27 May 2008

Republik yang Stres

PENGUMUMAN kenaikan harga BBM pada zaman Orba dan sekarang punya persamaan dan perbedaan. Persamaan kekalnya adalah bahwa pengumuman itu bagi sebagian besar kita identik dengan datangnya “musibah”. Meskipun para petinggi Orba gemar menggunakan kata “penyesuaian” sebagai ganti kata “kenaikan”, kita toh tahu belaka : “penyesuaian” itu adalah “bencana”, titik.

Lalu biasanya beberapa jam sebelum harga baru BBM “diresmikan” akan terjadi drama di pompa-pompa bensin. Mendadak banyak orang jadi seperti kehilangan akal warasnya, mereka rela antre berjam-jam lamanya hanya demi mengirit beberapa rupiah. Padahal kalau mereka membelinya besok, selisih harganya tidak jauh-jauh amat. Barangkali karena kita memang sudah terkondisi hidup dalam situasi yang selalu dibayangi “ketidakpastian”, orang jadi gampang dibikin panik (dan latah) oleh sedikit saja kabar perubahan.

Ada kisah menarik pada pengumuman kenaikan harga BBM jaman dulu. Sering terjadi para petinggi yang ditugaskan mengumumkan “musibah” itu menyampaikannya kepada publik sambil sibuk cengengesan. Adalah sastrawan Bur Rasuanto yang menjadi murka melihat hal ini. Ia lantas menulis dan mengomentari kelakuan “lucu” para petinggi Orba itu sebagai bukti adanya gejala “gangguan jiwa” pada yang bersangkutan.

Para petinggi sekarang agaknya banyak belajar dari kesalahan para seniornya. Mereka biasanya akan memasang mimik wajah “sedih”, “prihatin”, atau minimal menahan diri untuk tidak cengar-cengir saat mengumumkan kabar buruk bagi orang banyak itu. Supaya pementasan paripurna, biasanya akan ada sejumlah kata permohonan maaf dan penyesalan yang mereka ucapkan pula. Tentu semua disampaikan dengan (berpura-pura) takzim dan sedih.

Yang juga berbeda dengan dulu adalah bahwa orang sekarang bisa memprotes kenaikan itu secara terbuka--kalau dulu kan paling kita hanya berani menggerutu di belakang. Model forum protesnya pun bisa beragam : mulai dari talk show necis di layar kaca sampai aksi bakar-bakaran ban bekas plus adu lempar batu dan bom botol di jalanan atau ruang-ruang belajar. Pokoknya meriah dan seru deh.

Hanya sayang, segala forum protes itu akhirnya jatuh menjadi sekadar show belaka. Mereka yang terlibat di sana akhirnya ketahuan sebetulnya punya agendanya sendiri, sementara “rakyat” yang kerap mereka sebut, tertinggal entah di mana. Pun para mahasiswa kemudian terlihat hanya sok hebat dan heroik doang. Aksi-aksi mereka jatuh menjadi sekadar gerakan “premanisme jalanan”, tanpa konsep matang dan sopan santun akademik yang layak dipujikan.

Tapi barangkali itu semua wajar-wajar saja. Wajar dan jamak terjadi di sebuah republik yang menurut sebuah situs berita lokal di sini konon sembilan puluh persen dari penduduknya tengah mengidap depresi alias stress pada stadium akut.

12 May 2008

"Tragedi Mei" Part Two?

PERISTIWA kerusuhan Mei 1998—sering disebut Tragedi Mei—genap satu dasawarsa tahun ini. Bagi saya pribadi peristiwa ngeri itu seperti baru terjadi beberapa minggu yang lalu saja. Tak mudah memang melupakannya. Dan kalau kita mau sedikit melongok di beberapa kawasan ibu kota memang masih bisa kita temukan sampai hari ini beberapa “monumen” peninggalan dari horor itu : bangunan bekas toko atau perkantoran yang dibiarkan terlantar membangkai—karena pemiliknya mungkin ikut terbakar mati, sudah kabur entah ke mana, atau jadi kere dan gila.

Pengusutan atas tragedi hitam itu sendiri tampaknya tidak akan membuahkan hasil. Belum pernah memang sebuah kejahatan politik dalam skala besar di negara ini berhasil diungkap tuntas ke publik. Peristiwa G 30 S saja sampai kini masih tetap teka-teki, apalagi kerusuhan Mei 1998 yang “baru kemarin sore”, note bene sebagian korbannya adalah mereka dari kelompok etnis China yang—sudah dari dulu--memang ditargetkan jadi “langganan” untuk sesekali dijadikan tumbal demi “memuaskan” rasa frustrasi sosial di lapisan bawah.

Alih-alih mendapatkan kejelasan, sejumlah orang malah ada yang berani berspekulasi bahwa horor seperti Mei 1998 bukan tidak mungkin bakal terulang lagi. Tapi berdasarkah ketakutan semacam itu? Secara teoritis, selama kondisi negara masih “berantakan” seperti saat ini, dan elit politisi kita tidak kunjung juga belajar berlaku dewasa dalam perilaku politiknya, maka peluang untuk terjadinya kembali kerusuhan semacam Mei 1998 selalu terbuka.

Bukankah keadaan sosial politik pra Mei 1998 dulu sedikit banyak mirip dengan situasi kita hari-hari ini? Kita lihat misalnya di mana-mana barisan orang-orang yang kehilangan pekerjaan semakin panjang, ibu-ibu pada menunggu jatah minyak tanah atau berebut beras murah di siang bolong yang terik, harga bensin sebentar lagi naik, sementara kriminalitas terus meningkat jumlah dan brutalitasnya, dan masih begitu banyak penanda lain yang sebetulnya bisa dirasakan untuk belajar memahami betapa di lapisan bawah suhu sudah begitu “panas” dan “pengap” sekali.

Masalahnya apakah “kepengapan” itu sampai juga ke ruang-ruang sejuk para politisi dan petinggi negara ini? Oh, saya sungguh tak yakin dengan itu. Jadi, timbunan kayu-kayu bakar kering untuk bahan baku meletupkan chaos sudah tersedia lebih dari cukup. Tinggal siapa sekarang yang punya bensin dan menyimpan korek apinya—dan apakah ia cukup punya nyali memulai “permainan” itu kembali. Mungkin judul lakonnya nanti Tragedi Mei Part Two, atau semacam itulah.

Tapi saya berharap, sangat berharap, ini semua hanya ketakutan berlebihan dari saya saja. Saya harap begitu.

09 May 2008

Rakyat Kecil Hanya Keranjang Sampah

TADI pagi sebelum berangkat kerja saya sempat “ngintip” sebentar sebuah acara di salah satu TV swasta Mereka sedang ngomongin BBM yang hari-hari ini tengah menjadi primadona berita. Ada seorang pemirsa di Bali yang komentarnya miris sekali. Dia bilang bahwa pemerintah sebaiknya tak usahlah berlagak “populis” dengan menyodorkan macam-macam hiburan kosong untuk membenarkan pilihan mereka menaikkan harga bensin dalam waktu dekat ini.

Dia menegaskan bahwa rakyat miskin di sini sudah sangat tahan banting. Kalau tidak bisa makan nasi, mereka siap beralih menyantap nasi aking. Dan kalau misalnya nasi aking juga gagal didapat, mengunyah sampah juga oke. Rakyat miskin kita, katanya, sangat sekali penuh pengertian, jadi pemerintah tidak usahlah rikuh. Prinsip hidup mereka simpel sekali : diberi ya diterima, tidak diberi ya nggak apa-apa. Itulah rakyat miskin, mirip keranjang sampah belaka.Hanya menunggu. Pasrah. Dilempar berlian diterima, dijejali kotoran ya nggak bisa menolak.

Komentar-komentar jujur dan pahit ini mungkin tak pernah sampai ke kuping pemerintah, atau para “siswa-siswi TK” di Senayan. Kalau pun sampai sepertinya tak akan berdampak apa-apa. Tentang ini rakyat miskin juga sudah pada tahu. Mereka juga tidak akan meminta yang tak mungkin dari petinggi-petinggi terhormat itu. Mereka sangat paham kok bahwa yang di atas itu sudah pada budek semua nuraninya.

06 May 2008

BBM Naik : Menuju "Separuh Kiamat"?

KABAR bakal segera naiknya harga BBM semakin santer. Presiden malah bilang pada level saat ini masalahnya bukan lagi “naik atau tidak”, melainkan “berapa naik”nya (Koran Tempo, 6 Mei 2008). Saya bukan ekonom, pun “buta huruf” soal ilmu ekonomi. Saya tak paham hitungan orang-orang pintar di atas sana yang menyimpulkan bahwa, dalam kondisi seperti sekarang ini, katanya, tidak menaikkan harga BBM malah akan mencemplungkan bangsa ini ke dalam jurang. Saya, sekali lagi, terlalu pandir untuk bisa memahami logika luhur itu.

Yang saya pahami sungguh teramat sederhana, bahwa kalau BBM harganya dinaikkan maka yang lain-lainnya otomatis harganya harus naik juga—kecuali gaji saya (karena menaikkan gaji bagi majikan hukumnya sunnah, bukan wajib). Dan itulah masalahnya. Anggaran belanja yang sudah mepet selama ini harus lebih dipepetkan lagi. Menu sarapan dan makan siang kudu diatur ulang. Mungkin perlu dipikirkan pula model langkah penghematan ekstra. Misalnya, Senin dan Kamis ditetapkan sebagai hari puasa, yah minimal puasa makan siang.

Ritual kunjungan ke warnet terpaksa dikurangi. Kalau biasanya bisa sampai 3 jam, nanti mungkin cukup maksimal 1 jam—dan cukup seminggu sekali. Satu jam itu harus bisa dimanfaatkan betul : memeriksa dan membuka email, mengecek kondisi blog sendiri, posting (naskahnya harus sudah siap, dibuat di kantor dengan cara curi-curi kesempatan, jadi tinggal copy paste). Sisa waktu baru dipakai blog walking dan browsing sekadarnya. Beruntunglah selama ini saya tak suka ber-chatting ria, jadi pengurangan waktu ini tak masalah.

Ini baru kalkulasi bodoh yang saya bikin untuk saya sendiri, dan hanya untuk beberapa hal yang kebetulan saya ingat saat menulis ini. Belum sempat saya pikirkan bagaimana nanti dengan beban belanja keluarga, biaya sekolah anak-anak, dan macam-macam lagi. Lebih tak terpikirkan lagi bagaimana gerangan saudara-saudara dan teman-teman saya yang “kebetulan” anggaran hidupnya lebih payah lagi dari saya harus menyiasati semua ini. Hampir bisa dipastikan tingkat kriminalitas akan tambah melonjak. Barisan orang stres dan gila akan makin panjang. Dan bunuh diri akan semakin menjadi “pilihan menarik” bagi sejumlah orang. Sungguh, saya jadi merasa tambah pandir saja membayangkan semua kemungkinan seram itu.

Yang juga segera terbayang di kepala saya adalah bahwa akan semakin tak pastilah nasib naskah buku puisi saya untuk bisa diterbitkan. Sejauh ini sudah 3 penerbit (salah satunya penerbit kakap) yang menolak naskah itu. Alasannya seragam dan sangat klasik : buku puisi susah lakunya. Maka ditambah dengan naiknya harga BBM (sesudah sebelumnya didahului kenaikan harga kertas) yang tentu berdampak langsung pada biaya produksi, akan samakin karamlah mimpi saya untuk bisa memiliki buku. Dalam situasi “separuh kiamat” ini tentu saja akan terasa lucu meributkan nasib sebuah naskah puisi dari seorang penulis tanggung yang kurang dikenal. Semua orang akan segera direpotkan dengan urusan mencari sekoci penyelamatnya masing-masing, bukan?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...