PARTAI Keadilan Sejahtera (PKS), salah satu parpol berbasis konstituen Islam yang sejauh ini berhasil tampil “bersih” dan “moderat” terpeleset dalam serangkaian blunder, yang bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada perolehan suara mereka pada Pemilu 2009 kelak.
Blunder pertama terjadi sewaktu PKS mencantumkan nama mantan penguasa Orde Baru, Suharto, dalam sebuah “iklan politik” mereka belum lama ini. Dalam iklan itu, Suharto—yang oleh banyak kalangan masih dicap “nista”--disejajarkan dengan sejumlah tokoh pahlawan nasional yang nilai ketokohannya sudah dianggap “paten”. Iklan itu langsung menuai sinisme publik. PKS dianggap tengah mencoba “membaiki” kubu Cendana.
Tapi seperti sengaja melawan arus, tak lama sesudah manuver iklan itu, PKS malah bikin eksperimen lain lagi. Kali ini putri sulung Suharto, Tutut, yang digeret-geret, dihadiahi gelar “perempuan yang menginspirasi”. Protes pun bermunculan kembali, dan kali ini PKS cukup tanggap agaknya. Nama putri Suharto itu pun batal disertakan dalam hajatan mereka.
Heboh paling akhir dilakukan oleh Hidayat Nurwahid, mantan ketua PKS yang sekarang menduduki kursi pertama di MPR. Politikus kalem yang gemar tampil bersahaja itu meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar mengeluarkan fatwa “haram” bagi pemilih yang memutuskan “golput” pada Pemilu yang akan datang. Tentu banyak pihak heran dengan manuver ganjil (dan bodoh) dari tokoh PKS ini.
Partai Keadilan Sejahtera selama ini terkesan “percaya diri” dan “tidak grasa-grusu” dalam perilaku politiknya. Dan dengan gaya “slow but sure” itu sejauh ini mereka terus menunjukkan grafik prestasi yang bagus. Tapi serangkian blunder yang mereka buat mendadak menghapus kesan itu.
Kehebohan yang mereka timbulkan seolah “bukti” kecil (tapi penting) bahwa mereka ternyata tidak se-”low profile” dan se-“sabar” (pun tidak se-“demokratis”) seperti.selama ini disangka. Jadi, sungguh inikah wajah asli Partai Keadilan Sejahtera?
16 December 2008
09 December 2008
Jessy Gusman Kepingin Naik Bus Kota
SUATU ketika di tahun 1980-an, Jessy Gusman—yang kala itu masih seorang artis remaja papan atas nan cantik molek—mengatakan kepada seorang wartawan bahwa ia masih menyimpan sebuah keinginan terpendam yang sampai saat itu belum sempat dikecapnya. Anda tahu apa “keinginan terpendam” yang dimaksudnya? Ini : berjejalan naik bus kota di Jakarta.
Kemiskinan dan “hidup susah” memang bisa saja terlihat eksotis dan “indah” jika kita berkesempatan mengamatinya dari jarak yang cukup jauh dan aman. Artinya jika kita berada dalam posisi hanya sebagai “penonton”--atau paling jauh sekadar “saksi”—dan bukan pelaku, atau lebih tepat “korban”, dari lelakon hidup prihatin itu.
Begitu juga dengan pengalaman berjejalan dalam bus kota. Apa nikmatnya coba naik bus kota berdesakkan begitu : gerah, panas, bau, lengket? Setiap hari saya pulang pergi ke kantor dengan bus kota, dan saya tahu betul betapa tak nyamannya kondisi angkutan umum yang satu ini. Bukan hanya tak nyaman, pun tiada aman. Saya pernah dua kali digebukin copet—gara-gara mau meniru Bruce Lee hehehe--sampai hampir terlempar dari pintunya.
Maka jika si cantik Jessy Gusman dulu pernah berangan-angan kepengin merasakan pengalaman “berdesakkan dalam bus kota”, itu tentu harus dipahami sebagai keinginan seorang kaya dan mapan yang lagi sekadar haus pengalaman yang sedikit beda. Katakanlah itu semacam ovoturisme kecil-kecilan, yang tentu saja aman dan tak beresiko sama sekali. Karena sang artis masih berada dalam zona amannya sendiri.
Kemiskinan dan “hidup susah” memang bisa saja terlihat eksotis dan “indah” jika kita berkesempatan mengamatinya dari jarak yang cukup jauh dan aman. Artinya jika kita berada dalam posisi hanya sebagai “penonton”--atau paling jauh sekadar “saksi”—dan bukan pelaku, atau lebih tepat “korban”, dari lelakon hidup prihatin itu.
Begitu juga dengan pengalaman berjejalan dalam bus kota. Apa nikmatnya coba naik bus kota berdesakkan begitu : gerah, panas, bau, lengket? Setiap hari saya pulang pergi ke kantor dengan bus kota, dan saya tahu betul betapa tak nyamannya kondisi angkutan umum yang satu ini. Bukan hanya tak nyaman, pun tiada aman. Saya pernah dua kali digebukin copet—gara-gara mau meniru Bruce Lee hehehe--sampai hampir terlempar dari pintunya.
Maka jika si cantik Jessy Gusman dulu pernah berangan-angan kepengin merasakan pengalaman “berdesakkan dalam bus kota”, itu tentu harus dipahami sebagai keinginan seorang kaya dan mapan yang lagi sekadar haus pengalaman yang sedikit beda. Katakanlah itu semacam ovoturisme kecil-kecilan, yang tentu saja aman dan tak beresiko sama sekali. Karena sang artis masih berada dalam zona amannya sendiri.
02 December 2008
Tambah "Rapat"nya, Makin Krisisnya
RUANG rapat di kantor kami biasanya fully booked. Di ruang yang senantiasa berhawa sejuk itu biasa berkumpul “orang-orang pandai” : sebagian berdasi, kadang berjas sopan resmi.Biasanya mereka datang ke ruang itu dengan membawa berkas-berkas yang sepertinya telah dipersiapkan dengan “rumit & profesional”. Sebagian pada menenteng laptop. Sebagian dari mereka rupanya gemar bersuara keras—dalam arti bicara dengan nyaring. Kadang mereka terlihat saling berteriak, atau ketawa berkakakan seru sekali..
Menurut seorang pakar manajemen—Pablo Neruda atau Wislawa Symborska kalau tak keliru?—sebuah orgnanisasi yang baik akan berjalan hampir otomatis, karena ditunjang sistem yang rapi. Organisasi yang baik tidak tergantung pada kehadiran person-person tertentu—untuk level “top” ya, sebab merekalah “play maker” dan dalam situasi tertentu menjadi “imspirator” tim— tapi secara umum sistemlah yang menuntun semuanya mencapai tujuan. Tak diperlukan lagi rapat, kecuali mungkin rapat-rapat evaluasi rutin, sebab semua orang sudah pada tahu harus bikin apa dan bagaimana caranya.
Maka dalam organisasi yang benar, rapat adalah pertanda adanya “krisis”. Ada yang sedang tidak beres (seperti hari-hari ini), karena itu sejumlah orang lantas dipanggil, diminta berkumpul di ruang rapat, untuk bersama-sama duduk guna merumuskan kembali “apa” sasaran organisasi dan “bagaimana” mencapai sasaran kerja organisasi.
Karena itu silakan anda mulai mengira-ngira, apakah yang sedang terjadi dengan kantor anda, jika misalnya ruang rapat di sana selalu “penuh dipesan”? Jika kita setuju bahwa rapat adalah pertanda adanya “krisis”, apakah itu berarti kantor anda sedang begitu dilanda krisis, karena ada sejumlah orang sepanjang hari berkumpul di ruang rapat? Atau jika seringnya rapat adalah pertanda implisit “tidak beresnya sistem”, seberapa kacaukah sistem di kantor anda?
Aduh, mengapa saya menulis seperti ini, berlagak jadi pakar manajemen segala? Sebetulnya saya hanya sedang tertarik mengamati kelakuan orang-orang yang diundang ke ruang rapat. Bagi saya sendiri kata “rapat” memang mengandung konotasi yang tak nyaman. Rapat biasanya memang terkait dengan situasi yang tidak normal, yang darurat, bahkan sering gawat. Saya tak pernah tertarik diundang rapat—rapat kantor dan rapat lainnya. Kalau masih bisa saya mendingan “lari” saja, atau kirim wakil.
Rapat mungkin mirip juga sebuah pementasan : setiap person yang digiring ke dalam ruang rapat mempunyai tanggung jawab untuk menjaga supaya “pementasan rapat” berjalan sukses. Minimal ia bertanggung-jawab menjaga performanya sendiri supaya tidak kedodoran di depan yang lain—utamanya di depan atasan yang biasanya hadir juga. Bagi sejumlah orang, rapat memang ajang tempat dia “show” pamer “kepintaran” dengan cara “membantai” atau menggoblok-goblokkan yang lainnya.
Mungkin itu sebabnya perut saya suka mendadak mulas jika diundang rapat.
Menurut seorang pakar manajemen—Pablo Neruda atau Wislawa Symborska kalau tak keliru?—sebuah orgnanisasi yang baik akan berjalan hampir otomatis, karena ditunjang sistem yang rapi. Organisasi yang baik tidak tergantung pada kehadiran person-person tertentu—untuk level “top” ya, sebab merekalah “play maker” dan dalam situasi tertentu menjadi “imspirator” tim— tapi secara umum sistemlah yang menuntun semuanya mencapai tujuan. Tak diperlukan lagi rapat, kecuali mungkin rapat-rapat evaluasi rutin, sebab semua orang sudah pada tahu harus bikin apa dan bagaimana caranya.
Maka dalam organisasi yang benar, rapat adalah pertanda adanya “krisis”. Ada yang sedang tidak beres (seperti hari-hari ini), karena itu sejumlah orang lantas dipanggil, diminta berkumpul di ruang rapat, untuk bersama-sama duduk guna merumuskan kembali “apa” sasaran organisasi dan “bagaimana” mencapai sasaran kerja organisasi.
Karena itu silakan anda mulai mengira-ngira, apakah yang sedang terjadi dengan kantor anda, jika misalnya ruang rapat di sana selalu “penuh dipesan”? Jika kita setuju bahwa rapat adalah pertanda adanya “krisis”, apakah itu berarti kantor anda sedang begitu dilanda krisis, karena ada sejumlah orang sepanjang hari berkumpul di ruang rapat? Atau jika seringnya rapat adalah pertanda implisit “tidak beresnya sistem”, seberapa kacaukah sistem di kantor anda?
Aduh, mengapa saya menulis seperti ini, berlagak jadi pakar manajemen segala? Sebetulnya saya hanya sedang tertarik mengamati kelakuan orang-orang yang diundang ke ruang rapat. Bagi saya sendiri kata “rapat” memang mengandung konotasi yang tak nyaman. Rapat biasanya memang terkait dengan situasi yang tidak normal, yang darurat, bahkan sering gawat. Saya tak pernah tertarik diundang rapat—rapat kantor dan rapat lainnya. Kalau masih bisa saya mendingan “lari” saja, atau kirim wakil.
Rapat mungkin mirip juga sebuah pementasan : setiap person yang digiring ke dalam ruang rapat mempunyai tanggung jawab untuk menjaga supaya “pementasan rapat” berjalan sukses. Minimal ia bertanggung-jawab menjaga performanya sendiri supaya tidak kedodoran di depan yang lain—utamanya di depan atasan yang biasanya hadir juga. Bagi sejumlah orang, rapat memang ajang tempat dia “show” pamer “kepintaran” dengan cara “membantai” atau menggoblok-goblokkan yang lainnya.
Mungkin itu sebabnya perut saya suka mendadak mulas jika diundang rapat.
Subscribe to:
Posts (Atom)