungkin jadi tergoda bersepkulasi bahwa Chris selama ini bernasib mujur belaka.

Mujur, karena ia tidak sempat ketemu lawan yang betul-betul sangar, kecuali Marquez dari Meksiko. Dalam pertandingan itu memang Chris—yang bertanding di kandang sendiri—dinyatakan menang “split decision” oleh juri, tetapi mata penonton yang awas dan jujur melihat bahwa sebetulnya kala itu Marquezlah pemenangnya. Kalau saja Marquez bisa memaksa “sang naga” knock down, mungkin ceritanya bakal lain.

Sebagai juara kita melihat Chris John memiliki kelemahan yang sangat mendasar. Misalnya, ini yang paling sering dikeluhkan, ia tak punya pukulan pamungkas atau killing punch. Jotosan-jotosannya bahkan sering terlihat “mengambang”. Kecuali itu ia pun ternyata “lamban”. Pada tarung terakhirnya melawan Rocky Juares tempo hari kelihatan bagaimana dengan mudah gerak-gerik Chris John dimentahkan gara-gara gaya bertinjunya yang “lamban” dan “lemah lembut” itu. Untungnya Juares bukan petinju istimewa, sehingga untuk kesekian kalinya Chris John kembali lolos dari lubang jarum. Di ronde ke-12 sebetulnya ia sudah nyaris jatuh, tapi bunyi bel menyelamatkannya.

Selain itu Chris ternyata juga tak memiliki stamina yang jempol. Lihatlah bagaimana dengan cepat ia terlihat kepayahan begitu permainan memasuki ronde-ronde pertengahan ke atas. Maka dengan modalnya yang demikian minim, saya menghitung gelar juara yang disandangnya bakal mudah direbut jika saja ia bisa diketemukan dengan lawan yang, katakanlah sekelas Marques lagi—dan pertandingannya dilakukan di luar kandang.

Kecuali kalau ia—dan teamnya—bisa memanfaatkan waktunya untuk segera berbenah menambal kelemahan-kelemahannya. Tapi bisakah? Jujur saja saya pribadi agak ragu. Saya bahkan menduga Chris John sudah “mentok” dan sulit ditingkatkan lagi prestasinya.

08 July 2009

Quick Count Pilpres 2009 : Rakyat Memilih "Lanjutkan!"

Hasil Quick Count atau Hitung Cepat yang dilakukan beberapa lembaga survey pada Pemilu Pemilihan Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009 hari ini mengabarkan hasil yang boleh dibilang sama : Pasangan Capres SBY-Boediono unggul secara menyolok di atas perolehan suara dua pesaingnya, Mega-Pro dan JK-Win.

Pasangan SBY-Boediono maraih dukungan suara sedikit di atas 60 persen (kecuali hasil dari Puskaptis). Pasangan Mega-Pro harus puas dengan perolehan suara yang berkisar di antara 25 dan 30 persen. Sedang pasangan JK-Win yang pada saat-saat akhir diprediksi akan meraupn hasil bagus ternyata justru terpuruk di posisi juru kunci, dengan hasil suara yang bahkan tidak sampai 15 persen.

Meskipun komposisi hasil Hitung Cepat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan banyak hasil polling yang dilakukan sebelum Pilpres, bagi banyak orang hasil ini rupanya tetap terasa mengejutkan. Di dua propinsi (DKI Jakarta) dan Aceh, angkanya malah sangat fenomenal. Di Jakarta SBY-Boediono mendapat suara di atas 70 persen, sedang di Aceh, lebih spektakuler lagi angkanya : 90 persen.

Apa yang bisa dibaca dari indikasi yang tergambar pada hasil Hitung Cepat ini? Sosiolog Imam B Prasojo mengatakan bahwa rakyat Indonesia sudah sangat lelah dengan segala gonjang-ganjing dan eksperimen politik. Mereka ingin hidup yang stabil, dan tenang. Dan untuk kali ini mereka memercayakan harapan dan keinginan itu pada pasangan SBY-Boediono. Mereka ingin agar semua “dilanjutkan” saja.


Mereka ternyata tidak tertarik pada tawaran-tawaran spektakuler yang disodorkan pasangan Mega-Pro (pertumbuhan ekonomi dua digit, umpamanya), atau model pemerintahan (dan pemimpin) yang hanya “asal cepat dan baik”. Mereka ingin yang aman dan pasti. Mereka ingin yang realistis dan tidak banyak spekulasinya. Sekali lagi, mereka sudah sangat lelah, dan ingin kehidupan yang stabil dan “nyambung”.

Apakah hasil ini juga bisa dianggap bukti bahwa pemilih kita kini sudah “lebih rasional” dalam menentukan pilihan? Apa pun argumentasinya, rakyat sudah memilih, dan kalau kita masih percaya dan bersetuju bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan sendiri”, maka marilah kita belajar menghormati pilihan itu.

02 July 2009

Pilpres Satu Putaran : Bisa Rusuh Seperti Iran?

Pernyataan Prabowo Subianto soal kekhawatirannya terjadi “hura-hura” seperti di Iran jika pilpres dilakukan tidak fair dan dipaksakan satu putaran menuai kritik tim kampanye SBY-Boediono. Ketua PNBKI Eros Djarot menilai pernyataan Prabowo itu emosional dan jauh dari sikap negarawan.

"Ini pernyataan yang sangat emosional. Sikap kenegarawanan dalam hal ini diperlukan. Harap dicatat gerakan yang tidak didukung rakyat tidak akan jalan. Faktanya sekarang mayoritas rakyat menghendaki pilpres satu putaraan, mau apa lagi," kata Eros kepada detikcom, Kamis (2/7/2009).

Menurut Eros, pilihan masayarakat untuk mendorong pilpres satu putaran didasarkan pada pertimbangan rasional mulai dari soal efisiensi sampai hasil survei yang tidak berimbang. Karena itu kalau ada pihak-pihak yang tidak terima dengan hasil survei dan kampanye satu putaran, para pihak itu diminta membuat survei dan kampanye lainnya yang kontra. Bukan melakukan intimidasi politik.

"Siapapun yang melakukan intimidasi tidak akan didengar oleh rakyat. Rakyat semakin rasional. Iran dan Indonesia dua negara yang berbeda. Sosial kultural dan setting politiknya juga berbeda," paparnya.

"Survei sudah mendukung, polling ecek-ecek SMS juga mendukung. Lantas apalagi. Ini semua pijakannya rasional. Kalau tidak puas, lakukan polling. Jangan lagi ini ditarik seperti pada peristiwa Mei lalu," paparnya


Eros meminta semua elit politik mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dibanding kepentingan pribadi dan golongan. Selain itu sikap dewasa dan negarawan harus senantiasa dijunjung guna memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya.

"Tidak ada perlu dikhawatirkan. Kalau ada provokasi, itu sikap kekanak-kanakan yang ancam-ancam kalau satu putaran, harus diakhiri. Kalau harus 2 putaran ya 2. Kalau lihat debat capres, sangat tinggi njomplangnya," tandasnya..(Dikutip dari : detikcom 2 Juli 2009).

25 June 2009

Capres "Idaman" Warga Minoritas

Menjadi kelompok minoritas di manapun tidaklah nyaman. Etnis Cina di Indonesia, tahu betul apa artinya menjadi warga minoritas. Begitupun umat non muslim di republik ini paham sungguh apa artinya menjadi bagian “marginal” dari sebuah kelompok masyarakat.

Ironisnya, jika kita periksa halaman kitab undang-undang, maka semua hak dasar politik mereka umumnya sudah tercantum di sana. Artinya, secara konstitusional hak mereka sebetulnya dijamin oleh negara, tetapi kalau sudah masuk ke ranah publik, barulah akan kita temukan kejanggalan dan perbedaan perlakuan terhadap mereka. Dan itulah arti sebenar-benarnya dari menjadi “minoritas”.

Praktek-praktek diskriminatif itu niscaya masih akan berlangsung lama (berkacalah pada pengalaman Amerika Serikat), tetapi mungkin situasinya bisa sedikit diminimalkan dengan kehadiran seorang pemimpin yang berani mengambil sikap tidak berat sebelah kepada segenap warganya.

Peluang mendapatkan pemimpin yang seperti itu bukannya tak ada. Ajang Pemilu pasca Orde Baru memberi kesempatan bagi kelompok minoritas untuk memilih sendiri calon pemimpin yang nantinya diharapkan berani bertindak “netral” kepada setiap warga negara. Maka bagi kelompok ini, seorang calon pemimpin tidak cukup hanya “pandai” dan “berkharisma” doang. Di atas semuanya, sang calon pemimpin kudu bisa menjamin kenyamanan plus keamanan hidup mereka kelak.

Soalnya kemudian, dari antara tiga pasang calon presiden (dan wakilnya) yang kini berlaga dalam Pilpres 2009 ini, adakah kira-kira calon yang “cocok” dengan kriteria seperti dikehendaki kelompok “minoritas” itu? Mestinya ada. Dan warga minoritas—dengan bekal pengalaman mereka “hidup tertindas” bertahun-tahun—sekarang mustinya memiliki insting plus untuk sanggup “membaca” isi jeroan ketiga pasang calon presiden dan wakilnya itu.

Mestinya mereka tidak akan gampang-gampang lagi dikibuli, atau ditakut-takuti, untuk beralih pilihan begitu saja pada calon lain yang disodor-sodorkan kepada mereka. Mereka mestinya juga paham siapa dari ketiga pasang calon pemimpin itu yang hanya sekadar “berjualan”, dan mana yang sungguh berkomitmen pada nasib warga minoritas.

24 June 2009

Betulkah LSI Bagian dari "Konspirasi"?

Berita Terkait – Sumber Kompas.Com

Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani tampaknya tersinggung dengan tuduhan anggota Timkamnas Mega-Prabowo, Maruarar Sirait, yang mencurigai lembaga survei menjadi bagian dari desain besar melegitimasi pemilu satu putaran. Saiful dan Ara sempat saling bersitegang dan berdiri dengan tatapan tajam satu sama lain.

Saiful dengan tegas mengatakan, hasil survei tak bisa disalahkan. Apalagi, menuduh lembaga survei menjadi bagian dari konspirasi tersebut. "Tim sukses itu seharusnya membicarakan apa yang akan dilakukan dengan hasil survei. Tidak perlu mencari kambing hitam, mengatakan lembaga survei memobilisasi pemilih. Jangan terlalu keras bahwa survei ini bagian dari desain," kata mantan Direktur LSI ini.

Mendengar tanggapan ini, Maruarar—yang biasa disapa Ara, langsung menyahut, "Anda tanpa sadar dijadikan bagian dari kecurangan. Dalam film itu ada sutradara, aktor," ujarnya.

"Itu hanya spekulasi kalau menuduh survei bagian dari konspirasi kecurangan pemilu. Bahaya sekali kalau banyak orang seperti Ara di negeri ini," timpalnya.
Ketegangan antarkeduanya ditengahi oleh moderator, Burhanuddin Muhtadi, yang juga peneliti senior LSI. Saiful juga menegaskan, hasil survei hanya merupakan potret opini publik.

Sementara Ara tetap berkeyakinan ada desain seperti yang disangkakannya. "Suatu saat pasti terungkap," kata politisi PDI Perjuangan ini.


Semacam Komentar

Tuduhan adanya “konspirasi” pada Pemilu 2009 makin santer terdengar hari-hari ini. Megawati misalnya, beberapa kali dengan terang-terangan di depan umum mengeluarkan statemen yang menuduh adanya rekayasa sistematis pada Pemilu ini kali ini untuk memenangkan kelompok tertentu.

Pada saat diundang dalam acara Kick Andy di Metro TV, ia dengan santai dan yakinnya mengatakan bahwa hasil Pemilu Legislatif kemarin (yang memenangkan Partai Demokrat dan mempecundangi sejumlah parpol besar, termasuk PDIP di dalamnya), sebagai “bukti tak terbantah dari adanya rekayasa kecurangan itu”.

Sebagai catatan, hasil Pemilu Legislatif 9 April 2009 itu nyatanya memang “sesuai” dengan “ramalan” yang dikeluarkan Lembaga Survey Indonesia hanya beberapa hari saja sebelum saat pencontrengan. Tapi apakah ini sungguh “fakta” yang lantas bisa diajukan sebagai bukti adanya kecurangan? Mestinya tidak semudah itu. Bagaimana kalau "kesesuaian" itu kelak terbukti semata-mata terjadi karena sahihnya metodologi yang diterapkan?

Saya hedak bilang, Megawati sebagai seorang pimpinan organisasi politik besar (dengan jumlah massa pengikut yang juga besar) tidakkah sebaiknya lebih bisa menahan diri dalam mengeluarkan pernyataan politiknya--sebelum segala sesuatunya bisa terang benderang dibuktikan. Sebab implikasinya bisa sangat tak terduga.

Maka saya pun jadi bertanya-tanya, jika nanti dalam Pilpres ternyata Megawati kalah lagi, bisakah ia menerima kenyataan itu. Atau seperti tokoh oposisi di Iran yang kalah tanding kemarin, malah berbalik menebar hasutan yang menyebabkan terbitnya kerusuhan besar. Saya berharap ketakutan ini hanya halusinasi saya belaka.

23 June 2009

Pilpres Satu Putaran : Mengapa Ribut?

Apakah keliru kalau Pilpres bisa selesai dalam satu putaran saja? Jawab : tentu saja tidak ada yang salah. Apa yang disuarakan dalam iklan “Pilpres Satu Putaran” sudah benar belaka : pengiritan duit sebanyak trilyunan adalah salah satu alasan pembenarnya. Jadi mengapa ada yang merasa perlu meributkannya?

Jika konsisten dengan slogan “pro rakyat” mengapa harus menolak “satu putaran”? Apakah dikira “wong cilik” tidak bisa bosen bolak-balik mencontreng? Begitu pun jika benar “lebih cepat lebih baik” adalah slogan yang dijadikan modal kampanye, mengapa pula musti meradang dengan tawaran iklan “satu putaran”? Mengapa jadi tidak konsisten?

Ah, kita sebetulnya sudah paham sepahamnya mengapa ada penolakan itu. Kelompok yang rame berteriak menghujat iklan “satu putaran” sejak awalnya memang tidak teramat yakin bisa meraup hasil baik dalam Pilpres ini. Mereka sudah berhitung cermat bahwa sangat mungkin mereka bahkan bisa langsung rontok di putaran pertama.

Mereka menaruh harapan besar akan bisa memukul balik di putaran kedua lewat jalan “keroyokan” alias koalisi. Karena itulah segala macam skenario dan wacana yang mengarah pada “pemilu satu putaran” membuat mereka kebakaran jenggot.

Tentu saja dalam penolakannya mereka mencoba terlihat ‘‘reasonable”. Misalnya dengan berulangkali menyebut-nyebut keberadaan sang lembaga survey pembuat iklan yang dianggap “tidak netral” karena faktanya memang mereka didanai salah satu capres.

Tapi omong-omong, betulkah iklan “satu putaran” itu menyesatkan dan membohi khalayak? Jawabannya berupa pertanyaan balik : betul begitu gampangkah rakyat kini dibodohi? Saya kira kita sepakat, pemilih sekarang sudah lebih cerdas (dan bebas) untuk memutuskan sendiri memilih yang mana—dengan atau tanpa arahan iklan “satu putaran” itu.

Tapi, mungkin yang paling benar, kalau tak sreg dengan iklan “satu putaran”, ya buatlah juga iklan tandingan yang isinya, umpamanya, Pilpres yang “ideal” seharusnya dua putaran, supaya lebih banyak duit yang beredar, lebih banyak pihak yang dibikin senang, supaya rakyat lebih matang lagi memilihnya.

(Dan supaya kalau ternyata “keok” juga, tidak usah lagi ribut seperti kemarin, menuduh dan menyalah-nyalahkan pihak lain bermain curang).

18 June 2009

Debat Capres : Mungkinkah Menarik?

Dari tiga pasang capres yang kini sedang berlaga, JK adalah calon presiden yang bisa tampil paling “santai” dan luwes. Sementara SBY selalu tampil percaya diri, hanya saja kelihatan agak “ngeden”. Sedang Mbak M adalah yang paling “culun” dari tiga pasangan itu, meskipun belakangan ia sudah bisa tampil lebih mendingan dibanding sebelum-sebelumnya.

Kalau mengenai cawapresnya, Mas Bowo adalah calon yang paling bisa tampil menggigit (tidakkah seharusnya ia betukar posisi dengan Mbak M?). Wiranto cenderung datar dan menjemukan. Sementara Boediono sejauh ini terlihat sebagai sosok yang paling terlihat “lugu”.Maklumlah, beliau memang masih pendatang baru di panggung politik, yang sarat dengan sandiwara dan kepura-puraan itu.

Bagaimana jadinya kalau mereka diadu dalam sebuah forum debat terbuka?

Jika terjadi sebuah perdebatan terbuka antara para capres itu, Mbak M mungkin yang akan paling “menderita” nantinya. Sebaliknya akan sangat menarik melihat bagaimana SBY “beradu mulut” dengan JK. Bukankah selama ini mereka sejatinya memang saling berseteru? Mereka saling klaim “paling jago” dan “paling berjasa”, maka dari pada hanya berbalas sindir dari kejauhan, bukankah lebih elok apabila mereka dipertemukan saja di atas sebuah panggung terbuka.

Bagaimana dengan para cawapres? Saya kira akan terjadi “pertarungan hidup mati” antara Mas Bowo melawan Boediono. Yang disebut pertama, dengan semangat tarung seorang prajurit para komando tulen, akan berusaha “menguliti” si “anak sekolahan” Boediono. Ya, tentu saja mereka akan bertarung antara lain di seputar keberadaan mahluk ajaib yang disebut “neolib” dan “ekonomi kerakyatan”.

Entah mengapa saya tak teramat yakin “si anak sekolah” akan bisa menjinakkan kebringasan Mas Bowo, yang pasti sudah bersiap dengan segepok “bukti kebohongan” dari apa yang disebutnya “rejim neolib”. Bukan karena kurang dalam ilmunya, hanya saja saya meragukan kepintarannya beradu kata. (Saya beranda-andai, mungkin seorang Sri Mulyani akan lebih cocok “meladeni” Mas Bowo).

Di mana posisi Wiranto dalam debat ini? Wiranto rasanya cukup tahu diri bahwa ia tak ungkulan melawan dua pesaingnya, maka ia akan mencoba mencari posisi aman. Ia akan cenderung “duduk manis” sementara Mas Bowo dan Boediono “berdarah-darah”, dan baru akan berusaha “masuk menggebuk” apabila terbuka peluang. Ya, ia bakal memainkan strategi “hit and run”, atau “petak umpet”—sebagaimana memang begitu ia selama ini kita kenal?

Tapi mungkinkah sebuah debat terbuka seperti dibayangkan di atas bakal terjadi? Saya tak yakin. Sebab kita, atau lebih tepat, para calon pemimpin itu belum mempunyai cukup kearifan (dan keberanian) untuk mengakui kekalahan dan kemenangan pihak lain seandainya mereka kalah dalam debat itu. Kekalahan capres (atau cawapres) tertentu sangat bisa jadi akan dipahami sebagai sebuah “penistaan” yang harus “dilunasi”. Repot. Kemampuan berdemokrasi kita memang baru sampai di situ.

Maka demi kemaslahatan orang ramai, debat terbuka seperti dibayangkan di atas, pastilah belum bakal terjadi pada pemilu kali ini. KPU dan pihak lain yang berotoritas akan mengawal “debat” itu menjadi hanya sebuah “silahturami” yang resmi dan sekaligus hambar. Sekali lagi ini demi kemaslahatan orang banyak. Harap maklum.

(Artikel ini saya rampungkan tadi siang. Malam ini saya nonton acara “debat capres” di layar kaca, dan saya kira yang terjadi tadi memang bukan sebuah perdebatan).

17 June 2009

Menghitung Peluang Mas Bowo

Jika pertanyaan seputar “peluang Mas Bowo dalam Pilpres” ini diajukan setengah tahun yang lalu, kita akan dengan gampang menjawabnya. Peluangnya bahkan mungkin terhitung yang paling “kecil” dibanding calon-calon presiden lainnya ketika itu. Tapi hanya dalam hitungan bulan saja, Mas Bowo membuat situasinya jadi berubah.

Mas Bowo membuktikan bahwa ia cukup pintar “berjualan”. Iklan-iklan politiknya sejauh ini dianggap yang paling “menjual”. Dibandingkan dengan iklan pesaingnya, iklan-iklan Mas Bowo memang beda : tampak “cerdas” dan “menggoda”. Selain jualan citra lewat iklan, ia pun sukses menggalang konsolidasi ke dalam.

Ia, misalnya kita tahu, sudah lama berkiprah di organisasi-organisasi “grass root” seperti himpunan tani, nelayan, pedagang tradisional dan sejenisnya. Artinya Mas Bowo punya jaringan luas (dan mungkin solid) juga ke lapis bawah. Singkat kata, ia telah berhasil meyakinkan lawan-lawannya bahwa ia calon yang kudu diperhitungkan serius. Dan hasil kerja kerasnya memang langsung teruji dalam Pemilu legislatif yang lalu : barang jualannya nerobos masuk “Top 10 Sales”.

Hanya saja ia mesti mengoreksi ambisinya (sementara ?) menjadi hanya “orang kedua” saja, sebab hasil kongko politiknya dengan Mbak M mentoknya ya di situ. Mbak M sendiri tadinya sudah dianggap calon “pasti kalah” (begitulah hasil jajak pendapat sejauh ini), tapi “perkawinan politik”nya dengan Mas Bowo (yang “smart” dan ide-idenya “menggugah” itu), menjadikan situasinya berubah. Mas Bowo berhasil mendongkrak nilai jual Mbak M.

Jika ada hal yang dianggap bisa menjegal laju keduanya, maka itu adalah urusan lama yang selama ini menjerat Mas Bowo--itulah urusan pelanggaran HAM, termasuk di dalamnya juga desas-desus yang menyangkutkannya dengan Tragedi Mei 1998, yang sampai kini masih penuh asap dan kalibut.

Saya tanyakan hal ini kepada seorang kawan. Kata kawan saya, soal masa lalu Mas Bowo (yang konon “kelam” ) itu hanya diketahui terbatas oleh masyarakat perkotaan, mungkin malah hanya oleh sebagian penduduk Jakarta saja.. Mayoritas pemilih lain sepertinya tak tahu, atau kalau pun tahu kayaknya tak begitu ambil pusing dengan masalah ini. Jangan lupa juga, kata sang kawan, orang Indonesia punya bakat hebat dalam urusan melupakan (dan memaafkan) dosa-dosa masa lampau.

Tapi ada satu hal yang harus juga dimasukkan sebagai variabel jika kita mau menghitung lebih cermat peluang Mas Bowo. Jika bagi sebagian pemilih performa Mas Bowo dianggap sangat “menjanjikan”, maka bagi pemilih yang lain mungkin saja gaya “kampanye galak” yang ditampilkannya membuat mereka “ngeri” untuk memilihnya.

Kelompok pemilih “konservatif” ini akan cenderung merapatkan barisan dan malahan mendekat kepada calon lain yang penampilannya lebih “ramah”. (Apalagi Mbak M, pasangannya, dan ini variabel penting lain yang tidak bisa dilewatkan, bukankah dulu sudah pernah “dicoba”, tanya mereka, tapi hasilnya tidak bagus?).

Jadi, seberapa besarkah sebetulnya peluang Mas Bowo (dan Mbak M)? Silakan anda kalkulasi sendiri.

15 June 2009

David Carradine, Pendekar yang "Filosof"

Aktor David Carradine, yang ditemukan meninggal di sebuah kamar hotel di Bangkok Thailand dua pekan lalu, adalah sosok yang secara tidak langsung ikut berperan dalam suksesnya aktor kungfu legendaris Bruce Lee. Konon kabarnya mendiang Bruce Lee sangat mendambakan peran tokoh Kwai Chang Caine dalam film serial TV Kung Fu, yang dirilis di awal 1970-an. Tapi sebagaimana kita tahu peranan itu jatuh ke tangan David .

Kejadian itulah kabarnya yang memicu dan mendorong Bruce Lee untuk akhirnya hengkang dan mengadu nasib di Hongkong. Di sana ia berkolaborasi dengan Raymond Chow, juragan studio film Golden Harvest. Dari kolaborasi itulah kemudian lahir film The Big Bos yang dalam sekejab pan mata saja berhasil menggoyang jagat perfilman laga Asia. Cerita selanjutnya, kita tahu, adalah sejarah.

Sebelum Kung Fu, David Carradine telah datang pada saya lewat sebuah film cowboy TV, Shane. Itulah film cowboy yang menurut saya rada ganjil. Berbeda dengan tokoh cowboy pada umumnya, yang lebih mendahulukan aksi-aksi cepat dan lugas, sosok cowboy Shane yang dihantarkan David Carradine tampil dengan gaya yang kelihatan “lemes”, banyak merenungnya, dan setempo terlihat juga ragu-ragu.

Namun ternyata gaya “klamar-klemer” itu kelak menjadi “merk dagang” yang terus dijaganya. Dalam Kung Fu, tokoh Kwai Chang Caine juga tidak hadir sebagai sosok pendekar yang berangasan dan gemar main kepruk lawan pada kesempatan pertama. Sebaliknya ia adalah figur yang, seperti Shane, lebih sering berpikir filosofis, ketimbang mendahulukan pertimbangan dan aksi fisik.

Tak bisa tidak, David Carradine adalah sebuah ikon film (laga) yang penting. Ia punya “style” sendiri yang tak tersamai bintang lain--meskipun belum bisa disejajarkan dengan ikon-ikon besar Hollywood seperti Marlon Brando, Jack Nicholson, Al Pacino. Juga namanya masih kalah bersinar kalau dibanding dengan “pecundang”nya, mendiang Bruce Lee yang dikalahkannya dalam seleksi film Kung Fu.

Kini kedua “seteru” itu sama telah tiada. Aneh tapi nyata, seperti Bruce Lee dulu, kini kematian David Carradine pun mewariskan teka-teki kepada penggemar-penggemarnya.

06 May 2009

Pidato Steve Jobs (tiga-selesai)


Cerita Ketiga : Stay Hungry, Stay Foolish.

Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: “Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar.” Ungkapan itu membekas dalam diri saya, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah. Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu-semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal-tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya, yang merupakan sinyal dokter agar saya bersiap mati. Artinya, Anda harus menyampaikan kepada anak Anda dalam beberapa menit segala hal yang Anda rencanakan dalam sepuluh tahun mendatang. Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar mudah bagi keluarga Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal.

Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis tersebut. Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Saya dioperasi dan sehat sampai sekarang.

Itu adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus begitu hingga beberapa dekade lagi. Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan yakin kepada Anda bahwa menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna: Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun, kematian pasti menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu. Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma-yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomor dua.

Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama “The Whole Earth Catalog”, yang menjadi salah satu buku pintar generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park, dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Waktu itu akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Mungkin seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya padat dengan tips-tips ideal dan ungkapan-ungkapan hebat.

Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi “The Whole Earth Catalog”, dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka membuat edisi terakhir. Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang. Di bawahnya ada kata-kata: “Stay Hungry. Stay Foolish.” (Jangan Pernah Puas. Selalu Merasa Bodoh). Itulah pesan perpisahan yang dibubuhi tanda tangan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Saya selalu mengharapkan diri saya begitu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru, saya harapkan Anda juga begitu. Stay Hungry. Stay Foolish.

04 May 2009

Pidato Steve Jobs (dua)

Cerita Kedua : Cinta dan Kehilangan

Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz dan saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami-Macintosh- satu tahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat.

Bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? Yah, itulah yang terjadi. Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Dalam satu tahun pertama, semua berjalan lancar. Namun, kemudian muncul perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami sulit disatukan. Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di usia 30 saya tertendang. Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi fokus sepanjang masa dewasa saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan.

Dalam beberapa bulan kemudian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa telah mengecewakan banyak wirausahawan generasi sebelumnya -saya gagal mengambil kesempatan. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan meminta maaf atas keterpurukan saya. Saya menjadi tokoh publik yang gagal, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley. Namun, sedikit demi sedikit semangat timbul kembali- saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal.

Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula, segala sesuatunya lebih tidak jelas. Hal itu mengantarkan saya pada periode paling kreatif dalam hidup saya. Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, lalu Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan film animasi komputer pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Melalui rangkaian peristiwa yang menakjubkan, Apple membeli NeXT, dan saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa.

Saya yakin takdir di atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Kadangkala kehidupan menimpakan batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan kepercayaan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun pasangan hidup Anda. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya dapat diraih dengan mengerjakan sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai. Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya, semakin lama-semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari sampai ketemu. Jangan berhenti (Bersambung).

Pidato Steve Jobs (satu)

Pengantar

Pidato Steve Jobs ini diucapkan pada acara wisuda Standord University, 12 Juni 2005. Meski sudah “lama” berlalu, pidato ini ternyata masih sering dibaca dan didengarkan orang. Di Youtube videonya bahkan sudah diakses hampir 2 juta kali. Bagi saya pidato Steve Jobs ini memang inspiratif. Karena lumayan panjang, saya memenggalnya dalam tiga kali pemuatan. Semoga bermanfaat.

Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai kuliah. Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak perlu banyak. Cukup tiga.

Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-titik

Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus kuliah. Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena “kecelakaan” dan memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi. Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran karena ingin bayi perempuan. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: “kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka menjawab: “Tentu saja.” Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.

Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan orang tua saya- yang hanya pegawai rendahan-habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai. Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga.

Saya beri Anda satu contoh: Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan. Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu. Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah.

Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang. Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup, karma Anda, atau istilah apa pun lainnya. Pendekatan ini efektif dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya. (Bersambung)

10 February 2009

"Kejahatan" Google

MUNGKIN tidak adil apabila ini hanya ditimpakan pada Google sendirian. Kalau mau fair ini adalah “dosa” dan “kejahatan” semua search engine. Tapi karena fakta di lapangan saat ini membuktikan bahwa 60 persen perselancar di dunia maya memang “berkerumun” di Google, cukup layak kiranya untuk memberi judul artikel ini dengan membawa nama search engine besar itu.

Google dalam kerjanya sebagai mesin pencari menerapkan aturan mainnya sendiri. Seperti apa persisnya aturan itu hanya pihak Google yang paham. Mereka menyeleksi dengan ketat kapan sebuah situs, misalnya, sudah boleh nongol (atau belum) tatkala seseorang mengetikkan kata kunci tertentu di kotak carinya. Sebuah situs yang masih bayi, seberapa pun keren (dan penting isiya), tidak akan gampang-gampang mejeng di Google.

Situs-situs itu harus melewati dulu “masa pembinaan”. Tapi model “pembinaan”nya seperti apa, dan berapa lama “pembinaan” itu berlangsung—sekali lagi—hanya Google sendiri yang tahu. Bukan tidak mungkin, sebuah situs dinyatakan “tidak lulus” dalam masa pembinaan itu. Dan atas dasar alasan apa Google “membunuh” sebuah situs juga hanya mereka sendiri yang tahu.

Susahnya menembus gerbang seleksi Google itu kemudian memunculkan peluang bisnis baru. Sejumlah orang yang mengklaim “mengerti” apa yang diinginkan sang mesin pencari, telah mengembang-biakkan dagangan laris yang disebut Search Engine Optimazation atawa sering disingkat SEO. Namanya juga dagangan, tentu saja untuk bisa memetik ilmu SEO itu ada bayarannya, dan sering tidak murah juga. Sedang yang dijajakan gratis di internet (atau buku-buku) asal tahu saja cuma “kulit-kulit”nya doang.

Dengan mempraktekkan jurus-jurus SEO yang canggih sebuah situs diyakini akan lebih cepat muncul di jagat maya. Kenyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa memang “money (not content) is the king”. Sebaliknya situs-situs yang tidak patuh pada aturan SEO yang benar, meskipun sebetulnya membawa muatan pesan penting dan bernilai, harus sabar menanti berbulan-bulan, sebelum akhirnya hadir di jagat maya—itu pun kalau hoki dinyatakan “lulus”. (Situs gratis ini, umpamanya, telah dibuat dengan tidak mematuhi aturan SEO yang benar—maka page ranknya susah sekali naik).

Ironisnya lagi, pada saat situs itu sudah boleh tampil, mungkin urgensi muatannya sudah ketinggalan zaman dan menjadi tidak penting lagi. Begitulah, karena uang semua yang “tak patuh” pada aturan SEO harus mengalah. Dan itulah yang saya maksudkan ketika saya menyebut “kejahatan” dan “dosa” Google. Ada andil Google pada terbentuknya iklim kompetisi yang tidak fair itu—disengaja atau tidak.

23 January 2009

Organda Tantang Pemerintah

HARI-HARI ini sedang terjadi semacam “perang kecil” antara Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) versus Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perhubungan. Tentu saja itu dalam kaitan dengan urusan ongkos transportasi angkutan dalam kota (yang luar kota sepertinya sudah bisa didamaikan). Pemicu awalnya adalah turunnya harga bensin beberapa waktu yang lalu menjadi kembali ke harga 4.500 per liter.

Kosumen (diwakili YLKI) dan didukung Pemerintah (Menteri Keuangan & Perhubungan) menuntut supaya pihak Organda bersikap adil dengan menurunkan juga tarif angkutan kota dengan jumlah yang signifikan. Jumlah yang dituntut adalah sebesar 500 rupiah. Ini adalah jumlah yang diyakini akan memberi stimulus bagi kemampuan belanja khalayak. Namun Organda rupanya berat mengabulkan tuntutan itu. Untuk berkelit lalu mereka menunculkan formula turun 200 maksimum 300 rupiah.

Mereka paham sekali apabila formula ajaib ini disetujui, dalam prakteknya nanti penurunan itu akan sulit diterapkan. Formula itu akan memudahkan para sopir dan kondektur berdalih “tidak ada uang kecil untuk kembalian", sehingga akhirnya penumpang akan dipaksa “mengalah” dan ujung-ujungnya menjadi terbiasa tetap membayar dengan kondisi tarif yang saat ini berlaku.

Banyak alasan diajukan pihak Organda. Misalnya mereka selalu menyebut mahalnya harga onderdil (yang tidak ikut turun) sebagai alasan utama keberatan mereka. Menurut mereka harga bensin juga hanya menyumbang “kecil” saja dalam hitung-hitungan cost. Jadi, dalam logika orang-orang “pandai” di Organda, turunnya harga bensin sampai 1.500 rupiah (25%) belum lama ini rupanya “tidak berarti banyak”.

Perseteruan itu kini memasuki babak baru setelah DPRD ternyata juga setuju pada tuntutan turun 500 rupiah. Kalau Fauzi Bowo selalu pimpinan kota (DKI) juga mengamini putusan DPRD (dan Foke sudah memberi sinyal ke arah itu) praktis Organda akan menjadi sendirian dan terpojok—dan secara logika hukum ketatanegraan mustinya mereka buru-buru “bertobat” dan mengaku kalah.

Tapi alih-alih mengaku keok, Organda justru berbalik mengancam akan memobilisasi pemogokan angkutan kota apabila penurunan tarif dengan jumlah 500 rupiah itu disetujui gubernur (Koran Tempo, 23 Januari 2009). Ini aneh, padahal para sopir angkotnya saja sudah bersedia menurunkan ongkos, dan bahkan mereka bilang penurunan itu masih menutup uang setoran, seperti dilansir Detik.com di sini.

Bagi saya sangat menarik menanti hasil akhir dari “perang kecil” ini. Jika berhadapan dengan “semut nakal” macam Organda saja sampai kalah gertak, bagaimana kita lalu musti menilai kewibawaan pemerintah ini?

16 January 2009

Dua Tukul, Dua Peruntungan

TUKUL yang pertama tentu saja Wiji Thukul--penyair yang raib tak tentu rimbanya sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Tak ada yang tahu nasib apa yang sebetulnya menimpanya. Santer diwartakan bahwa ia “dilenyapkan” oleh penguasa dari rejim yang lampau. Tapi kapan persisnya, bagaimana ia “dihabisi”, dan di mana jasadnya dibenamkan—andai benar semiris itu lakonnya--tak ada yang paham. Ada spekulasi ia sebetulnya masih hidup dan sengaja menyembunyikan diri, tapi kabar ini pun tak sulit dikonfirmasi.

Tukul yang satunya masih sehat afiat dan banyak ketawa. Ia memang pernah juga “raib” belum lama ini, tapi hanya sebulan saja, gara-gara kebablasan menyuruh orang makan kodok mentah. Tukul Arwana, yaitu Tukul yang kedua ini, selalu tampil necis dengan jas dan dasi plus komputer jinjing—simbol-simbol yang dianggap mewakili citra “hidup mapan” dan “terpelajar”. Aksesoris penting lain yang selalu “ditentengnya” adalah beberapa orang perempuan cantik.

Dunia Tukul yang pertama adalah dunia yang “muram, sunyi dan keras”. Sedemikian sunyi dan kerasnya hingga untuk menyiasatinya hanya tersedia satu cara, “hanya ada satu kata”, kata Tukul yang pertama, yaitu : “lawan!” Tapi perlawanan itu pun kita tahu sia-sia.

Sebaliknya hidup dalam dunia Tukul Arwana terlihat nyaman, aman, dan siapa tahu juga mudah. Sebuah dunia yang dipenuhi seloroh dan gelak tawa. Di dunia Tukul yang kedua berpikir kelewat serius seakan tabu. Daripada stres berkerut jidat, mari kita tertawa ria melupakan karut-marut kehidupan. Tak ada yang musti “dilabrak!”, tak ada yang kudu diperangi dengan tanda seru. Semua bisa didamaikan, hidup bisa diselorohka, bukan?.

Dan kalau masih ada yang nekat juga “melawan”, maka Tukul yang kedua akan buru-buru mengingatkan supaya kita “kembali ke laptop”, artinya kembali kepada hidup yang “aman” dan “nyaman”, yang ramai oleh seloroh itu.

Jadi begitulah, dua Tukul itu telah menjalani pilihan nasibnya dan menerima ganjaran yang jadi jatah masing-masing pula. Pilihan yang satu berujung pada ending yang muram dan tragis, sedang pilihan satunya lagi bergulir menjadi hidup yang nyaman dan aman. Tapi sungguhkah lakon mereka (khususnya untuk Tukul yang kedua) sudah “tamat” sepenuhnya, tentu hanya waktu yang berhak menjawabnya.

01 January 2009

Petuah Tahun Baru, Mungkin

SEORANG lelaki pada suatu hari menemukan sebutir telur burung rajawali dan dia meletakkan telur itu bersama dengan telur-telur ayam di sarang seekor induk ayam peliharaan yang sedang mengeram. Telur itu menetas bersama telur ayam yang lain, dan anak burung itu tumbuh bersama anak anak ayam diasuh oleh induk ayam itu.

Selama hidupnya burung rajawali itu bertingkah laku sama seperti ayam, dan mengangap dirinya ayam peliharaan. Dia mengais tanah untuk mencari cacing dan serangga. Dia berkotek dan berkokok. Dia akan mengepakkan sayapnya dan terbang beberapa meter di udara.

Tahun berlalu dan burung rajawali itu menjadi tua. Suatu hari dia melihat seekor burung yang sangat gagah terbang di angkasa yang tak berawan. Burung itu melayang dengan anggun dan berwibawa dalam hembusan angin yang kuat, dia hanya membentangkan sayapnya dan jarang sekali menggerakkan sayapnya itu.

Rajawali tua itu terpesona memandang ke atas “Siapakah itu?”, tanyanya.

“Itu adalah burung rajawali, raja dari segala burung,” kata ayam yang ada di dekatnya. “ Dia penghuni langit, dan kita penghuni bumi, kita adalah ayam.” Demikianlah rajawali itu hidup terus dan mati sebagai seekor ayam, karena begitulah anggapannya tentang dirinya.

(Dipetik dari buku “Awareness” Antony de Mello, Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...