BING CAHYONO, “sang Tongshia dari Surabaya” menempuh jalan
yang lebih idealis. Bing, yang memang seorang kolektor buku cerita silat tulen,
mencoba menghadirkan kembali buku-buku cerita silat lama sesuai aslinya. Ia bukan hanya mempertahankan ejaan yang
dipakai (khususnya untuk nama tokoh dan istilah “baku” semisal “liehiap” untuk
sebutan “pendekar wanita” ) tapi juga mencoba mempertahankan ukuran buku dan perwajahan
depan buku sesuai aslinya dulu.
Bersama dengan Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil) Surabaya
ia mengaku ingin menghilangkan kesan “murahan” yang menempel pada buku-buku cerita silat. Buku-buku terbitannya biasanya muncul dalam format tebal (tak
lagi dalam jilid lepasan), tersedia dalam edisi Soft Cover dan Hard Cover, lengkap
dengan box yang lumayan keren. Sebagai
penggemar lama terus terang saya merasa sangat berterima kasih sekaligus
beruntung bisa mendapatkan kembali buku-buku lawas tjianpwe Oey Kiem Tiang
(OKT) dan Boe Beng Tjoe dalam kondisi yang sangat “mewah” itu
Sayang, pada penerbitan-penerbitan yang paling akhir
buku-buku mereka telah bersalin rupa. Kesan
“artistik” yang pada awalnya hadir dengan kuat, kini pupus sudah. Entah ada kisah perseteruan apa di belakang
bersalin rupanya buku-buku terbitan Bing Cahyono cs, yang pasti bagi saya
justru buku-buku mereka sekarang malah jelas terkesan “murahan”—satu hal yang
dulu ingin dijauhi. Lihatlah apa yang terjadi pada penerbitan ulang buku "Soat San Hoei Houw" dan "Hoei Ho Gwa Toan". Sungguh sebuah kecelakaan artistik yang sangat patut disayangkan.
Untunglah Bing masih konsisten mempertahannkan “gaya tutur”
sebagaimana dalam kisah aslinya, sehingga “roh” tjianpwe OKT (dan Boe Beng Tjoe) masih bisa kita
rasakan kehadirannya saat membolak-balik halaman kitabnya.
No comments:
Post a Comment