RUANG rapat di kantor kami biasanya fully booked. Di ruang yang senantiasa berhawa sejuk itu biasa berkumpul “orang-orang pandai” : sebagian berdasi, kadang berjas sopan resmi.Biasanya mereka datang ke ruang itu dengan membawa berkas-berkas yang sepertinya telah dipersiapkan dengan “rumit & profesional”. Sebagian pada menenteng laptop. Sebagian dari mereka rupanya gemar bersuara keras—dalam arti bicara dengan nyaring. Kadang mereka terlihat saling berteriak, atau ketawa berkakakan seru sekali..
Menurut seorang pakar manajemen—Pablo Neruda atau Wislawa Symborska kalau tak keliru?—sebuah orgnanisasi yang baik akan berjalan hampir otomatis, karena ditunjang sistem yang rapi. Organisasi yang baik tidak tergantung pada kehadiran person-person tertentu—untuk level “top” ya, sebab merekalah “play maker” dan dalam situasi tertentu menjadi “imspirator” tim— tapi secara umum sistemlah yang menuntun semuanya mencapai tujuan. Tak diperlukan lagi rapat, kecuali mungkin rapat-rapat evaluasi rutin, sebab semua orang sudah pada tahu harus bikin apa dan bagaimana caranya.
Maka dalam organisasi yang benar, rapat adalah pertanda adanya “krisis”. Ada yang sedang tidak beres (seperti hari-hari ini), karena itu sejumlah orang lantas dipanggil, diminta berkumpul di ruang rapat, untuk bersama-sama duduk guna merumuskan kembali “apa” sasaran organisasi dan “bagaimana” mencapai sasaran kerja organisasi.
Karena itu silakan anda mulai mengira-ngira, apakah yang sedang terjadi dengan kantor anda, jika misalnya ruang rapat di sana selalu “penuh dipesan”? Jika kita setuju bahwa rapat adalah pertanda adanya “krisis”, apakah itu berarti kantor anda sedang begitu dilanda krisis, karena ada sejumlah orang sepanjang hari berkumpul di ruang rapat? Atau jika seringnya rapat adalah pertanda implisit “tidak beresnya sistem”, seberapa kacaukah sistem di kantor anda?
Aduh, mengapa saya menulis seperti ini, berlagak jadi pakar manajemen segala? Sebetulnya saya hanya sedang tertarik mengamati kelakuan orang-orang yang diundang ke ruang rapat. Bagi saya sendiri kata “rapat” memang mengandung konotasi yang tak nyaman. Rapat biasanya memang terkait dengan situasi yang tidak normal, yang darurat, bahkan sering gawat. Saya tak pernah tertarik diundang rapat—rapat kantor dan rapat lainnya. Kalau masih bisa saya mendingan “lari” saja, atau kirim wakil.
Rapat mungkin mirip juga sebuah pementasan : setiap person yang digiring ke dalam ruang rapat mempunyai tanggung jawab untuk menjaga supaya “pementasan rapat” berjalan sukses. Minimal ia bertanggung-jawab menjaga performanya sendiri supaya tidak kedodoran di depan yang lain—utamanya di depan atasan yang biasanya hadir juga. Bagi sejumlah orang, rapat memang ajang tempat dia “show” pamer “kepintaran” dengan cara “membantai” atau menggoblok-goblokkan yang lainnya.
Mungkin itu sebabnya perut saya suka mendadak mulas jika diundang rapat.
No comments:
Post a Comment