27 October 2008

Hemat Pangkal Sesal?

SAYA mendengar cerita ini di kelas Alkitab pekan lalu, yang disampaikan sebagai ilustrasi dari bab “Orang Kaya yang Bodoh” dalam Injil Lukas. Dikisahkan ada sepasang suami istri, yang belum lama menikah. Dasar tokcer, hanya dalam tempo sebulan, sang istri sudah hamil. Tapi kemudian ada masalah : sang istri ternyata mengidap kanker payudara. Karena alasan yang kurang jelas ia tak segera menceritakan masalah ini pada suaminya. Mungkin ia berpikir, masih akan ada cukup waktu mengobati kankernya, kelak, sehabis urusan si bayi selesai.

Sang jabang bayi kemudian lahir dengan selamat, sementara ibunya masih tetap merahasiakan penyakitnya. Malahan ia merayu sang suami untuk jalan-jalan ke Bali. Suaminya, dengan alasan “sayang ‘membuang-buang’ duit untuk keluyuran semacam itu”, menolak rayuan itu. Beberapa bulan berlalu, kanker yang menggerogoti sang istri mulai menunjukkan taringnya, terus mengganas, sampai akhirnya, singkat kisah, si istri pun meninggal.

Di tengah kesedihan karena kepergian istrinya, ada satu hal yang sangat disesalkan sang suami : soal tamasya ke Bali yang batal itu. Kepada teman-teman dekatnya ia selalu bilang bahwa hal yang paling disesalinya seumur hidupnya adalah karena ia sudah menolak ajakan tamasya ke Bali itu. Seandainya ketika itu ia tidak menolak, katanya, seandainya ia setuju saja pergi ke Bali, “paling tidak sekarang saya (masih) memiliki kenangan pernah bersama istri saya ke Bali”. Tapi penyesalan selalu datang belakangan, bukan?

Pesan teologis yang mau disampaikan cerita itu adalah bahwa kita sebaiknya belajar menghargai rahmat yang diberikan kepada kita, dan tidak bersikap defensif kaku. Kalau memang ada kesempatan tamasya, artinya waktunya memungkinkan, dan duitnya juga ada—meski mungkin betul rada ‘mahal’—ya ambil saja, seraya sebagai orang beriman kita senantiasa percaya, bahwa rejeki dan rahmat dari “beliau” tidak akan berhenti sampai di sini saja. Nanti pulang dari Bali, rahmat yang lain sudah menanti.

Saya teringat istri saya ketika kisah ini dituturkan. Sudah beberapa kali ia bilang kepingin sekali ikut tour ke Jerusalem. Berbeda dengan saya, yang hanya pegawai gurem, kondisi keuangan dia lebih mendingan. Dari bonus tahunan yang didapatnya, jika mau sedikit nekat ia bisa saja melampiaskan mimpinya itu. Tapi saya selalu bilang padanya, “sayang membuang-buang duit hanya untuk sekadar keluyuran”, karena “masih banyak keperluan lain (biaya sekolah anak, misalnya) yang lebih urgen”. Menurut saya dia sungguh “egois” kalau tetap memaksakan diri pergi juga.

Bukankah lebih baik kalau uang itu disimpan saja—sebagai dana talangan--apalagi kondisi semakin hari semakin tak pasti. Siapa tahu sewaktu-waktu kita mungkin saja perlu dana besar untuk mengkaver keadaan yang sangat darurat, begitu kata saya selalu, penuh keyakinan. Tapi ketika pekan lalu saya mendengar kisah suami istri yang batal ke Bali itu, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya. Sudah betulkah sikap saya terhadap keinginan istri saya itu? Betulkah dia “egois”, atau sayakah yang sebetulnya “egois”?

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...