29 July 2008

Ryan dan Amrozi

ANTARA Amrozi, teroris bom Bali, dan Ryan, waria tersangka pembunuhan berantai itu, ternyata ada kemiripan. Keduanya keluaran pesantren, keduanya dikenal sebagai seorang muslim yang tekun beribadah. Ryan malah pernah jadi guru mengaji. Diceritakan bahwa ia pun seorang penyayang tanaman dan ikan yang takzim. Kabarnya ia suka mengajak “ngobrol” ikan-ikannya.

Tapi persamaan paling penting tentu saja bahwa keduanya pembunuh, dan tidak merasa bersalah melakukan hal itu. Tapi kalau Ryan, sejauh ini tampak tampil cuek dan dingin, Amrozi malah sering kelihatan cengengesan. Mungkin dia bangga sudah berhasil membantai nyawa ratusan orang yang tidak tahu apa dosanya sampai harus bernasib apes begitu.

Apabila ada perbedaan di antara mereka, maka itu hanyalah soal persepsi belaka. Kalau Ryan mungkin membunuh karena desakan kebutuhan perut, adalah Amrozi membantai korbannya dengan alasan “luhur” dan “mulia”, yakni “memerangi” kemaksiatan. Bahwa ternyata banyak di antara korbannya “orang baik-baik”, biarlah nanti Amrozi sendiri yang membereskan soal itu

Perbedaan lain antara mereka adalah soal cap atau label yang dipasangkan pada keduanya. Kalau untuk “monster” sejenis Ryan kita tak ragu menyebutnya “jagal”, maka untuk Amrozi agaknya ada sedikit “kebingungan”. Bagi sebagian orang, khususnya orang Bali, Amrozi jelas penjahat besar, tapi tidak demikian untuk kelompok lainnya. Kita tahu, ada yang malah menganggap Amrozi itu “pahlawan”, “martir” yang layak dikenang dan ditangisi kalau nanti ia jadi juga dieksekusi.

25 July 2008

"Peristiwa 27 Juli", Riwayatmu Kini

SABTU, 27 Juli 1996. Cuaca cerah saat itu. Tanpa firasat apa pun saya meluncur dari kediaman saya di Bekasi menuju Kwitang Senen. Tujuan saya adalah toko buku Gunung Agung. Sewaktu melewati pertigaan Salemba saya lihat jalanan menuju Diponegoro lengang. Rupanya memang sengaja ditutup. Ada seorang cewek bule mondar-mandir di dekat lampu merah itu. Mungkin seorang wartawati asing, pikir saya.

Saya teruskan perjalanan ke Senen seperti rencana semula. Cukup lama saya berada di toko buku. Lepas tengah hari baru saya pulang, dan kembali melewati pertigaan Salemba. Masih seperti suasana paginya, tertutup dan lengang. Masih tak ada firasat apa-apa yang mengusik saya. Tapi saya tak langsung pulang, malah saya mampir dulu ke toko buku Gramedia di Matraman.

Sewaktu asyik berkeliling di toko buku itu, entah mengapa saya terdorong untuk melangkah ke arah jendela toko di lantai dua. Jendela itu mengarah ke jalan Diponegoro. Saya berdiri di situ beberapa lama, seraya berpikir-pikir seperti apa ya suasana di depan kantor parpol itu. Mendadak saya melihat kepulan asap hitam dari arah jalan Diponegoro. Pada saat itu saya dengan naifnya masih berpikir bahwa itu asap kebakaran biasa.

Beberapa pengunjung toko lain rupanya melihat juga kepulan asap hitam itu, lantas jendela itu jadi penuh dirubung orang. Komentar dan celutukan bermunculan. Seorang cewek dengan bersemangat bertutur bahwa sudah sejak subuh kantor parpol dengan lambang kepala banteng itu diserbu, “banyak yang mati”, katanya berapi-api. Dan satpam toko itu bilang, “perang kok sama bangsa sendiri”.

Baru saat itu saya ngeh, bahwa sesuatu yang hebat sedang berlangsung. Saya langsung pulang, membeli koran sore yang ternyata sudah mengabarkan kejadian itu—tapi tentu hanya sebatas kulitnya. Kabar-kabar lebih seram saya terima lewat selebaran gelap internet. Diceritakan antara lain bagaimana tentara dengan beringas menguber-uber massa demonstran, dan menghajar bahkan mereka yang sudah berhasil sembunyi di toilet Taman Ismail Marzuki.

Kini horor yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa 27 Juli” sudah berlalu 12 tahun. Tidak pernah menjadi jelas apa yang sebetulnya terjadi saat itu. Megawati, yang ketika itu sempat dianggap sebagai “ikon” yang menyuarakan perlawanan ternyata juga tak pernah mengurusi masalah ini. Mungkin dia pun, seperti yang lainnya, merasa “jeri” kalau harus berurusan dengan kelompok militer.

24 July 2008

Capres 2009 : Ada Jenderal, Ada Seniman ...

SEBUAH fenomena menarik muncul di pelataran politik negeri ini. Kini orang tak malu-malu lagi mencalonkan diri sebagai “calon presiden”. Mereka pun datang dari latar yang juga agak beragam, meski mayoritas masih didominasi mantan pejabat, atau pensiunan jenderal. Ada yang sudah stok lama, sebagian pendatang baru : Wiranto, Prabowo, Sutiyoso. Dari yang sipil tersebutlah misalnya nama-nama semisal Fajroel Rachman (aktivis), Ratna Sarumpaet (seniman), Rizal Malarangeng (pengamat politik) dan “jago lama” Yusril Ihza Mahendra.

Menarik untuk disimak sebetulnya mengapa sekarang kok banyak bener orang yang pada “berani malu” mencalonkan diri jadi “calon presiden”—hal yang belum terbayangkan bahkan sampai Pemilu paling akhir (2004) kemarin, meski embrionya sudah muncul kala itu.Terus terang saya tak paham, apakah gejala ini pantas disambut dengan gembira, atau sebaliknya malah menambah alasan kita untuk skeptis.

Mungkin untuk adilnya kita kudu melihatnya dari dua sisi. Kabar gembira karena nama-nama baru itu bagaimanapun sudah berhasil memecahkan kebekuan dari anggapan yang selama ini bercokol di benak bahwa calon pemimpin kita dari waktu ke waktu hanya “beberapa orang tua” yang itu-itu saja. .

Kabar buruknya adalah membludaknya pelamar untuk jabatan R1 itu memberi kesan bahwa menjadi presiden adalah urusan “gampang”. Kita tahu belaka republik ini sedang dalam kondisi teramat sulit, maka timbul pertanyaan wajar apakah para pelamar itu sungguh punya tawaran solusi yang pantas dibela? Semestinya begitu, tapi pagi-pagi kita sudah bisa menakar kapasitas para pelamar yang ada. Kalau mau jujur kita pun hanya bisa geleng-geleng : yang begini kok mau jadi presiden …

Tapi barangkali itulah indahnya (dan mahalnya) demokrasi. Panggung menjadi terbuka untuk dimasuki siapa saja. Para pelamar yang serius harus rela bersaing dulu dengan sejumlah badut dan petualang yang cuma iseng doang. Tak mengapa. Kelak pada saatnya, dewan jurilah, yakni publik—yang dari ke hari semogalah semakin jeli menilai—yang akan memastikan nasib mereka. Santai saja.

09 July 2008

18 Parpol Baru Siap Bodohi Rakyat

KPU (Komisi Pembusukan Umum) hari ini mengumumkan 18 parpol baru yang berhasil lolos verifikasi faktual untuk ikut bikin rame (dan rusak) Pemilu 2009. Inilah 18 parpol baru itu :

1. Partai Barisan Preman
2. Partai Demokrasi Pembalakan
3. Partai Gerakan Indonesia Mimpi
4. Partai Hati Nurani Rampok
5. Partai Indonesia Sengsara
6. Partai Kaya Penjualan
7. Partai Kasih Fulus Indonesia
8. Partai Kebangkrutan Nasional
9. Partai Matahari Terbenam
10. Partai Nasional Banteng Sakit
11. Partai Peduli Amat Rakyat
12. Partai Pemuda Merana
13. Partai Pengusaha Kaya Raya
14. Partai Kaos Oblong
15. Partai Asal Rame
16. Partai Ini Itu Oke
17. Partai Janji Sorga
18. Partai Kolor Ijo

Dengan demikian jumlah parpol yang akan terjun “membodohi” rakyat pada Pemilu 2009 menjadi 34 parpol. Parpol-parpol baru itu akan bersaing dengan parpol lama yang sedikit atau banyak sudah lebih berpengalaman dalam urusan kibul-mengibuli rakyat. Meskipun jumlah parpol bertambah banyak, jauh-jauh hari kita sudah bisa menduga parpol mana yang bakal memenangi Pemilu 2009. Itulah dia si semata wayang, “parpol” GOLPUT.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...