Jika anda tahu hari ini adalah hari terakhir hidup anda, artinya anda juga tahu bahwa besok anda dipastikan mati, apa yang akan anda lakukan hari ini? Steve Jobs, pendiri Apple Computer, punya jawaban menarik untuk pertanyaan itu. Bila ini adalah hari terakhir saya, tanya si jenius itu pada diri sendiri, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini? Bila jawabannya selalu “tidak” dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah.
Saya pernah mendengar petuah bijak bahwa pendorong terbesar sukses seseorang ternyata bukanlah soal-soal teknis semacam “skill” atau “modal” (uang), atau bahkan “koneksi”, melainkan “rasa kepepet” orang itu. Masuk akal, seorang yang terpojok dalam situasi ekstrem yang tidak memberikannya pilihan lain kecuali “bertarung sampai tetes darah terakhir” sering malah keluar sebagai pemenang dengan hasil terbaik yang di luar segala hitungan.
Jika situasinya “aman-aman saja”, tentu saja kita akan gampang tergoda untuk tidak bertarung habis-habisan. Jalan keluarnya adalah dengan menciptakan sebuah “situasi kepepet artifisial”. Steve Jobs punya trik sendiri yang memaksanya selalu berada dalam situasi “kepepet artifisial” itu, yaitu dengan (selalu) memikirkan kematian. Ujarnya, “Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar.”
Jika anda tahu anda bakal segera mati maka anda akan tahu juga bahwa segala soal remeh-temeh—seperti perasaan takut gagal atau malu, yang biasanya menjadi perangkap terbesar kebanyakan orang untuk berhasil—menjadi tidak relevan lagi. Jika anda sebentar lagi mati, maka yang tertinggal hanyalah soal-soal yang esensial. Yang terisisa kini hanyalah suara hati anda sendiri. Dan pertanyaannya tinggal, masihkah anda akan mengabaikannya, suara hati anda itu, pada hari terakhir hidup anda ini? Bagi Steve Jobs jawabannya pasti, “Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.”
Tentu saja tidak ada seorang pun yang ingin mati, kecuali ia sedikit tidak waras. Bahkan orang yang kepingin masuk surga pun—sekali lagi, kecuali ia sedikit tak waras—tidak mau buru-buru mati dulu. Masalahnya, kata Steve Jobs, kematian adalah kepastian yang terus mendekat. Kabar baiknya, kesadaran akan hal itu membantu mengingatkan bahwa waktu kita di planet kecil ini sungguh sangat terbatas.
Waktu kita terbatas, jadi jangan sia-siakan hidup ini Jangan menari mengikuti genderang yang ditabuh orang lain. Atau dalam kata-kata Steve Jobs sendiri. “Jangan biarkan omongan orang menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda—yang lainnya hanya nomor dua, atau malah nomor tiga.
Jika kita sepakat dengan semua uraian itu, mulai esok pagi, seperti Steve Jobs, baiklah kita melihat ke cermin dan bertanya pada diri sendiri. “Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?” (Sebagai kado untuk ulang tahunku).
07 April 2011
05 April 2011
"Harta Karun di Balik Reruntuhan", Pelajaran dari Steve Jobs
Selalu ada “harta karun di balik reruntuhan”, selalu ada hikmah di balik setiap nasib buruk, begitu orang-orang bijak kerap menasehati. Masalahnya adalah tidak setiap orang beruntung sanggup menemukan “bongkahan emas” di balik reruntuhan itu, tidak setiap kita cukup dibekali ketabahan untuk mau bersabar menggali untuk akhirnya menemukan harta karun di sebalik nasib buruk kita. Seakan hanya orang-orang dengan talenta khusus saja yang berkesempatan mengalami karunia tersembunyi itu.
Steve Jobs, pendiri Apple Computer, mungkin contoh orang dengan talenta khusus itu. Di masa mudanya ia keliru mengambil mata kuliah yang ternyata kemudian tak diminatinya samasekali, padahal ia telah menguras habis seluruh tabungan orang tuanya—yang hanya pegawai rendahan—untuk bisa kuliah di jurusan yang diyakininya “tak membawa manfaat apa pun “ itu. Ia lalu memutuskan drop out begitu saja.
Ia mengenang saat itu sebagai “saat-saat paling menakutkan dalam hidupnya”. Bacalah kembali cuplikan komentarnya berikut ini: “Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna.”
Tapi belakangan ia menganggap pilihan tindakannya untuk DO itu adalah benar, sebenar-benarnya. Setelah berhenti kuliah ia jadi punya kesempatan menghadiri perkuliahan yang disukainya. Salah satu kelas yang diikutinya dengan bersgairah adalah kelas kaligrafi. Di sana ia dengan takzim belajar mengotak-atik jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains, katanya.
Tapi yang paling menarik untuk disimak adalah bahwa Steve Jobs, saat itu, sebetulnyai tidak melihat samasekali manfaat pelajaran kaligrafi bagi kehidupannya. Ia, ketika itu, hanya sekadar menurutkan hasrat dan dorongan dari dalam dirinya belaka. Tapi 10 tahun kemudian, ketia ia dan timnya mendesain komputer Macintosh yang pertama, pelajaran kaligrafi yang dulu ditekuninya itu memperlihatkan kegunaannya secara nyata: “Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik,” kata Stve Jobs.
Jadi seandainya ia dulu tak keliru memilih mata kuliah, seandainya ia lalu tak memutuskan DO—artinya memilih mengecewakan banyak orang, utamanya kedua orang tuanya—tentu ia tak akan berkesempatan kuliah kaligrafi yang di kemudian hari memberi sumbangan penting pada perkembangan Personal Computer pada masa-masa selanjutnya.
Steve Jobs akhirnya menemukan “harta karun” di balik reruntuhan nasib masa mudanya. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa ia sanggup untuk sampai di sana karena ia telah memilih untuk melanjutkan sisa hidupnya—yang ketika itu tampak tak berpengharapan--dengan semacam semangat murni, atau dengan kata lain, dengan passion. Mudah-mudanan kesimpulan ini tidak terlalu ngawur.
Steve Jobs, pendiri Apple Computer, mungkin contoh orang dengan talenta khusus itu. Di masa mudanya ia keliru mengambil mata kuliah yang ternyata kemudian tak diminatinya samasekali, padahal ia telah menguras habis seluruh tabungan orang tuanya—yang hanya pegawai rendahan—untuk bisa kuliah di jurusan yang diyakininya “tak membawa manfaat apa pun “ itu. Ia lalu memutuskan drop out begitu saja.
Ia mengenang saat itu sebagai “saat-saat paling menakutkan dalam hidupnya”. Bacalah kembali cuplikan komentarnya berikut ini: “Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga nebeng tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna.”
Tapi belakangan ia menganggap pilihan tindakannya untuk DO itu adalah benar, sebenar-benarnya. Setelah berhenti kuliah ia jadi punya kesempatan menghadiri perkuliahan yang disukainya. Salah satu kelas yang diikutinya dengan bersgairah adalah kelas kaligrafi. Di sana ia dengan takzim belajar mengotak-atik jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains, katanya.
Tapi yang paling menarik untuk disimak adalah bahwa Steve Jobs, saat itu, sebetulnyai tidak melihat samasekali manfaat pelajaran kaligrafi bagi kehidupannya. Ia, ketika itu, hanya sekadar menurutkan hasrat dan dorongan dari dalam dirinya belaka. Tapi 10 tahun kemudian, ketia ia dan timnya mendesain komputer Macintosh yang pertama, pelajaran kaligrafi yang dulu ditekuninya itu memperlihatkan kegunaannya secara nyata: “Mac adalah komputer pertama yang bertipografi cantik,” kata Stve Jobs.
Jadi seandainya ia dulu tak keliru memilih mata kuliah, seandainya ia lalu tak memutuskan DO—artinya memilih mengecewakan banyak orang, utamanya kedua orang tuanya—tentu ia tak akan berkesempatan kuliah kaligrafi yang di kemudian hari memberi sumbangan penting pada perkembangan Personal Computer pada masa-masa selanjutnya.
Steve Jobs akhirnya menemukan “harta karun” di balik reruntuhan nasib masa mudanya. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa ia sanggup untuk sampai di sana karena ia telah memilih untuk melanjutkan sisa hidupnya—yang ketika itu tampak tak berpengharapan--dengan semacam semangat murni, atau dengan kata lain, dengan passion. Mudah-mudanan kesimpulan ini tidak terlalu ngawur.
Subscribe to:
Posts (Atom)