SAYA termasuk orang yang tak begitu memusingkan ritual hari ulang tahun. Ulang tahun memang hari yang spesial, tapi saya tak ingin mengindentikkan hari itu dengan hari pesta umpamanya. Bagi saya ulang tahun adalah waktu yang lebih pas dipakai untuk merenung. Misalnya, cobalah anda bertanya sudah “berapa ton nasi yang anda telan sejak anda mbrojol di dunia ini”, atau pernakah anda menghitung “sudah berapa ribu liter air yang anda tenggak selama ini”. Atau lakukan hal-hal “gila” lain yang tidak sekedar berdimensi perut belaka.
Dulu waktu masih bujangan saya punya ritual sedikit khusus untuk merayakan hari ulang tahun. Pada hari yang “spesial” itu saya pasti tak masuk kerja. Kadang ijin baik-baik, sering juga bolos begitu saja. Seharian itu saya menghabiskan waktu untuk keluyuran sendirian berkeliling Jakarta dengan bus kota. Kadang saya berhenti di sebuah terminal, mengamati dengan takzim segala kesibukan di sana. Atau saya singgah di tempat-tempat lain, yang sudah lama (atau mendadak) kepingin saya kunjungi.
Bahasa “tinggi”nya saya mencoba berefleksi dengan hidup saya--dengan cara mencoba melihat hal-hal keseharian dari sudut pandang yang saya usahakan lain. Saya mencoba mengambil angle yang “tak biasa”. Singkatnya, hari itu saya kepingin bebas, berada di luar kungkungan sistem dan beban rutinitas yang saban hari “membunuh” saya. Hari ulang tahun adalah kesempatan saya merayakan “kemerdekaan”.Mencoba menjadi “bayi” kembali.
Untunglah istri dan kedua anak saya sekarang juga agak sependapat dengan cara saya dalam memandang urusan ini. Mereka sepakat bahwa hari ulang tahun memang “harus dibedakan” dengan hari biasa, tapi membedakannya tidak musti dengan cara bikin acara “makan-makan”. Banyak cara membuat hari yang spesial itu menjadi paling tidak terasa “sedikit beda” dengan hari lainnya.
Waktu ulang tahun saya kemarin dulu misalnya, anak saya membuatkan saya puisi, doa supaya sukses, bahagia, panjang umur, dan harapan supaya buku puisi saya diterima—saat ini saya memang tengah “berjuang” menawarkan naskah puisi saya ke penerbit, dan hasilnya masih tak jelas. Semua mereka tulis dengan sungguh-sungguh dan tulus di atas kertas buku biasa, dengan pensil biasa, tapi bagi saya justru terasa begitu manis, mengharukan—dan karenanya jadi tak biasa.
Masih ada tambahannya. Daniel (6), anak saya yang kedua, membelikan saya kaus kaki--dia tahu agaknya saya seorang “pejalan”, dan karenanya butuh kaus kaki, selain juga sepatu yang kuat. Sedang Frida (8), anak pertama saya, membelikan saya sebuah celana dalam—ah dia begitu peduli pada “kemelaratan” saya rupanya, dan tak rela kalau bapaknya sampai mendapat malu karena tak bercelana.
Sayang, celana dalam itu agak kebesaran ukurannya. Tapi tak mengapa. Yang penting sebuah usaha membuat hari ulang tahun menjadi “beda” telah coba mereka lakukan. Meskipun dengan cara yang sangat sederhana.
Dulu waktu masih bujangan saya punya ritual sedikit khusus untuk merayakan hari ulang tahun. Pada hari yang “spesial” itu saya pasti tak masuk kerja. Kadang ijin baik-baik, sering juga bolos begitu saja. Seharian itu saya menghabiskan waktu untuk keluyuran sendirian berkeliling Jakarta dengan bus kota. Kadang saya berhenti di sebuah terminal, mengamati dengan takzim segala kesibukan di sana. Atau saya singgah di tempat-tempat lain, yang sudah lama (atau mendadak) kepingin saya kunjungi.
Bahasa “tinggi”nya saya mencoba berefleksi dengan hidup saya--dengan cara mencoba melihat hal-hal keseharian dari sudut pandang yang saya usahakan lain. Saya mencoba mengambil angle yang “tak biasa”. Singkatnya, hari itu saya kepingin bebas, berada di luar kungkungan sistem dan beban rutinitas yang saban hari “membunuh” saya. Hari ulang tahun adalah kesempatan saya merayakan “kemerdekaan”.Mencoba menjadi “bayi” kembali.
Untunglah istri dan kedua anak saya sekarang juga agak sependapat dengan cara saya dalam memandang urusan ini. Mereka sepakat bahwa hari ulang tahun memang “harus dibedakan” dengan hari biasa, tapi membedakannya tidak musti dengan cara bikin acara “makan-makan”. Banyak cara membuat hari yang spesial itu menjadi paling tidak terasa “sedikit beda” dengan hari lainnya.
Waktu ulang tahun saya kemarin dulu misalnya, anak saya membuatkan saya puisi, doa supaya sukses, bahagia, panjang umur, dan harapan supaya buku puisi saya diterima—saat ini saya memang tengah “berjuang” menawarkan naskah puisi saya ke penerbit, dan hasilnya masih tak jelas. Semua mereka tulis dengan sungguh-sungguh dan tulus di atas kertas buku biasa, dengan pensil biasa, tapi bagi saya justru terasa begitu manis, mengharukan—dan karenanya jadi tak biasa.
Masih ada tambahannya. Daniel (6), anak saya yang kedua, membelikan saya kaus kaki--dia tahu agaknya saya seorang “pejalan”, dan karenanya butuh kaus kaki, selain juga sepatu yang kuat. Sedang Frida (8), anak pertama saya, membelikan saya sebuah celana dalam—ah dia begitu peduli pada “kemelaratan” saya rupanya, dan tak rela kalau bapaknya sampai mendapat malu karena tak bercelana.
Sayang, celana dalam itu agak kebesaran ukurannya. Tapi tak mengapa. Yang penting sebuah usaha membuat hari ulang tahun menjadi “beda” telah coba mereka lakukan. Meskipun dengan cara yang sangat sederhana.
4 comments:
hhmm... sama saya juga gitu.. ga pernah ada yg istimewa setiap ultah..biasa orang kampung, kenalnya cuma hari pasaran jawa, pas punya pacar aja mule deh.. ini itu kalo pas ultah..
salut buat anak2 anda yg lucu2.. :D
terima kasih, katanya ultah pake acara makan2 itu warisan londo-londo yang dulu njajah kita hehe ...
senengnya mas... anak2mu itu istimewa lo. hadiah yang sangat personal macam itu pasti muncul dari kedekatan personal yang intim
ya begitulah jeng, di tengah sempitnya waktu saya memang terus mencoba sedekat mungkin dengan mereka ... salam
Post a Comment