29 November 2007

Faces of Death

KEMATIAN terasa bagaikan dongeng, tak nyata, sepertinya tak betul-betul ada. Seperti membaca kabar di halaman koran, jauh dan setempo terasa meragukan. Atau paling banter seperti ketika mendengar tetangga bicara si anu suaminya si itu meninggal kemarin sore ketabrak bis. Itulah yang saya rasakan tentang kematian sampai umur 20—sampai sesuatu kemudian mengubah segalanya.

Ketika kanker ganas menggerogoti tubuh ringkih ayah saya hampir 30 tahun yang lalu, ketika dokter bahkan sudah angkat tangan, ketika tanda-tanda ke arah “keberangkatan” itu menjadi semakin jelas, tetap saja kematian tak mengusik saya. Maut hanya kabar yang saya baca di koran, atau saya tonton di televisi, atau saya dengar dari mulut tetangga sambil lalu—tapi bukan kejadian nyata di rumah saya. Memang, belum pernah ada seorang yang meninggal di rumah kami hingga saat itu.

Maka ketika hari itu pun tiba, saya baru tahu apa artinya kematian. Ketika jasad kaku dan dingin ayah saya digotong beramai ke dipan di ruang depan, saya sempat memandang wajahnya, dan pada momen itu saya teringat kalimat seorang tokoh dalam novel Yukio Mishima, Kuil Kencana. Wajah si mati adalah sebuah liang, tapi tanpa dasar—tak ada warta apa pun yang bisa kita dengar dari kedalaman tak terukur itu.

Ada orang yang suka mengibaratkan kematian dengan sebuah tidur yang panjang, tapi kalau kita sempat menyaksikan dari dekat wajah kosong si mati, kita akan tahu betapa bedanya tidur dan mati.

Jarak dan kekekalan—barangkali itulah hakikat kematian. Jarak, karena dari sejak saat itu antara saya dan si mati membentang jurang yang begitu mutlak, yang tak bisa tersebrangi dengan apa pun. Kekekalan, karena sejak saat itu si mati pun menjadi tetap, kekal, abadi, tak terhapuskan dalam kenangan orang-orang yang pernah bersamanya—tak siapa pun atau apa pun bisa mengubahnya kini. Kecuali waktu.

26 November 2007

Pertobatan dan Kisah Gito Rollies

PERTOBATAN adalah sebuah peristiwa personal, dan momennya biasanya spesial pula. Di sana boleh saja ada semacam seremoni yang menyertai : sejumlah umat yang diminta menjadi saksi, dan petinggi agama yang bertugas “mengesahkan” pertobatan itu. Tapi seremoni itu hakikatnya hanya sebuah pelengkap liturgis yang sebetulnya bukanlah esensi dari peristiwa pertobatan itu sendiri.

Hal lain yang menandai sebuah pertobatan adalah bahwa ia datang dalam kesukarelaan. Memang ada faktor eksternal yang ikut bermain. Mungkin teman dekat, pasangan hidup, atau bisa saja seorang musuh pribadi—memainkan peran awal yang menentukan. Tapi pertobatan itu sendiri kemudian lahir dengan, atau, dalam sebuah kondisi takluk yang sukarela, serta diliputi syukur. Bukanlah pertobatan namanya kalau itu berlangsung dalam situasi penuh ketakutan, dan paksaan.

Atau jika pasal “takut” mau juga disertakan, maka “takut” di sini tentulah bukan jenis takut karena adanya ancaman beringas dari massa yang mayoritas dan, karenanya jadi suka mentang-mentang.

Bangun Sugito alias Gito Rollies punya kisah menarik seputar riwayat pertobaannya. Lama sebelum ia sungguh bertobat ia mengaku suka diusik sebuah pertanyaan “remeh”. Ia, akunya, sering heran melihat orang-orang yang berangkat ke masjid. Orang-orang itu tampak damai, mungkin juga bahagia pikirnya, melangkah berombongan, atau sendiri-sendiri, dalam diam, atau dengan senda gurau. Tapi wajah mereka, wajah mereka, katanya, mengapa nian begitu damai.

Ada apa dengan mereka, apa gerangan yang mereka temukan di masjid—begitulah sang rocker bertanya-tanya, heran, barangkali takjub.Dan itulah benih awal pertobatan sejati. Perhatikan bahwa tak ada siapa pun yang menyuruh apalagi menakut-nakutinya untuk merasa heran dan takjub. Tapi jika begitu, lantas darimana muasalnya rasa heran dan takjub itu?

Maka kita sampai pada poin terpenting dalam diskusi kecil ini. Ketika seseorang bertobat, sebetulnya yang terjadi bukanlah karena dia “berhasil” menemukan Tuhan, tetapi yang benar, Tuhanlah yang berkenan menemuiya. Tapi ini memang bukan perkara yang bisa dengan gampang diterang-jelaskan. Sebab pertobatan, seperti sudah disinggung di awal sekali, adalah sebuah peristiwa yang memang sangat sekali personal, dan spesial.

Dan karenanya ia menjadi sebuah momen yang meta-bahasa, sebuah momen di mana bahasa manusia tak bisa lagi terlalu jauh ikut campur. Dan memang, sesungguhnya di sana, pada momen itu, tiada diperlukan lagi kata-kata, dan bahasa. Seperti puisi sejati ditemukan dalam diam, dalam keheningan maha luas dan dalam—begitupun ibadah yang sebenar-benarnya.

23 November 2007

Ranking Blog

APAKAH anda peduli pada ranking blog anda, khususnya ranking versi paman Google? Kalau saya, jujur saja sangat peduli. Google Page Rank (PR) bagi saya adalah salah satu indikator seberapa dikenalnya blog kita. Ranking blog ini sejak dua bulan terakhir naik dari nol menjadi dua. Tentu saya pun paham, nilai 2 itu bukan apa-apa, masih “belum kelihatan”, belum mapan. Tapi bagaimanapun 2 lebih baik dari 0, dan saya cukup merasa terhibur dengan kenaikan ini.

Saya selalu menasehati diri sendiri supaya terus rajin mengupdate. Meskipun pengunjung ke halaman ruang samping ini sungguh jarang,teruslah ngeblog, kata saya kepada diri sendiri. Ya, teruslah ngeblog, setidaknya demi search engine—yang diam-diam tanpa setahumu, setia menyambangi blogmu.

Tentu saja orang boleh berbeda pendapat soal urgensi PR blog ini. Blogger senior Budi Raharjo menulis dalam salah satu artikel di blognya begini :“I am writing this blog not to get ranks, but to contribute (something) to the readers. I know I have been busy writing my opinion (more like rants - ha ha ha) elsewhere”.

Ya, itulah salah satu beda saya dan beliau. Yang satu masih blogger bau kencur, jadi masih butuh banyak support guna menambah semangat, sedang satunya sudah blogger kawakan. Sudah eksis, dan tidak perlu merasa risau lagi dengan urusan ranking blog dan pengakuan.

21 November 2007

Kampanye (Sangat) kepagian Megawati

SUNGGUH lucu manuver politik yang dilakukan mantan presiden Megawati beberapa waktu terakhir ini. Apa yang dilakukannya jelas sebuah kampanye yang dilakukan kepagian, sangat kepagian bahkan—meskipun tentu saja ia mati-matian membantahnya. Katanya, ia tak perlu kampanye, karena namanya sudah terkenal. Mungkin maksudnya sudah terkenal sebagai presiden yang tidak berhasil. Bantahan itu saja sudah sebuah kelucuan.

Yang lebih lucu lagi adalah apa yang dikampanyekannya. Ia misalnya menyindir para pemilih perempuan yang pada 2004 tidak memilihnya, tapi malah memilih calon presiden yang lain semata karena si calon lain ini ganteng. Katanya, laki-laki itu tidak becus mengurus harga, makanya sekarang segala macam barang pada naik harganya. Ia pun berkilah bahwa pada Pemilu 2004 itu sebetulnya ia tidak kalah, melainkan hanya kurang mendapat suara.

Puncak kelucuan adalah ketika ia dengan tidak malu-malu lagi meminta supaya mereka yang pada 2004 tidak memilihnya, nanti pada 2009 mbok apa salahnya memilihnya menjadi presiden lagi. Dengan manuver terakhirnya ini Megawati hanya berhasil membuktikan bahwa ia sungguh seorang politisi yang tidak peka, yang luput membaca apa isi hati publik terhadapnya. Ia kelewat meremehkan intelegensi rakyat yang sejak 1999 sudah banyak belajar dari kebobrokan politisi di sini.

Memang tidak mudah menjadi anak Bung Karno. Sang bapak kelewat besar, hingga bayang-bayangnya pun jadi begitu berat bagi anak-anaknya.

19 November 2007

Pil Masa Depan

SUASANA hati—perasaan gembira, mungkin separuh gembira, atau gembira banget, dan sebaliknya perasaan bete dengan banyak tingkatan variasinya—sudah terbukti bisa diciptakan. Itulah kiranya salah satu “sumbangan positif” obat-obatan yang kini suka disebut haram : pil koplo, ganja, kokain, sabu, dan “teman-teman”nya..

Memang rekayasa suasana hati itu masih jauh dari sempurna. Waktu kerja obat-obat itu terbatas—hanya beberapa jam—dan yang paling berabe, obat-obatan itu punya sifat adiktif yang luar biasa merusak, yang akan membuat dosisnya menjadi terus bertambah, dan itu suatu saat bakal menyebabkan si pemakainya knock out..

Saya tengah membayangkan, mungkin beberapa puluh atau ratus tahun lagi, manusia sudah menjadi jauh lebih pintar, dan urusan rekayasa suasana hati bukan lagi masalah yang merepotkan. Saat itu sudah tersedia bermacam-macam pil untuk bermacam suasana hati yang diinginkan—dengan tingkat efek samping yang sudah bisa ditekan menjadi nol persen.

Misalnya, ada pil senang, pil setengah senang. Ada juga pil sedih, dengan banyak variasi kesedihan, dari yang paling enteng sampai gawat. Dan manusia saat itu mengkonsumsinya seperti hari ini kita mengkonsumsi nasi dan lauknya. Jadi tidak ada lagi keberatan moral apalagi medis. Satuan tugas anti narkoba di kepolisian pun sudah dibubarkan. Dan organisasi sangar semisal FPI, MUI, yang suka main larang itu, tidak lagi diperlukan.

Kelompok profesi lain yang mungkin juga tergusur karena tak laku lagi adalah para psikolog dan psikiater. Buat apa? Toh semua urusan yang bersumber dari keruwetan pikir dan rasa sudah bisa dijinakkan. Mungkin para rohaniwan—pastor, pendeta, ustad, biksu—jangan-jangan juga tak diperlukan lagi saat itu. Orang sudah pada berhenti berdoa, kitab suci tak dibaca lagi, dan tempat-tempat ibadah sudah pula ditutup—atau beralih fungsi.

Dan Tuhan, seperti kata sebuah sajak Carl Sandburg, akan tambah kesepian.

16 November 2007

Jalan Sabu Roy Marten

NARKOBA dan dunia selebritis adalah dua hal yang tak terpisahkan—itu sudah menjadi rahasia umum. Maka tak perlulah kaget kalau Roy Marten ketangkep lagi gara-gara urusan yang sama. Aktor ganteng ini berdalih bahwa ia mengkonsumsi sabu untuk menggenjot tenaganya. Dunia film menuntut kesiapan stamina yang prima, sedang ia sudah merasa reyot dan tak muda lagi.

Alasan untuk memperoleh stimulans guna menjaga performa prima itu mungkin menjadi dalih pembenar bagi banyak pengguna narkoba lainnya. Di zaman yang katanya edan ini, di mana tingkat persaingan berlangsung gila-gilaan—sehingga tingkat stres dan ketegangan hidup juga menjadi meningkat tinggi--praktik doping dengan segala bentuk dan variasinya menjadi hal yang umum dilakukan.

Saya bahkan berani taruhan bahwa pemakaian narkoba sebagai doping bukan hanya monopoli artis dan seniman—politikus, pejabat, pengusaha, dan banyak anggota masyarakat lainnya juga ikut meramaikan. Bukankah narkoba sudah lama menerjang masuk ke balik tembok sekolah? Dan lebih absurd lagi malah sudah ada juga polisi yang ketangkep tangan sedang nyabu.

Karena begitu biasanya gaya hidup bernarkoba ria di kalangan artis, maka teman-teman dan kerabat dekat yang membesuk Roy Marten tidak akan bilang “Kenapa sih lu masih make juga? Katanya udah tobat”. Bukan, bukan begitu. Teman-teman dekat Roy akan mengomelinya begini “Lu kok bego amat sih, bisa ketangkep sampe dua kali. Lihat dong gua nih”.

Tapi, betul begitu begokah Roy Marten? Kini berkembang setidaknya 2 teori lain di seputar kasusnya ini. Teori pertama mengatakan bahwa sang aktor terlibat dalam sindikat narkoba—jadi ia bukan lagi sekedar pemakai. Mungkin ia “digarap” sewaktu ngendon di bui dulu, atau malah sebelum itu ia sudah ikut main. Cukup masuk akal.

Teori kedua mengatakan bahwa Roy justru tengah “dimanfaatkan”—atau lebih persisnya sedang diajak kerja sama dengan polisi—untuk bisa masuk ke dalam jejaring sindikat narkoba yang bak hantu, ada tapi tak nyata itu. Jadi ia akan pura-pura ditangkap, dinterogasi, nantinya pura-pura diadili lantas masuk bui lagi. Ia tengah memerankan sosok pecundang—padahal sebetulnya ialah sang heronya.

Kelewat spekulatif? Berlebihan? Mengada-ada? Mungkin. Tapi namanya kan baru teori, jadi sah saja. Lagian katanya dunia ini cuma “panggung sandiwara”, jadi segala kemungkinan boleh-boleh saja, atau bisa-bisa saja terjadi.

13 November 2007

Dicari : Blog yang Tak Biasa

DALAM artikelnya mengomentari blognya Yusril Ihza Mahendra, Wicaksano menulis antara lain supaya Yusril sebaiknya tidak memilih menulis tema-tema yang “aman”, tema-tema yang biasa-biasa saja. Sebab, kata Wicaksono pula, “ranah blog sudah terlalu sesak oleh blog yang biasa-biasa saja. Nge-blog-lah dengan cara dan gaya yang berbeda — sesuatu yang unik dan khas”.

Membaca anjuran itu saya jadi teringat apa yang pernah dibilang Kiran Desai, novelis India pemenang Booker Prize. Sang novelis pernah bilang bahwa dalam menulis kita harus berani “ekstrem”.Mungkin yang dimaksudkannya dengan “ekstrem” kurang lebih sama dengan apa yang ditulis Wicaksono sebelumnya : menulis dengan gaya unik, orisinal, dan kalau mungkin belum pernah dilakukan penulis lain.

Tentu saja saya pribadi setuju dengan nasehat itu. Menulis yang “unik”, yang membedakan kita dengan penulis lainnya, menjadi impian setiap penulis sejati. Juga dalam perkara ngeblog, seorang blogger sejati mengidamkan bisa menjadi blogger yang tidak biasa-biasa saja.

Karena itu mulai sekarang,.marilah kita dengan cara kita masing-masing mencoba mengikuti apa yang disarankan Kiran Desai dan Wicaksono. Marilah kita belajar menjadi blogger yang berani “ekstrem”, tampil seunik bisa, barangkali boleh juga sedikit “gila”. Sesekali menggali tema-tema yang “liar”, nyerempet-nyerempet tabu, lalu menuliskannya juga dengan cara yang ekstrem dan boleh juga sedikit “edan”.

Kita harus melakukannya bung, sekali lagi “harus”, atau kita akan ditinggalkan. (Ah sok tahu lu …).

12 November 2007

100 Tahun Lagi ...

INI sebuah adegan klise dari sebuah film yang sudah saya lupa judulnya : cewek pelayan restoran itu menumpahkan kuah sayuran ke pangkuan seorang tamu yang sedang asyik santap. Dengan gelagapan, sang pelayan menghiba-hiba memohon maaf. Bosnya ikut-ikutan juga menyemprotnya. Dan mungkin karena kebetulan tamu itu “orang penting”, seorang pelanggan VIP di restoran itu, ia bukan hanya menyemprot, tapi bahkan memecatnya sekalian.

Sesudah ribut-ribut reda si cewek pergi ke pojokan, meratapi nasib apesnya. Seorang konco baiknya lalu mendatanginya dan menasihatinya begini :“Tentang kejadian tadi, begini saja, coba kau pikirlah dengan tenang, 100 tahun lagi siapa masih peduli semua itu. Ok!” Nasihat itu sederhana, simpel, tapi menurut saya bagus, dan manjur. Saya pun sering mempraktikannya saat merasa kepepet. Tidak susah kok, hanya mengatakan kepada diri sendiri “100 tahun lagi siapa masih peduli dengan ini”. Tapi lakukanlah dengan takzim dan sungguh-sungguh.

Jadi kalau anda saat ini, misalnya, tengah merencanakan sebuah kehebohan, katakanlah tindak korupsi gede-gedean, atau jenis kejahatan lainnya, dan anda diusik ragu, segera katakan pada diri anda (dengan takzim tentu), “Lakukan saja, 100 tahun lagi siapa sih masih peduli soal ini”. Percayalah, bahkan tak usah menunggu 100 tahun, selewatnya 5 atau 10 tahun pun orang di sini sudah pada lupa bahwa anda pernah jadi bajingan.

Apalagi kalau anda sering nongol di televisi, memakai kopiah putih dan berbaju koko. Lantas rajin pula menyambangi dan menyumbangi tempat-tempat ibadah atau orang susah, membagi-bagi nasi bungkus sembari memamerkan senyum Yudas. Bangsa ini sungguh adalah bangsa yang pemurah, penuh dengan tenggang rasa dan toleran—sering toleran untuk hal-hal yang jelas-jelas ngawur. Begitu pemurahnya sampai kadang ketelingsut menjadi, maaf. murahan.

06 November 2007

Apakah Saya "Sesat"?

SUATU kali, menjelang musim haji, saya mendatangi seorang teman. Saya tanyakan kepadanya, apakah pada musim haji ini ia punya teman atau sanak yang akan pergi haji. Kalau ada, mohon titip dibelikan tasbih, tapi betul tasbih dari Arab—jangan beli di Tanah Abang lalu diaku sebagai bukinan Arab.

Teman saya yang muslim itu heran, buat apa saya yang nasrani memesan tasbih, dan kenapa pula mesti jauh-jauh memesannya ke tanah Arab. Atas keheranan itu saya hanya menjawab singkat. Saya memang menyukai benda-benda “rohani”, atau apa saja yang memiliki nuansa relijius. Tasbih, adalah salah satunya. Tapi kenapa mesti dari Arab? Ya, pasti bedalah menggenggam tasbih Arab dengan tasbih Tanah Abang, kata saya sembari nyengir.

Kabar saya memesan tasbih itu sampai ke kuping beberapa teman lain yang nasrani seperti saya. Karena mereka tahu saya seorang nasrani yang “lumayan serius” (cailah), mereka pada heran. Kenapa lu cari tasbih segala, apa tidak cukup itu rosario—begitulah mereka bertanya, separuh complain. Seorang teman yang agak bijak bilang ini bukan soal yang perlu diributkan. Tasbih sekadar sarana, yang penting kan doanya, ibadahnya.

Persis seperti itulah sikap saya. Meskipun saya seorang nasrani—yang insyallah “saleh”--bagi saya bukanlah tabu atau halangan untuk belajar dari khazanah relijius yang lain. Saya membaca sejumlah buku tasauf, juga Zen, sama bergairahnya dengan saya menjelajah Injil Yohanes atau Surat Ibrani, umpamanya.

Keluyuran ke luar “kampung sendiri” lalu masuk ke “kampung orang lain” itu, juga dilakoni oleh banyak peziarah batin. Anthony de Mello, seorang pastor Jesuit, misalnya, tak merasa canggung “mencuri” banyak hal dari Zen,.Hinduisme, di samping dari khazanah mistik Islam. Hasilnya? Alih-alih menjadi bingung, atau membingungkan, sang pastor malah bertumbuh menjadi sosok katolik panutan yang tangguh.

Kini saya telah punya seuntai tasbih. Bukan bikinan Arab, tapi asli buatan lokal. Saya membelinya di bis kota. Bahannya dari kayu stiki, kata penjualnya. Saya tak tahu apa itu kayu stiki, dan apa pula “kesaktiannya”. Konon tasbih Sunan Kalijaga terbikin dari bahan yang sama. Entahlah. Yang penting bagi saya tasbih itu terlihat bagus, angker, penuh wibawa, dan terasa mantap dalam genggaman. Karena itu saya membelinya—lagian harganya cuma 10 ribu..

Sering kalau malam-malam susah tidur, saya ambil tasbih itu. Seraya berbaring mulailah saya daraskan dzikir.Tentu saja dzikir menurut cara saya sendiri—dijamin tidak bakal bisa anda temukan dalam buku liturgi agama manapun. Lalu apakah yang saya lakukan ini salah, atau “sesat”, menyalahi akidah, syirik, musyrik? Ah, mana ada waktu saya mengurusi pertanyaan gawat itu. Yang begituan biar saja jadi lahannya MUI atau FPI. Saya tak berhubungan dengan mereka. Lagi pula dalam urusan dengan “beliau” setahu saya jasa “calo” tak diperlukan.

01 November 2007

Sebutan "Cina" Itu ...

PAGI itu saya kembali terjebak macet. Dalam mikrolet, selain saya ada beberapa penumpang lain. Di sebelah kiri saya seorang ibu berjilbab, sebelahnya seorang yang kini tak saya ingat lagi. Sebelah kanan saya, seingat saya seorang dengan tongkrongan mahasiswa, dan di depan saya seorang lelaki, usia mungkin 40-an, bertampang keras dan rada sangar.

Mikrolet terhenti lama di pertigaan itu. Laki-laki bertampang sangar itu mengambil hapenya, lalu menelpon entah siapa, mengabarkan bahwa dia kejebak macet. Ia menjelaskan bahwa posisinya saat itu ada di depan “Sekolah Nusantara”, begitulah ia menyebut nama universitas Bina Nusantara (Binus)—sebuah perguruan tinggi swasta ternama di ibu kota, yang mengkhususkan diri pada bidang teknologi informasi.

Kembali pada laki-laki 40-an sangar itu. Orang yang ditelponnya rupanya tidak bisa langsung “ngopi” apa yang disampaikannya, sehingga si sangar itu lantas merasa perlu mengeraskan suaranya di hape dan bilang begini “…ya, betul, saya masih ada di depan sekolah Cina itu!” Kaget saya mendengarnya. Saya lirik ibu berjilbab di sebelah saya ternyata tenang saja. Mungkin tak sempat mendengar, mungkin juga itu baginya bukan hal istimewa yang perlu dipusingkan.

Sekolah Binus setahu saya memang didominasi “siswa bermata sipit”, prosentasenya mungkin di atas bilangan 90. Tapi tentu saja bukan itu yang menarik perhatian saya. Omongan si lelaki sangar itulah yang membuat saya terganggu. Ia menyebut kata “cina” dengan intonasi yang mengisyaratkan adanya kebencian yang dalam kepada apa yang disebut “cina” itu.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa hubungan antara kelompok “sipit” yang minoritas di sini dengan rekannya yang mayoritas sawo matang itu tidak harmonis. Itu terjadi pada pelbagai level dan bidang kehidupan. Di permukaan kelihatannya mereka “akur”, tapi sebetulnya tidak begitu. Peristiwa Mei 1998, umpamanya, membuktikan betapa rapuhnya tali silaturahmi antar kedua kelompok ini. Tapi apa gerangan penyebab “dendam turunan” itu?

Para pakar sepakat bahwa itu adalah warisan politik kolonial yang dengan sengaja telah mengondisikan kedua kelompok itu dalam posisi “saling bermusuhan”. Dalam urutan “kasta” yang dibuat ketika itu, kelompok “sipit”—yang notabene adalah “tamu” di tanah Boemi Poetra--diletakkan pada level yang “lebih tinggi” dari rekannya yang “sawo matang”. Kondisi tidak seimbang inilah—menurut teori itu—yang menjadi akar penyebab timbulnya rasa benci kelompok “pri” kepada “non pri”, dan sebaliknya rasa superior dari yang “non pri” kepada yang “pri”.

Jadi itukah jawabannya? Mungkin untuk sebagian, untuk konteks sejarah lokal kita, ya. Tapi mungkin ada sebab lainnya, karena kalau kita tengok di Malaysia, misalnya, yang setahu saya tidak mengalami fase “pengkastaan” seperti di sini, perseteruan antar “melayu” dan “cina” ini juga terjadi, dan dalam tingkat kegawatan yang juga besar.

Mungkinkah penyebab utamanya adalah semata karena benturan dua model kultur yang saling tak klop? Antara budaya Melayu yang “alon-alon asal ke lakon”—yang oleh pihak “non pri” lalu ditafsirkan sebagai “kemalasan”—dan budaya “si mata sipit” yang konon “hemat dan tekun”—yang celakanya kemudian ditafsirkan oleh si “pri” sebagai sebentuk “keserakahan yang ekspansif”? Entahlah, gamang saya menyentuh soal yang peka dan muskil ini.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...