SUDAH lama saya diusik tanya ini. Terakhir, gara-gara heboh film, Fitna, rasa terusik saya makin bertambah. Kenapa Islam kok kesannya serem ya? Gampang marah, cepat main ancam, sigap main boikot, dan kalau diperlukan, tangkas juga main serbu, main rusak, diteruskan dengan main bakar ini dan itu, dan lain sebagainya. Saya datang dari latar belakang bukan muslim, jadi maaf kalau saya tak begitu paham dengan semua fenomena itu.
Saya suka bertanya, apakah memang Islam sejatinya mengajar untuk cepat marah dan main hantam begitu, atau ini masalah tafsir belaka? Saya sering berusaha meyakin-yakinkan diri bahwa ini hanya soal tafsir barangkali. Saya katakan kepada diri saya, Islam yang sejati pastilah berwajah sejuk, meski bukan berarti lembek dan mandah saja diperlakukan berat sebelah. Sejauh yang pernah saya dengar dan baca, Rasulullah adalah sosok penyejuk seperti itu.
Maka saya suka pada figur damai dan moderat seperti Gus Dur, Nurcholis Majid, Emha Ainun Najib, Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa lainnya. Adakah mereka representasi yang paling mewakili Islam? Oh pasti banyak yang tidak setuju dengan pikiran itu. Bukankah pada masanya dulu almarhum Nurcholis Majid pun dianggap “murtad” karena gagasan sekularisasinya?
Ulil Abshar Abdalla malah pernah ditafwa mati oleh sejumlah ulama Islam di sini, karena pikiran dan omongan-omongannya dianggap ngawur dan menyesatkan. Emha? Ia pun saya kira bukan tokoh yang disukai oleh banyak ulama karena pikiran-pikirannya yang cenderung “nyeni”. Lalu Gus Dur. Ah kita sudah tahu ia banyak “mengoleksi” musuh justru dari kelompok muslim, dan malah meraih simpati dari kelompok yang non muslim.
Di luar nama-nama yang dituduh “liberal” itu kita bisa menemukan barisan muslim yang lain. Sebagian dari mereka menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi Islam yang “menentukan” di sini. Mereka, dengan atau minus sorban Arabnya, umumnya berwajah “tunggal” : mematok harga mati untuk banyak hal.
Tapi kadang saya mendapat kesan kelompok “keras” ini menampilkan wajah yang mendua. Misalnya, mereka suka mengeluarkan imbauan agar umat tidak “terpancing”, atau berapologi bahwa Islam menolak kekerasan, tapi mereka cenderung membiarkan kalau kekerasan itu kemudian sungguh terjadi. Setahu saya, MUI umpamanya, tidak pernah mengeluarkan semacam teguran (apalagi dampratan) kepada aksi-aksi anarkistis sepihak yang kerap dipamerkan oleh kelompok Front Pembela Islam.
Ini membingungkan saya. Sebetulnya mereka (MUI) setuju atau tidak pada aksi premanisme ala FPI itu? Saya, sekali lagi, tidak datang dari latar belakang muslim—meski beberapa teman karib saya adalah muslim semuslimnya—jadi maaf, apabila saya tak kunjung paham dengan fenomena ini. Adakah yang bersedia membantu menjelaskan?
Saya suka bertanya, apakah memang Islam sejatinya mengajar untuk cepat marah dan main hantam begitu, atau ini masalah tafsir belaka? Saya sering berusaha meyakin-yakinkan diri bahwa ini hanya soal tafsir barangkali. Saya katakan kepada diri saya, Islam yang sejati pastilah berwajah sejuk, meski bukan berarti lembek dan mandah saja diperlakukan berat sebelah. Sejauh yang pernah saya dengar dan baca, Rasulullah adalah sosok penyejuk seperti itu.
Maka saya suka pada figur damai dan moderat seperti Gus Dur, Nurcholis Majid, Emha Ainun Najib, Ulil Abshar Abdalla, dan beberapa lainnya. Adakah mereka representasi yang paling mewakili Islam? Oh pasti banyak yang tidak setuju dengan pikiran itu. Bukankah pada masanya dulu almarhum Nurcholis Majid pun dianggap “murtad” karena gagasan sekularisasinya?
Ulil Abshar Abdalla malah pernah ditafwa mati oleh sejumlah ulama Islam di sini, karena pikiran dan omongan-omongannya dianggap ngawur dan menyesatkan. Emha? Ia pun saya kira bukan tokoh yang disukai oleh banyak ulama karena pikiran-pikirannya yang cenderung “nyeni”. Lalu Gus Dur. Ah kita sudah tahu ia banyak “mengoleksi” musuh justru dari kelompok muslim, dan malah meraih simpati dari kelompok yang non muslim.
Di luar nama-nama yang dituduh “liberal” itu kita bisa menemukan barisan muslim yang lain. Sebagian dari mereka menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi Islam yang “menentukan” di sini. Mereka, dengan atau minus sorban Arabnya, umumnya berwajah “tunggal” : mematok harga mati untuk banyak hal.
Tapi kadang saya mendapat kesan kelompok “keras” ini menampilkan wajah yang mendua. Misalnya, mereka suka mengeluarkan imbauan agar umat tidak “terpancing”, atau berapologi bahwa Islam menolak kekerasan, tapi mereka cenderung membiarkan kalau kekerasan itu kemudian sungguh terjadi. Setahu saya, MUI umpamanya, tidak pernah mengeluarkan semacam teguran (apalagi dampratan) kepada aksi-aksi anarkistis sepihak yang kerap dipamerkan oleh kelompok Front Pembela Islam.
Ini membingungkan saya. Sebetulnya mereka (MUI) setuju atau tidak pada aksi premanisme ala FPI itu? Saya, sekali lagi, tidak datang dari latar belakang muslim—meski beberapa teman karib saya adalah muslim semuslimnya—jadi maaf, apabila saya tak kunjung paham dengan fenomena ini. Adakah yang bersedia membantu menjelaskan?
1 comment:
mas ook...(aku dolan ke rumah anda satunya nih)
njenengan ki polos atau apa nih???
lha kok FPI direstui MUI? lha siapa to mas yang dibalik FPI itu? hehehe
btw, tadi pagi aku juga liat orang teriak2 di depan ke dubes belanda, sambil menyebut nama Allah...
aduh mas, serem...
mungkin Gusti Allah sendiri ya ndredeg ya, nek mireng bengak bengok kayak gitu...
Post a Comment