BULAN Oktober 28 tahun yang lalu adalah bulan yang gerah dan berkeringat—mirip sekali dengan pekan-pekan terakhir Oktober tahun ini. Saya kerap terkenang malam-malam sewaktu sendirian berjaga, mencoba “membunuhi” bala tentara nyamuk yang tiada putus-putusnya menyerang, sementara ayah saya terbaring di ranjang, di kamarnya yang, sebetulnya kalau saya kenang sekarang, nyaman juga keadaannya, meskipun agak sempit.
Sesekali suara batuknya terdengar, dan setiap kali mendengar ia batuk, saya pun merasa “lega”. Ketika itu kondisinya sudah semakin memburuk (kanker menggerogotinya tanpa ampun), maka kadang kalau dari kamarnya tidak terdengar suara apa-apa, saya malah suka was-was, sebab jangan-jangan “yang terburuk sudah terjadi”. Maka diam-diam saya suka berharap ia terbatuk, sebab batuk itu menjadi tanda bahwa ia masih bertahan, masih ada di kamarnya.
Sesungguhnya saya tak pernah percaya bahwa “yang terburuk” itu akan terjadi padanya. Ibu saya pernah bercerita bahwa ayah sudah dua kali “nyaris meninggal”, tapi toh senantiasa selamat. Maka saya pun percaya bahwa ia akan kembali selamat kala itu. Tapi barangkali juga keyakinan saya lahir karena di rumah kami sejauh itu memang belum pernah terjadi “hal yang terburuk” itu. Juga mungkin sebab pemahaman saya yang teramat miskin mengenai ganas dan buasnya kanker. Begitulah, ketidakpahaman rupanya malah bisa menjadi sumber kekuatan.
Pun sewaktu kemudian saya bermimpi “aneh” (sebuah mobil jenazah berhenti di depan rumah kami, dan beberapa orang terlihat mengusung peti mati ke dalam rumah), perasaan saya tetap biasa saja. Baru sewaktu “yang terburuk” itu kemudian sungguh terjadi, saya tersentak. Mendadak maut menjadi sesuatu yang nyata bagi saya, setelah sebelumnya (rupanya) ia sekadar sebuah kabar (dari jauh) yang seolah ada tapi tiada.
Setiap kali almanak mendekati penghujung Oktober, kenangan akan hari-hari itu terasa menguat kembali. Meskipun ia semakin mirip sejilid buku tua yang kertasnya sudah menguning, huruf-hurufnya mulai meluntur, dan isinya boleh jadi semakin tak relevan, tapi setiap kali pula saya ingin kembali “membaca” buku itu, atau paling tidak sekadar menyentuhnya.
Lebih dari sekadar keinginan bernostalgia belaka, saya merasa memiliki semacam kewajiban untuk menjaga agar “buku tua” itu tetap terawat baik. Mungkin karena kepergian ayah membuat saya seperti disorongkan ke dalam situasi yang sebetulnya belum siap saya arungi. Kejadian itu adalah salah satu momentum penting dalam hidup saya. Sebab sesudah itu setiap hal menjadi tak sama lagi.
Maka setiap tahun, pada penghujung Oktober dan awal November (ayah saya berpulang 2 November 1980), saya raih kembali buku itu, hati-hati dan dengan rasa haru (yang anehnya tak menjadi makin pudar) saya bolak-balik lagi halaman-halamannya yang sudah menguning itu. Mungkin seraya membersihkannya dari debu waktu yang mau mencoba menguruknya dalam semak belukar ingatan.
No comments:
Post a Comment