TAWURAN di Jakarta (dan juga di kota-kota besar Indonesia lainnya) ternyata bukan hanya monopoli siswa sekolah lanjutan, yang nota bene masih dalam fase usia “baru gede”. Tawuran juga terbukti kini “diminati” oleh para mahasiswa. Kecuali itu tawuran juga sering dilakukan kelompok preman, anggota organisasi massa tertentu, bahkan oleh warga masyarakat biasa yang sehari-harinya dikenal sebagai warga yang santun dan baik.
Tak pelak lagi, tawuran agaknya telah menjadi fenomena yang bukan lagi lokal, tapi me-nasional Ajang yang dijadikan medan tawuran pun semakin meluas. Lihatlah, bahkan di forum-forum di mana sportivitas mestinya dipertontonkan dengan anggun, sebutlah di lapangan sepak bola kita, tawuran—antara sesama pemain, pemain lawan wasit, pendukung versus pendukung, dan sejumlah variasi lain--seperti sudah menjadi “menu tanbahan” yang wajib.
Ada yang bilang semua itu akibat dari belum becusnya kita berperilaku demokratis. Sejak Orde Baru terguling 10 tahun yang lalu, orang jadi lebih bebas menuangkan ekspresinya. Barangkali karena sudah puluhan tahun terkondisi hidup dalam sistem politik yang “membisukan”, yang tidak memungkinkan kita belajar bagaimana caranya ngomong dengan benar dan sopan, ekspresi kita lalu cenderung menjadi liar dan kampungan.
Sebagian orang mungkin malah mengartikan bahwa berperilaku demokratis itu identik dengan boleh berbuat apa saja kepada “pihak sana”. Perbedaan pendapat adalah barang najis yang tidak boleh ada dan bahkan musti ditumpas. Kebenaran menjadi monopoli “pihak kita”, sedang “mereka”, atau “pihak sana”, pasti salah, pasti sesat dan membahayakan, dan karenanya “halal hukumnya kalau mereka diganyang”.
Ada juga teori yang bilang bahwa tawuran adalah ekspresi dari luka kolektif yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Banyak orang begitu menaruh harapan akan adanya perbaikan situasi kehidupan yang signifikan sewaktu Orde Baru tergelimpang. Tapi mereka kemudian kecewa berat karena perbaikan yang mereka impikan itu bukan saja tidak muncul, malahan situasi dalam banyak segi menjadi lebih buruk dari sebelum Orde Baru tamat.
Luka dan kekecewaan itu bisa dengan gamblang kita “tonton” setiap hari di halaman koran dan media massa lain dalam bentuk, atau berupa sinyal di mana angka kriminalitas dan kekerasan terus meningkat tajam. Ada dua pola umum yang terlihat. Pertama, mereka yang sudah merasa habis daya biasanya ramai-ramai memilih bunuh diri—bukankah angka bunuh diri dan jumlah pasien rumah sakit jiwa dikabarkan naik tajam belakangan ini?
Kedua, mereka yang merasa masih punya daya, biasanya mencoba melampiaskan kekecewaan mereka dalam bentuk perilaku kekerasan, baik sendirian atau rame-rame. Demikianlah, tawuran menjadi salah satu “jalan keluar” yang dianggap wajar (oleh pelakunya) dari kondisi hidup serba sumpek dan buntu. Mereka menjadi cenderung ekstrim karena percaya bahwa cara-cara atau jalan keluar yang baik dan normal sudah tidak bisa dipakai lagi.
Tak pelak lagi, tawuran agaknya telah menjadi fenomena yang bukan lagi lokal, tapi me-nasional Ajang yang dijadikan medan tawuran pun semakin meluas. Lihatlah, bahkan di forum-forum di mana sportivitas mestinya dipertontonkan dengan anggun, sebutlah di lapangan sepak bola kita, tawuran—antara sesama pemain, pemain lawan wasit, pendukung versus pendukung, dan sejumlah variasi lain--seperti sudah menjadi “menu tanbahan” yang wajib.
Ada yang bilang semua itu akibat dari belum becusnya kita berperilaku demokratis. Sejak Orde Baru terguling 10 tahun yang lalu, orang jadi lebih bebas menuangkan ekspresinya. Barangkali karena sudah puluhan tahun terkondisi hidup dalam sistem politik yang “membisukan”, yang tidak memungkinkan kita belajar bagaimana caranya ngomong dengan benar dan sopan, ekspresi kita lalu cenderung menjadi liar dan kampungan.
Sebagian orang mungkin malah mengartikan bahwa berperilaku demokratis itu identik dengan boleh berbuat apa saja kepada “pihak sana”. Perbedaan pendapat adalah barang najis yang tidak boleh ada dan bahkan musti ditumpas. Kebenaran menjadi monopoli “pihak kita”, sedang “mereka”, atau “pihak sana”, pasti salah, pasti sesat dan membahayakan, dan karenanya “halal hukumnya kalau mereka diganyang”.
Ada juga teori yang bilang bahwa tawuran adalah ekspresi dari luka kolektif yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Banyak orang begitu menaruh harapan akan adanya perbaikan situasi kehidupan yang signifikan sewaktu Orde Baru tergelimpang. Tapi mereka kemudian kecewa berat karena perbaikan yang mereka impikan itu bukan saja tidak muncul, malahan situasi dalam banyak segi menjadi lebih buruk dari sebelum Orde Baru tamat.
Luka dan kekecewaan itu bisa dengan gamblang kita “tonton” setiap hari di halaman koran dan media massa lain dalam bentuk, atau berupa sinyal di mana angka kriminalitas dan kekerasan terus meningkat tajam. Ada dua pola umum yang terlihat. Pertama, mereka yang sudah merasa habis daya biasanya ramai-ramai memilih bunuh diri—bukankah angka bunuh diri dan jumlah pasien rumah sakit jiwa dikabarkan naik tajam belakangan ini?
Kedua, mereka yang merasa masih punya daya, biasanya mencoba melampiaskan kekecewaan mereka dalam bentuk perilaku kekerasan, baik sendirian atau rame-rame. Demikianlah, tawuran menjadi salah satu “jalan keluar” yang dianggap wajar (oleh pelakunya) dari kondisi hidup serba sumpek dan buntu. Mereka menjadi cenderung ekstrim karena percaya bahwa cara-cara atau jalan keluar yang baik dan normal sudah tidak bisa dipakai lagi.
No comments:
Post a Comment