21 May 2007

"Reformasi", 9 Tahun Kemudian

HARI ini, 21 Mei 9 tahun yang lalu—mudah-mudahan anda masih ingat—tiran Soeharto yang sudah 30 tahun lebih bercokol mengangkangi negeri ini, akhirnya lengser. Kejatuhan sang tiran itu menandai lahirnya sebuah zaman baru yang secara terburu-buru dijuluki “era reformasi”. Mengapa penamaan “era reformasi” itu “terburu-buru”? Karena ternyata yang terjadi sesudah itu hanyalah pengulangan sejarah belaka. Tiran yang satu jatuh, hanya untuk memberi kesempatan naik tiran lainnya. Memang buat sesaat kita sempat mengalami suatu episode yang penuh dengan janji. Sebuah periode yang sangat sekali disarati eforia dan kenaifan.

Saya ingat seorang teman berkisah bagaimana dia pada saat itu berhasil mendapatkan Sertifikat Hak Milik atas tanah dan rumahnya hanya dengan mengeluarkan duit 25 ribu rupiah. Padahal di zaman Orde Baru mengurus sertifikat hak milik tanah itu seperti kisah perburuan harta karun dalam dongeng. Duit yang musti digelontorkan untuk “upeti” dibanding dengan peluang berhasil didapatnya surat sertifikat itu sendiri bisa dibilang “nihil”.

Sayang masa bulan madu itu begitu cepat lewat. Situasi negara tidak juga menjadi stabil. Selama 9 tahun ini kita disuguhi pementasan turun naiknya 4 orang kepala negara sebagai bukti masih goyahnya situasi. Gedung parlemen kehilangan sakralitasnya karena dikuasai para preman dan badut politik. Hukum masih terus jadi komoditas. Korupsi jalan terus. Malah ada yang bilang korupsi di “era reformasi” ini lebih kasar dan edan dibanding di zaman Orde Baru.

Secara umum situasi memang tidak bisa diklaim sudah menjadi “lebih baik”.Sangat wajar kalau dalam situasi seperti ini sebagian orang kemudian menjadi “kangen” lagi pada masa-masa “normal” dulu. Soeharto memang betul tiran, tapi pada zamannya tidak ada orang antre minyak tanah, atau bertikai karena rebutan beras murah. Jangan pernah lalu menyalahkan atau menyebut mereka ini pandir. Sebaiknya kita juga tidak pernah lupa bahwa “reformasi” direbut dengan ongkos dan tumbal teramat mahal.

Dengan cost semahal itu sangat layak dan pantas kalau kita kemudian menuntut adanya imbalan sepadan dari mereka—siapapun mereka—yang sekarang berkesempatan mencicipi fasilitas hidup serba “VIP” yang didapat dari tumbal nan mahal itu. Lumrah dan sah kalau kita marah kalau keadaan tidak juga membaik. Sah dan lumrah-lumrah juga kalau kita pun merasa sudah dikibuli selama ini.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...