SAYA punya teman yang salah satu kesenangannya adalah membagi-bagikan cerita bernuansa relijius lewat internet. Tapi ia tak melakukannya lewat situs atau blog, melainkan dengan mengirimkannya lewat surat elektronik. Ia menganggap media surat elektronik sudah cukup ideal untuk memenuhi kesenangannya itu. Surat elektronik itu bersifat personal, jadi si penerima, kata teman saya ini, akan merasa diperlakukan juga dengan personal.
Berulang kali saya katakan bahwa “misi”nya berbagi hal-hal relijius itu akan lebih efektif kalau menggunakan media blog—dan bukan surat elektronik. Blog jangkauannya lebih luas dan jauh, bersifat massal dan tidak personal. Cerita-ceritamu yang bagus itu, kata saya, mungkin nanti akan terbaca oleh “entah siapa” yang tinggal “entah di mana” yang diam-diam jauh lebih membutuhkannya ketimbang orang atau teman yang sengaja kau kirimi ceritamu itu.
Lagi pula, kata saya, bagi banyak orang mengakses halaman situs jauh lebih mudah dan menyenangkan ketimbang membuka inbox pada surat elektronik yang harus melewati beberapa tahapan—belum lagi kalau pas akses internetnya payah. Makanya ada banyak orang yang malas membuka kotak suratnya. Jadi, kata saya, bisa saja pesanmu itu akhirnya tidak dibaca oleh mereka yang sengaja kau kirimi surat.
Saya yakinkan juga bahwa membuat situs pribadi tidak sulit. Saya pinjami dia beberapa buku panduan membuat blog sendiri—dan saya menawarkan diri membantunya, kalau ia mengalami kesulitan. Sepertinya dia mulai tertarik, tapi sesudah sempat ngendon beberapa bulan dalam lacinya, buku-buku itu akhirnya dikembalikan, dan ia tak kunjung juga membuat blog.
Ia bilang bahwa situs atau blog “relijius” sudah banyak, jadi, katanya buat apa saya musti menambah-nambahi lagi. Ia juga suka jengkel karena sering menemukan blog yang “sok relijius” dan “sok pintar”. Maka kata saya, itulah celah yang bisa kau isi : buatlah blog relijius yang tidak sok relijius dan tidak pula sok pintar—tapi yang tulus mau share hal-hal relijius untuk membuat orang jadi teduh. Ia hanya menggeleng mendengar argumen itu.
Ia pernah pula bertanya apa yang saya dapatkan dari kegiatan ngeblog. Saya katakan padanya, tak ada—selain kepuasan batin karena tulisan saya dibaca orang lain, dan (kadang-kadang) dikomentari. Ia tertawa mendengar jawaban itu, mungkin karena jawaban saya baginya terasa lucu, atau ganjil.Yang pasti ia masih belum juga membuat blog, dan masih rajin mengirimkan cerita-ceritanya lewat surat elektronik. Kadang-kadang saja saya membuka dan membacanya.
Berulang kali saya katakan bahwa “misi”nya berbagi hal-hal relijius itu akan lebih efektif kalau menggunakan media blog—dan bukan surat elektronik. Blog jangkauannya lebih luas dan jauh, bersifat massal dan tidak personal. Cerita-ceritamu yang bagus itu, kata saya, mungkin nanti akan terbaca oleh “entah siapa” yang tinggal “entah di mana” yang diam-diam jauh lebih membutuhkannya ketimbang orang atau teman yang sengaja kau kirimi ceritamu itu.
Lagi pula, kata saya, bagi banyak orang mengakses halaman situs jauh lebih mudah dan menyenangkan ketimbang membuka inbox pada surat elektronik yang harus melewati beberapa tahapan—belum lagi kalau pas akses internetnya payah. Makanya ada banyak orang yang malas membuka kotak suratnya. Jadi, kata saya, bisa saja pesanmu itu akhirnya tidak dibaca oleh mereka yang sengaja kau kirimi surat.
Saya yakinkan juga bahwa membuat situs pribadi tidak sulit. Saya pinjami dia beberapa buku panduan membuat blog sendiri—dan saya menawarkan diri membantunya, kalau ia mengalami kesulitan. Sepertinya dia mulai tertarik, tapi sesudah sempat ngendon beberapa bulan dalam lacinya, buku-buku itu akhirnya dikembalikan, dan ia tak kunjung juga membuat blog.
Ia bilang bahwa situs atau blog “relijius” sudah banyak, jadi, katanya buat apa saya musti menambah-nambahi lagi. Ia juga suka jengkel karena sering menemukan blog yang “sok relijius” dan “sok pintar”. Maka kata saya, itulah celah yang bisa kau isi : buatlah blog relijius yang tidak sok relijius dan tidak pula sok pintar—tapi yang tulus mau share hal-hal relijius untuk membuat orang jadi teduh. Ia hanya menggeleng mendengar argumen itu.
Ia pernah pula bertanya apa yang saya dapatkan dari kegiatan ngeblog. Saya katakan padanya, tak ada—selain kepuasan batin karena tulisan saya dibaca orang lain, dan (kadang-kadang) dikomentari. Ia tertawa mendengar jawaban itu, mungkin karena jawaban saya baginya terasa lucu, atau ganjil.Yang pasti ia masih belum juga membuat blog, dan masih rajin mengirimkan cerita-ceritanya lewat surat elektronik. Kadang-kadang saja saya membuka dan membacanya.
No comments:
Post a Comment