RANI (bukan nama sebenarnya), penganut fanatik “Saksi Yehovah”-- sebuah sekte yang oleh arus utama Kristen dipandang “sesat”-- menjalin hubungan.dengan Gabriel (juga nama samaran), seorang katolik yang lumayan ngotot. Sesudah pacaran beberapa waktu, mereka pun sepakat untuk menikah. Tapi soalnya menjadi tidak mudah karena adanya perbedaan keyakinan di antara mereka.
Rani menuntut harga mati supaya pernikahan dilakukan menurut cara “Saksi”. Jika itu dijalankan maka bagi Gabriel (yang katolik) “ongkos” yang musti dibayarnya lumayan absurd. Ia memang tidak diminta untuk masuk atau pindah ke “Saksi Yehovah”, tapi ia wajib mengikuti pelajaran agama “Saksi Yehovah” selama sisa hidupnya. Absurd bukan? Tidak diminta meninggalkan iman katoliknya, tapi diharuskan seumur hidup menelan isi perut “Saksi”.
Sebetulnya urusan akan menjadi gampang kalau pernikahan dilakukan saja menurut aturan katolik. Sebab dalam urusan perkawinan, gereja katolik memberi toleransi yang sangat longgar apabila terjadi kasus kawin campur, atau beda keyakinan seperti antara Rani dan Gabriel ini. Pihak yang non-katolik tidak diharuskan sama sekali pindah ke katolik. Juga tidak ada keharusan mengikuti kursus pelajaran agama katolik segala macam, umpamanya.
Satu-satunya hal yang diminta dari pihak “non-katolik” adalah merelakan anak yang kelak lahir dari perkawinan itu untuk dibaptis secara katolik, yang dalam prakteknya bisa saja diatur fleksibel waktunya. Lagi pula, jika di belakang hari sang anak (sesudah dewasa) ternyata “tidak krasan” di katolik dan pengin pindah agama, pintu selalu terbuka baginya. Tidak ada satu pasal pun dari hukum gereja katolik yang melarang umatnya “menyebrang”.
Tapi kalau jalur katolik ini yang dipilih, maka Rani terancam “dipecat” dan bahkan “dikucilkan” dari komunitas “Saksi Yehovah”nya. Ia akan dicap “murtad”, dan kita tahu apa artinya dianggap murtad. Rani pun ngeper, tambahan lagi ia sangat menguatirkan keluarganya yang pasti akan tertimpa “aib” apabila itu terjadi. Maka perkawinan mereka pun terancam batal.
Di sini kita melihat sebuah ironi. Agama yang konon diturunkan ke dunia untuk membahagiakan umat manusia, dalam prakteknya—karena sempitnya wawasan pikir (dan kesombongan) para pemimpinnya serta umatnya sendiri--malah berbalik menjadi “sumber bencana” yang menghalangi kebahagiaan pemeluknya, seperti terbukti dari kasus Rani dan Gabriel di atas.
30 October 2008
27 October 2008
Hemat Pangkal Sesal?
SAYA mendengar cerita ini di kelas Alkitab pekan lalu, yang disampaikan sebagai ilustrasi dari bab “Orang Kaya yang Bodoh” dalam Injil Lukas. Dikisahkan ada sepasang suami istri, yang belum lama menikah. Dasar tokcer, hanya dalam tempo sebulan, sang istri sudah hamil. Tapi kemudian ada masalah : sang istri ternyata mengidap kanker payudara. Karena alasan yang kurang jelas ia tak segera menceritakan masalah ini pada suaminya. Mungkin ia berpikir, masih akan ada cukup waktu mengobati kankernya, kelak, sehabis urusan si bayi selesai.
Sang jabang bayi kemudian lahir dengan selamat, sementara ibunya masih tetap merahasiakan penyakitnya. Malahan ia merayu sang suami untuk jalan-jalan ke Bali. Suaminya, dengan alasan “sayang ‘membuang-buang’ duit untuk keluyuran semacam itu”, menolak rayuan itu. Beberapa bulan berlalu, kanker yang menggerogoti sang istri mulai menunjukkan taringnya, terus mengganas, sampai akhirnya, singkat kisah, si istri pun meninggal.
Di tengah kesedihan karena kepergian istrinya, ada satu hal yang sangat disesalkan sang suami : soal tamasya ke Bali yang batal itu. Kepada teman-teman dekatnya ia selalu bilang bahwa hal yang paling disesalinya seumur hidupnya adalah karena ia sudah menolak ajakan tamasya ke Bali itu. Seandainya ketika itu ia tidak menolak, katanya, seandainya ia setuju saja pergi ke Bali, “paling tidak sekarang saya (masih) memiliki kenangan pernah bersama istri saya ke Bali”. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, bukan?
Pesan teologis yang mau disampaikan cerita itu adalah bahwa kita sebaiknya belajar menghargai rahmat yang diberikan kepada kita, dan tidak bersikap defensif kaku. Kalau memang ada kesempatan tamasya, artinya waktunya memungkinkan, dan duitnya juga ada—meski mungkin betul rada ‘mahal’—ya ambil saja, seraya sebagai orang beriman kita senantiasa percaya, bahwa rejeki dan rahmat dari “beliau” tidak akan berhenti sampai di sini saja. Nanti pulang dari Bali, rahmat yang lain sudah menanti.
Saya teringat istri saya ketika kisah ini dituturkan. Sudah beberapa kali ia bilang kepingin sekali ikut tour ke Jerusalem. Berbeda dengan saya, yang hanya pegawai gurem, kondisi keuangan dia lebih mendingan. Dari bonus tahunan yang didapatnya, jika mau sedikit nekat ia bisa saja melampiaskan mimpinya itu. Tapi saya selalu bilang padanya, “sayang membuang-buang duit hanya untuk sekadar keluyuran”, karena “masih banyak keperluan lain (biaya sekolah anak, misalnya) yang lebih urgen”. Menurut saya dia sungguh “egois” kalau tetap memaksakan diri pergi juga.
Bukankah lebih baik kalau uang itu disimpan saja—sebagai dana talangan--apalagi kondisi semakin hari semakin tak pasti. Siapa tahu sewaktu-waktu kita mungkin saja perlu dana besar untuk mengkaver keadaan yang sangat darurat, begitu kata saya selalu, penuh keyakinan. Tapi ketika pekan lalu saya mendengar kisah suami istri yang batal ke Bali itu, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya. Sudah betulkah sikap saya terhadap keinginan istri saya itu? Betulkah dia “egois”, atau sayakah yang sebetulnya “egois”?
Sang jabang bayi kemudian lahir dengan selamat, sementara ibunya masih tetap merahasiakan penyakitnya. Malahan ia merayu sang suami untuk jalan-jalan ke Bali. Suaminya, dengan alasan “sayang ‘membuang-buang’ duit untuk keluyuran semacam itu”, menolak rayuan itu. Beberapa bulan berlalu, kanker yang menggerogoti sang istri mulai menunjukkan taringnya, terus mengganas, sampai akhirnya, singkat kisah, si istri pun meninggal.
Di tengah kesedihan karena kepergian istrinya, ada satu hal yang sangat disesalkan sang suami : soal tamasya ke Bali yang batal itu. Kepada teman-teman dekatnya ia selalu bilang bahwa hal yang paling disesalinya seumur hidupnya adalah karena ia sudah menolak ajakan tamasya ke Bali itu. Seandainya ketika itu ia tidak menolak, katanya, seandainya ia setuju saja pergi ke Bali, “paling tidak sekarang saya (masih) memiliki kenangan pernah bersama istri saya ke Bali”. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, bukan?
Pesan teologis yang mau disampaikan cerita itu adalah bahwa kita sebaiknya belajar menghargai rahmat yang diberikan kepada kita, dan tidak bersikap defensif kaku. Kalau memang ada kesempatan tamasya, artinya waktunya memungkinkan, dan duitnya juga ada—meski mungkin betul rada ‘mahal’—ya ambil saja, seraya sebagai orang beriman kita senantiasa percaya, bahwa rejeki dan rahmat dari “beliau” tidak akan berhenti sampai di sini saja. Nanti pulang dari Bali, rahmat yang lain sudah menanti.
Saya teringat istri saya ketika kisah ini dituturkan. Sudah beberapa kali ia bilang kepingin sekali ikut tour ke Jerusalem. Berbeda dengan saya, yang hanya pegawai gurem, kondisi keuangan dia lebih mendingan. Dari bonus tahunan yang didapatnya, jika mau sedikit nekat ia bisa saja melampiaskan mimpinya itu. Tapi saya selalu bilang padanya, “sayang membuang-buang duit hanya untuk sekadar keluyuran”, karena “masih banyak keperluan lain (biaya sekolah anak, misalnya) yang lebih urgen”. Menurut saya dia sungguh “egois” kalau tetap memaksakan diri pergi juga.
Bukankah lebih baik kalau uang itu disimpan saja—sebagai dana talangan--apalagi kondisi semakin hari semakin tak pasti. Siapa tahu sewaktu-waktu kita mungkin saja perlu dana besar untuk mengkaver keadaan yang sangat darurat, begitu kata saya selalu, penuh keyakinan. Tapi ketika pekan lalu saya mendengar kisah suami istri yang batal ke Bali itu, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya. Sudah betulkah sikap saya terhadap keinginan istri saya itu? Betulkah dia “egois”, atau sayakah yang sebetulnya “egois”?
23 October 2008
Ryan Mau Jadi Presiden
Ryan mau jadi presiden. Dia tak malu-malu lagi sekarang. Setiap hari wajahnya nongol di televisi. Menebar senyum dan janji. Memamerkan taringnya. Dia bilang, dia membawa amanat bumi dan langit. Dia bilang merasa terpanggil melihat barisan orang susah bertambah panjang saja di republik yang ganjil ini. Dia berjanji bakal membereskan semua itu. Sepertinya dia teramat yakin dengan performanya. Dia muncul setiap hari di ruang tamu kita..Mengemis perhatian. Tak bosan mengulang-ulang janji sorganya. Mungkin ada juga yang kesengsem. Ibu-ibu yang suka nonton sinetron sepertinya bakal suka dengan tampang klimisnya. Dan rambut licinnya. Mungkin sudah banyak yang lupa Ryan dulu pernah membakar sebuah negeri seperti membakar sampah. Dan menembaki demonstran bagaikan bocah memencet semut.
17 October 2008
Tawuran dan Bangsa yang "Sakit"
TAWURAN di Jakarta (dan juga di kota-kota besar Indonesia lainnya) ternyata bukan hanya monopoli siswa sekolah lanjutan, yang nota bene masih dalam fase usia “baru gede”. Tawuran juga terbukti kini “diminati” oleh para mahasiswa. Kecuali itu tawuran juga sering dilakukan kelompok preman, anggota organisasi massa tertentu, bahkan oleh warga masyarakat biasa yang sehari-harinya dikenal sebagai warga yang santun dan baik.
Tak pelak lagi, tawuran agaknya telah menjadi fenomena yang bukan lagi lokal, tapi me-nasional Ajang yang dijadikan medan tawuran pun semakin meluas. Lihatlah, bahkan di forum-forum di mana sportivitas mestinya dipertontonkan dengan anggun, sebutlah di lapangan sepak bola kita, tawuran—antara sesama pemain, pemain lawan wasit, pendukung versus pendukung, dan sejumlah variasi lain--seperti sudah menjadi “menu tanbahan” yang wajib.
Ada yang bilang semua itu akibat dari belum becusnya kita berperilaku demokratis. Sejak Orde Baru terguling 10 tahun yang lalu, orang jadi lebih bebas menuangkan ekspresinya. Barangkali karena sudah puluhan tahun terkondisi hidup dalam sistem politik yang “membisukan”, yang tidak memungkinkan kita belajar bagaimana caranya ngomong dengan benar dan sopan, ekspresi kita lalu cenderung menjadi liar dan kampungan.
Sebagian orang mungkin malah mengartikan bahwa berperilaku demokratis itu identik dengan boleh berbuat apa saja kepada “pihak sana”. Perbedaan pendapat adalah barang najis yang tidak boleh ada dan bahkan musti ditumpas. Kebenaran menjadi monopoli “pihak kita”, sedang “mereka”, atau “pihak sana”, pasti salah, pasti sesat dan membahayakan, dan karenanya “halal hukumnya kalau mereka diganyang”.
Ada juga teori yang bilang bahwa tawuran adalah ekspresi dari luka kolektif yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Banyak orang begitu menaruh harapan akan adanya perbaikan situasi kehidupan yang signifikan sewaktu Orde Baru tergelimpang. Tapi mereka kemudian kecewa berat karena perbaikan yang mereka impikan itu bukan saja tidak muncul, malahan situasi dalam banyak segi menjadi lebih buruk dari sebelum Orde Baru tamat.
Luka dan kekecewaan itu bisa dengan gamblang kita “tonton” setiap hari di halaman koran dan media massa lain dalam bentuk, atau berupa sinyal di mana angka kriminalitas dan kekerasan terus meningkat tajam. Ada dua pola umum yang terlihat. Pertama, mereka yang sudah merasa habis daya biasanya ramai-ramai memilih bunuh diri—bukankah angka bunuh diri dan jumlah pasien rumah sakit jiwa dikabarkan naik tajam belakangan ini?
Kedua, mereka yang merasa masih punya daya, biasanya mencoba melampiaskan kekecewaan mereka dalam bentuk perilaku kekerasan, baik sendirian atau rame-rame. Demikianlah, tawuran menjadi salah satu “jalan keluar” yang dianggap wajar (oleh pelakunya) dari kondisi hidup serba sumpek dan buntu. Mereka menjadi cenderung ekstrim karena percaya bahwa cara-cara atau jalan keluar yang baik dan normal sudah tidak bisa dipakai lagi.
Tak pelak lagi, tawuran agaknya telah menjadi fenomena yang bukan lagi lokal, tapi me-nasional Ajang yang dijadikan medan tawuran pun semakin meluas. Lihatlah, bahkan di forum-forum di mana sportivitas mestinya dipertontonkan dengan anggun, sebutlah di lapangan sepak bola kita, tawuran—antara sesama pemain, pemain lawan wasit, pendukung versus pendukung, dan sejumlah variasi lain--seperti sudah menjadi “menu tanbahan” yang wajib.
Ada yang bilang semua itu akibat dari belum becusnya kita berperilaku demokratis. Sejak Orde Baru terguling 10 tahun yang lalu, orang jadi lebih bebas menuangkan ekspresinya. Barangkali karena sudah puluhan tahun terkondisi hidup dalam sistem politik yang “membisukan”, yang tidak memungkinkan kita belajar bagaimana caranya ngomong dengan benar dan sopan, ekspresi kita lalu cenderung menjadi liar dan kampungan.
Sebagian orang mungkin malah mengartikan bahwa berperilaku demokratis itu identik dengan boleh berbuat apa saja kepada “pihak sana”. Perbedaan pendapat adalah barang najis yang tidak boleh ada dan bahkan musti ditumpas. Kebenaran menjadi monopoli “pihak kita”, sedang “mereka”, atau “pihak sana”, pasti salah, pasti sesat dan membahayakan, dan karenanya “halal hukumnya kalau mereka diganyang”.
Ada juga teori yang bilang bahwa tawuran adalah ekspresi dari luka kolektif yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Banyak orang begitu menaruh harapan akan adanya perbaikan situasi kehidupan yang signifikan sewaktu Orde Baru tergelimpang. Tapi mereka kemudian kecewa berat karena perbaikan yang mereka impikan itu bukan saja tidak muncul, malahan situasi dalam banyak segi menjadi lebih buruk dari sebelum Orde Baru tamat.
Luka dan kekecewaan itu bisa dengan gamblang kita “tonton” setiap hari di halaman koran dan media massa lain dalam bentuk, atau berupa sinyal di mana angka kriminalitas dan kekerasan terus meningkat tajam. Ada dua pola umum yang terlihat. Pertama, mereka yang sudah merasa habis daya biasanya ramai-ramai memilih bunuh diri—bukankah angka bunuh diri dan jumlah pasien rumah sakit jiwa dikabarkan naik tajam belakangan ini?
Kedua, mereka yang merasa masih punya daya, biasanya mencoba melampiaskan kekecewaan mereka dalam bentuk perilaku kekerasan, baik sendirian atau rame-rame. Demikianlah, tawuran menjadi salah satu “jalan keluar” yang dianggap wajar (oleh pelakunya) dari kondisi hidup serba sumpek dan buntu. Mereka menjadi cenderung ekstrim karena percaya bahwa cara-cara atau jalan keluar yang baik dan normal sudah tidak bisa dipakai lagi.
06 October 2008
Soe Hok Gie, Sebuah Model
SOE HOK GIE barangkali telah menjadi separuh mitos. Belum lama ini saya melihat kumpulan catatan hariannya (Catatan Seorang Demonstran) kembali dicetak ulang LP3ES—saya tak sempat mengecek ini sudah cetak ulang yang keberapa. Tapi dari sisi ini, nyatalah Soe selain telah menjadi “separuh mitos”, juga telah menjadi sebuah komoditi yang sepertinya lumayan laris—meskipun film “Gie” yang dibesut Riri Riza ternyata tidak berhasil di pasar.
Soe Hok Gie barangkali memang “memenuhi syarat” untuk dimitoskan. Semasa hidupnya—yang singkat—ia dikenal sebagai—mulanya—aktivis mahasiswa 66 yang “berani”, lalu orang-orang di masa pasca Orde Lama mengenalnya juga sebagai sosok pemikir muda yang kritis dan kerap menebar kontroversi karena statemen-statemennya yang terus-terang dan sonder basa-basi. Almarhum Harsya W Bachtiar menggambarkannya sebagai sosok yang “mengerikan”, karena ia berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Itu sebabnya selain banyak pengagumnya, ia pun jadi “mengoleksi” banyak lawan dan musuh. Ironisnya, yang kemudian menjadi “musuh”nya termasuk juga mereka yang pada masa pra Orde Baru ikut “berjuang” turun ke jalan. Begitulah, sementara banyak konco-konco aktivisnya pada bergabung menjilat kaki penguasa, Soe tetap memilih berjalan sendirian di luar sistem dan kekuasaan, meneruskan sepak terjangnya yang, kata Harsya W Bachtiar, “mengerikan” itu.
Kematiannya yang mendadak dan tragis di sebuah ceruk Semeru, hampir 40 tahun yang lalu—usianya baru 27 saat itu—karena terhisap gas beracun, di luar dugaan malah meluruskan jalan untuk di kemudian hari mengubahnya menjadi “dongeng”. Bukankah ada orang yang menjadi terkenal karena mati pada saat yang tepat? Soe Hok Gie, barangkali, telah mati pada “saat yang tepat”. Maka kita kini jadi punya gambaran yang sepertinya akan jadi semakin kukuh (dan tunggal) : Soe adalah seorang intelektual yang keras kepala (dan kesepian) dan yang (sayangnya?) mati muda.
Di hari-hari ini, ketika banyak orang hampir tak tahu lagi kepada siapa mereka masih boleh percaya dan menggantungkan harapan, sosok Soe—yang “mengerikan” itu—seperti menawarkan oasis di tengah kegersangan. Tak bisa disangsikan lagi, banyak dari kita diam-diam rupanya menantikan seorang Soe yang lain. Seorang yang berani menolak berkompromi dengan segala muslihat dan kebusukan. Seorang yang terus berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Sampai di sini saya jadi pun jadi ragu : sungguh masih adakah “model pahlawan” yang seperti itu, hari-hari ini?
Soe Hok Gie barangkali memang “memenuhi syarat” untuk dimitoskan. Semasa hidupnya—yang singkat—ia dikenal sebagai—mulanya—aktivis mahasiswa 66 yang “berani”, lalu orang-orang di masa pasca Orde Lama mengenalnya juga sebagai sosok pemikir muda yang kritis dan kerap menebar kontroversi karena statemen-statemennya yang terus-terang dan sonder basa-basi. Almarhum Harsya W Bachtiar menggambarkannya sebagai sosok yang “mengerikan”, karena ia berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Itu sebabnya selain banyak pengagumnya, ia pun jadi “mengoleksi” banyak lawan dan musuh. Ironisnya, yang kemudian menjadi “musuh”nya termasuk juga mereka yang pada masa pra Orde Baru ikut “berjuang” turun ke jalan. Begitulah, sementara banyak konco-konco aktivisnya pada bergabung menjilat kaki penguasa, Soe tetap memilih berjalan sendirian di luar sistem dan kekuasaan, meneruskan sepak terjangnya yang, kata Harsya W Bachtiar, “mengerikan” itu.
Kematiannya yang mendadak dan tragis di sebuah ceruk Semeru, hampir 40 tahun yang lalu—usianya baru 27 saat itu—karena terhisap gas beracun, di luar dugaan malah meluruskan jalan untuk di kemudian hari mengubahnya menjadi “dongeng”. Bukankah ada orang yang menjadi terkenal karena mati pada saat yang tepat? Soe Hok Gie, barangkali, telah mati pada “saat yang tepat”. Maka kita kini jadi punya gambaran yang sepertinya akan jadi semakin kukuh (dan tunggal) : Soe adalah seorang intelektual yang keras kepala (dan kesepian) dan yang (sayangnya?) mati muda.
Di hari-hari ini, ketika banyak orang hampir tak tahu lagi kepada siapa mereka masih boleh percaya dan menggantungkan harapan, sosok Soe—yang “mengerikan” itu—seperti menawarkan oasis di tengah kegersangan. Tak bisa disangsikan lagi, banyak dari kita diam-diam rupanya menantikan seorang Soe yang lain. Seorang yang berani menolak berkompromi dengan segala muslihat dan kebusukan. Seorang yang terus berjalan lurus dengan prinsip-prinsipnya.
Sampai di sini saya jadi pun jadi ragu : sungguh masih adakah “model pahlawan” yang seperti itu, hari-hari ini?
Subscribe to:
Posts (Atom)