SUNGGUH menarik
melihat bagaimana para penggagas penerbitan ulang buku-buku cerita silat
djadoel menyiasati barang dagangannya agar tetap diterima zaman yang berbeda.
Adalah Binarto Gani di Semarang dan Bing Cahyono di Surabaya yang pada mulanya mengawali
usaha cetak ulang kitab-kitab antik dan langka itu.
Binarto Gani adalah anak dari tjianpwe Gan Kok Liang (Gan
KL), itu sebabnya ia fokus pada usaha menerbitkan karya-karya sang ayahanda. Sementara Bing Cahyono, yang oleh majalah
Rimba Hijau dijuluki “Tong Shia dari Surabaya” berkutat pada karya-karya
tjianpwe Oey Kim Tiang (OKT) dan Boe Beng Tjoe. Ada juga karya tjianpwe Gan Kok Hwie (Gan KH, adik kandung tjianpwe Gan KL)
yang ia terbitkan ulang. Gani dan Bing memiliki
strategi pemasaran yang berbeda.
Menyadari bahwa bahasa atawa “gaya tutur” menjadi penghalang
utama bagi pembaca generasi masa kini untuk bisa menikmati cerita silat djadoel ini,
Binarto Gani lewat penerbit Pantja Satya
sudah sejak semula mengobrak-abrik “gaya tutur” sang ayahanda menjadi gaya
bercerita yang, menurutnya sendiri, “lebih sesuai dengan situasi sekarang”. Pembaca cersil dari generasi lama, macam saya
ini, kecewa berat dengan pendekatan teknis
Gani ini. Ia kelewat naïf, mengira bahwa kerja
mengarang hanyalah bagaimana berkisah menurut kaidah ejaan bahasa yang baku.
Entah bagaimana tanggapan sang ayahanda jika tahu hasil karyanya dipertukangkan
seperti itu.
Karena itu belakangan saya pun “menjauhi” buku-buku terbitan
Pantja Satya (Binarto Gani). Rasanya seperti menjamah barang-barang palsu atau tiruan. Jika menginginkan barang yang asli, saya akan
mencari buku-buku lama Gan KL, tapi sungguh bukan kerja mudah (dan tidak
pula murah) menemukan buku-buku asli Gan KL. Sampai sekarang saya hanya punya beberapa judul saja, itu pun bukan karya-karya "unggulan" beliau. Apa boleh buat, daripada membeli karya-karya "siucay tetiron" macam Binarto Gani.
No comments:
Post a Comment