19 September 2007

Oh, Ternyata Dia Maling Juga ...

KALAU ada berita yang paling malas saya baca di koran, maka salah satunya adalah berita tentang korupsi. Sudah jadi klise yang diulang-ulang bahwa korupsi sudah menjadi “budaya” di sini. Artinya, perilaku “mengutil duit rakyat” ini sudah disepakati sebagai hal yang lumrah dan dianggap biasa sekali. Begitu gilanya “wabah” ini menjangkiti negeri, sampai kita pun agaknya diminta supaya tidak usah kaget atau ribut atas perilaku “korupsi berjamaah” ini.

Dan nyatanya saya memang tidak jadi kaget ketika hari-hari ini koran seperti tidak ada putusnya memberitakan kabar tentang mantan pejabat anu, atau politisi parpol A, yang tadinya dianggap “bersih” dan karenanya dijadikan “panutan” ternyata maling juga, sama sebangun seperti yang lain-lainnya. Begitu banyak nama yang terbukti “kotor” sampai kita pun mungkin jadi bertanya, “lalu siapa lagi tokoh yang masih boleh dipercaya”?

Padahal usaha pemerintah menangkapi para pengutil ini masih jauh dari maksimal. Yang dipilih untuk disikat baru kelompok maling kelas teri—dan yang penting secara politis sudah dihitung masak mereka tidak bakal bisa bikin “serangan balik” yang merepotkan. Jadi usaha itu masih dalam tingkatan “tebang pilih” dan “tebar pesona”, sehingga apa yang sekarang muncul di koran setiap hari sebetulnya hanya puncak dari gunung es yang sebetetulnya.

Saya teringat pada statemen Rendra tahun 1970-an. Ia bilang kalau Indonesia mau bebas korupsi, itu artinya seluruh pemerintahan harus diganti. Tentu saja omongan seperti itu tidak punya daya kejut lagi jika diletakkan dalam perspektif waktu hari ini. Yang menarik dari pernyataan itu memang bukanlah pesona retorisnya yang kini jadi melapuk, tetapi kenyataan bahwa Rendra sudah mengatakan apa yang agaknya memang “benar”—bahkan “benar” sampai hari ini.

Kita belum bisa seperti Cina, umpamanya, yang berani bertindak keras dan cepat dalam upaya menumpas korupsi. Kita, agaknya lebih suka mendahulukan “musyawarah” dan pendekatan “kekeluargaan”—bahkan juga dalam banyak urusan di luar korupsi. Seorang yang sudah terbukti jelas teroris dan pembunuh, umpamanya, masih bisa terus berlama-lama cengengesan dalam kamar selnya yang nyaman.

Kita memang bangsa yang penuh dengan rasa toleran, kekeluargaan, dan berbelas kasih pula. Kadang belas kasihan itu kita limpahkan untuk hal-hal yang jelas salah dan ngawur.Tapi, sudahlah.

(Image diambil dari media-ide-bajingloncat.com)

10 September 2007

Kalah dan Menang

JIKA hidup kita hanya berisikan hal-hal buruk, kekalahan demi kekalahan,maka pastilah sudah lama kita tamat, atau paling tidak, hidup dengan mental yang ringsek. Untunglah hidup setiap kita tidak seperti itu. Tapi jika hidup kita selalu berlangsung aman dan beres, pastilah sudah lama kita pun menjadi orang-orang dengan mental lembek. Dan mungkin, kita pun tak tahu lagi apa arti sebenarnya dari “kalah” dan “menang”.

Untunglah hidup memang tidak teranyam dengan komposisi tunggal begitu. Kekalahan dan kemenangan datang bergantian. Tidak bergiliran memang, sering tanpa pola yang bisa dijelaskan, tapi keduanya selalu hadir, selalu ada, dan saling melengkapi yang satunya.

Kita baru paham bagaimana sakitnya “kekalahan”, kalau sebelumnya sempat mencicipi “kemenangan”. Sebaliknya, manisnya “kemenangan” hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah sungguh-sungguh jatuh nyungsep ke dalam “kekalahan”. Kita musti lapar dulu baru bisa merasakan kenyang, begitulah memang aturan main dari sononya.

Itulah Yin Yang, keseimbangan yang mengatur jalannya ini jagat. Tidak ada yang lebih “baik” atau lebih “buruk”, karena keduanya dibutuhkan. Jika salah satunya ditiadakan, hidup akan menjadi roda yang kehilangan porosnya, sehingga perputarannya akan terganggu. Jadi, jangan sesali kekalahan anda, dan sebaliknya, jangan lupa daratan kalau sedang dapat giliran “menang”.

Orang-orang beriman percaya Tuhan menguji kita baik dalam susah maupun senang, Pada saat susah, saat terpuruk kalah, kita diuji untuk tabah. Pada saat berada di puncak kemenangan, kita diuji untuk tidak serakah. Ah, saya sama sekali tak bermaksud menggurui. Artikel ini hanya akal-akalan karena terus terang saya sedang bingung mesti menulis apa lagi, sementara blog ini sudah saatnya diupdate. Maaf.

02 September 2007

Hidup Bukan Kursus Mengetik

BANYAK orang rupanya punya anggapan bahwa hidup hanya berisi hal-hal teknis. Semua hal bisa dipelajari dan ditularkan—seperti ketrampilan mengetik. Lalu banyak orang juga percaya bahwa tujuan hidup adalah “sukses”. Dan ukuran “sukses” dilihat dari seberapa tebal dompet anda, atau seberapa kemilau jabatan anda, atau seberapa hebatnya kekuasaan anda, atau bisa juga dari seberapa ngetopnya anda.

Maka banyak orang lalu merasa “belum sukses” kalau belum kaya, atau belum punya jabatan, atau belum terkenal. Malah banyak orang lantas merasa hidupnya “kurang beres”, merasa ada yang “keliru” dengan cara hidupnya. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi pelahap buku-buku Dale Carnegie, dan banyak lagi nama yang dengan tidak bosan-bosannya mencoba meyakinkan kita bahwa hidup memang seperti sebuah kursus mengetik. Bahwa semua hal bisa dipelajari, dan semua orang bisa “sukses”.

Saya termasuk orang yang tidak gampang percaya dengan segala nasehat Carnegian yang begitu banyak mengepung kita. Setahun yang lalu nama Robert T Kiyosaki mendadak jadi magnet yang membetot-betot dari segala jurusan. Buku-bukunya diburu dan dipelototi karena diyakini memuat resep ajaib yang bisa mengantar kita “sukses”. Saya termasuk yang waktu itu ikut mengudak-udak bukunya.

Ketika membaca buku-bukunya terus terang—seperti jutaan pembaca lainnya—saya merasa tersihir oleh petuah-petuahnya. Harus saya akui bahwa ia memberikan semacam “pencerahan”, menyodorkan hal-hal yang selama ini luput dari amatan kita. Saya pun dengan bersemangat menenteng-nenteng buku itu—dengan semacam perasaan “bangga” yang aneh. Tapi sesudah semua ritual itu saya lakukan ternyata nasib saya tak jadi berubah. Apa yang salah?

Saya rasa sebab paling utama adalah karena hidup memang bukan semacam “kursus mengetik”. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang ada cukup banyak orang yang berhasil mengubah hidupnya antara lain karena petuah-petuah Carnegian itu. Tapi sebagian besar lainnya tidak punya kemampuan, atau keberanian, atau kesempatan mempraktekkan jurus-jurus how to be success itu.

Sebagian besar orang—mungkin termasuk saya—adalah dari jenis pengagum merek atau label. Mereka ini sebetulnya tahu “obat” yang mereka butuhkan untuk sembuh. Tapi mereka, mungkin, tak punya keberanian menelan “obat” itu, karena memang rasanya luar biasa pahit. Jadi mereka ini hanya mengelus-ngelus merek “obat” itu, seraya mungkin, memamerkannya kepada siapa saja, tanpa pernah samasekali meminumnya.

Mario Teguh sering ditanya “bagaimana caranya supaya tidak takut?”. Dan ia menjawab dengan kalemnya, “ya jangan takut”. Sesederhana itukah? Tidak, menurut saya. Sebab ada jarak yang luar biasa lebar antara mengatakan “jangan takut” dan mempraktekkan “jangan takut” itu. Karena hidup memang, sekali lagi, bukan semacam kursus mengetik. Jadi mesti bagaimana?

Yang mesti kita lakukan adalah menemukan habitat yang memang cocok untuk kita. Masukilah habitat itu, hiduplah kau di situ, berbahagilah kau di sana. Jangan pernah memaksakan rumus “sukses” orang lain untuk hidup anda. Anda itu lain, unik, jadi temukan rumus “sukses” anda sendiri. Ini adalah nasehat yang pernah diberikan almarhum MAW Brouwer. Apakah petuahnya ini terasa aneh dan ketinggalan zaman? Anda yang berhak menjawabnya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...