IBU KOTA Jakarta, yang kata sebuah ungkapan usang “lebih kejam dari ibu tiri” menyimpan banyak cerita menarik dan kadang bahkan ajaib bin aneh. Salah satu cerita itu adalah perihal seorang lelaki, yang namanya sebut saja, Ryan. Pria bernama Ryan ini bukan gay, tapi “profesi”nya memang berhubungan dengan kelompok gay. Jam dinas Ryan tak tentu, fleksibel, tergantung suasana hati, dan yang juga menarik ia selalu “ngantor” di toilet-toilet mal.
Ryan, yang adalah “tulen lelaki” ini, punya tongkrongan macho, tinggi besar, dengan rambut yang kerap dipotong model cepak. Ia tak bisa dibilang ganteng memang, tapi lumayanlah. Nah, Ryan ini rajin nongkrong di mal mencari mangsanya yang adalah para gay. Ia punya “radar” yang canggih hingga segera bisa tahu kalau ketemu “lawan”. Kalau sudah begitu ia akan mulai beraksi, misalnya, dengan mengajak “lawan”nya itu bermain mata.
Kalau pancingannya berhasil, Ryan akan menggiring lawannya ke “kantor”nya yang di berada di toilet itu. Ia melanjutkan pancingannya lebih provokatif lagi, sehingga gay korbannya akan menjadi tambah berani mendekatinya. Misalnya, ia akan berpura-pura kencing, seraya membiarkan anunya terlihat oleh si korban, sehingga sang gay menjadi tambah blingsatan : mengintip “anu”nya Ryan, atau melakukan tindakan nekat lainnya.
Nah, pada momen “kritis” itulah Ryan sang tokoh kita mulai beraksi. Mendadak saja ia berubah galak kepada gay lawannya, menunduhnya telah berbuat cabul kepadanya, seraya mengancamnya akan melaporkannya kepada pihak berwajib. Dan ujung-ujungnya ia akan memeras korbannya. Lha, korbannya, yang sering ternyata berdompet tebal dan punya jabatan penting, mati kutunya. Dari pada urusan jadi heboh, dan orang pada tahu dia gay, mendingan mandah saja diperas.
Begitulah Ryan menjalankan “profesi”nya. Tapi tidak selalu ia bernasib mujur. Pernah ia mendapat korban yang ternyata masih memiliki hubungan keluarga dengan polisi. Habis ia dihajar berdarah-darah ketika itu. Kapok? Oh tidak, namanya juga “profesi”, ia terus setia melakoninya. Hanya untuk amannya, supaya tidak gampang dikenali, ia sering terpaksa berpindah-pindah “kantor”. Kabarnya paling akhir ini ia “ngantor” di sebuah mal di daerah Senen.
Ryan, yang adalah “tulen lelaki” ini, punya tongkrongan macho, tinggi besar, dengan rambut yang kerap dipotong model cepak. Ia tak bisa dibilang ganteng memang, tapi lumayanlah. Nah, Ryan ini rajin nongkrong di mal mencari mangsanya yang adalah para gay. Ia punya “radar” yang canggih hingga segera bisa tahu kalau ketemu “lawan”. Kalau sudah begitu ia akan mulai beraksi, misalnya, dengan mengajak “lawan”nya itu bermain mata.
Kalau pancingannya berhasil, Ryan akan menggiring lawannya ke “kantor”nya yang di berada di toilet itu. Ia melanjutkan pancingannya lebih provokatif lagi, sehingga gay korbannya akan menjadi tambah berani mendekatinya. Misalnya, ia akan berpura-pura kencing, seraya membiarkan anunya terlihat oleh si korban, sehingga sang gay menjadi tambah blingsatan : mengintip “anu”nya Ryan, atau melakukan tindakan nekat lainnya.
Nah, pada momen “kritis” itulah Ryan sang tokoh kita mulai beraksi. Mendadak saja ia berubah galak kepada gay lawannya, menunduhnya telah berbuat cabul kepadanya, seraya mengancamnya akan melaporkannya kepada pihak berwajib. Dan ujung-ujungnya ia akan memeras korbannya. Lha, korbannya, yang sering ternyata berdompet tebal dan punya jabatan penting, mati kutunya. Dari pada urusan jadi heboh, dan orang pada tahu dia gay, mendingan mandah saja diperas.
Begitulah Ryan menjalankan “profesi”nya. Tapi tidak selalu ia bernasib mujur. Pernah ia mendapat korban yang ternyata masih memiliki hubungan keluarga dengan polisi. Habis ia dihajar berdarah-darah ketika itu. Kapok? Oh tidak, namanya juga “profesi”, ia terus setia melakoninya. Hanya untuk amannya, supaya tidak gampang dikenali, ia sering terpaksa berpindah-pindah “kantor”. Kabarnya paling akhir ini ia “ngantor” di sebuah mal di daerah Senen.