KETIKA mengawali seri tulisan cerita silat ini saya mengira
(bahkan hampir memastikan) bahwa nasib genre sastra yang satu ini sudah bisa dipastikan
“tamat”. Tapi penelusuran lebih jauh ternyata membawa saya
pada kesimpulan yang tidak semata hitam putih belaka. Arus besar penerbitan ulang buku-buku cerita
silat lama memang sudah terhenti, tetapi untuk menyimpulkan bahwa cerita silat
Cina sudah “selesai”, agaknya tidak tepat juga.
Saya baru mendusin bahwa di luar Binarto Gani (Pantja Satya)
dan Bing Cahyono (Wastu Lanas Grafika) ternyata ada sejumlah pemain lain yang
ikut juga meramaikan “dunia cerita persilatan” ini. Tersebutlah ADD Publishing dan Anjaya
Books yang fokus pada penerbitan buku-buku Oey Kim Tiang (OKT) dan Boe Beng Tjoe. Format buku terbitan mereka untuk sebagian
masih setia pada tampilan buku aslinya, tapi sebagian lagi sudah mengambil
tampilan yang lebih “hari ini”. Untuk bahasa dan gaya tutur, syuikurlah, mereka
sejalan dengan Wastu Lanas Grafika. Hemat
saya, buku-buku terbitan mereka digarap dengan cukup apik, tidak malu-maluin
untuk ditenteng ke mana-mana.
Ada juga Tjan
Brothers Publishing yang, dari namanya saja sudah bisa diraba, fokus pada
karya-karya terjemahan Tjan Ing Djioe alias Tjan ID. Penerjemah yang satu ini sejak awal sudah
memiliki jalannya sendiri—ia berada di luar mainstream yang selama
bertahun-tahun “dikuasai” duet Pantja Satya (Semarang) dan Keng Po-Mekar Jaya (Jakarta). Publik cerita silat semula berharap banyak
pada Tjan selewatnya generasi sepuh OKT dan Gan KL. Tapi harapan itu mungkin agak terlalu muluk. Karya-karya terjemahannya (meski cukup bejibun) ternyata seperti
kurang memiliki perbawa jika dibanding dengan karya-karya dua Cianpwe
legendaris pendahulunya.
Tapi yang paling membuat surpise adalah kehadiran penerbit See Yan Tjin Djin dari Bandung. Dari gudang cetak mereka sudah cukup banyak
buku yang beredar saat ini. Dan jika saya tak khilaf, semuanya adalah buku-buku
terjemahan anyar alias baru (bukan proyek lama yang diulang). Entah siapa yang
bertindak selaku penerjemahnya. Buku-buku See Yan Tjin Djin memiliki tampilan
yang baru pula, sangat beda dengan “saudara-saudaranya” terdahulu. Akan hal bagaimana gerangan rasa kisahnya (cukup
sedapkah atau biasa saja), saya belum lagi beruntung sempat menyicipinya. Ssst, satu dua judul sudah saya incar.
Jadi memang tersedia sejumlah pilihan. Penggemar cerita
silat yang netral bisa menjajal buku-buku keluaran See Yan Tjin Djin dan Tjan
Publishing (atau penerbit macam Sanjaya yang sudah lama eksis sebetulnya, tapi
tak cukup terekspos). Mereka yang fanatik pada karya-karya terjemahan klasik OKT
dan Gan KL silakan meneruskan perburuannya ke” liang-liang rase”. Kalau memang berjodoh, sejumlah kitab mestika
bukan tak mungkin akan jadi milik mereka. Jika tak kunjung
mendapatkannya bolehlah sedikit menurunkan standar buruan dan kemudian mengalihkan sasaran ke Pantja Satya dan Wastu
Lanas Grafika (bersama Masyarakat Tjerita Silat) seraya berharap mereka belum
kapok berjualan buku-buku “ganjil” itu.