GONJANG-ganjing seputar “goyang gergaji” penyanyi dangdut Dewi Persik, yang kemudian berbuntut pada pencekalan atas penyanyi itu di wilayah Tangerang dan Bandung, adalah sebuah lagu lama. Bangsa ini dikenal munafik dalam banyak perkara—juga dalam urusan “goyang bergoyang” ini. Kita misalnya sering mengaku “anti pornografi”, tapi lihatlah berita-berita perkosaan ditampilkan dengan begitu vulgar di halaman-halaman koran, sampai hampir mirip novel stensilan, dan kita pun menyantapnya dengan lahap.
Masih ingat kasus pembunuhan seorang dara bernama Christine beberapa tahun lalu? Koran-koran dengan tangkasnya menelanjangi figur wanita yang ternyata sebelum dihabisi sudah sering “digarap” oleh pamannya sendiri itu. Mereka bahkan menjelajah sampai ke wilayah yang sangat pribadi. Misalnya saja perihal perilaku seksual Christine yang dianggap menyimpang tak ketinggalan dibahas juga. Saya masih ingat misalnya, sebuah koran besar (dan terhormat) di sini merasa perlu berkisah perihal ukuran liang dubur Christine yang dianggap “tidak lazim”—sebagai “bukti” bahwa almarhumah memang punya perilaku seksual tidak biasa.
Sedemikian rinci dan “tuntas” koran-koran membeberkan kasus ini sehingga rasanya tidak keliru kalau kita simpulkan bahwa Christine mengalami pembunuhan dua kali : pertama, dibunuh pamannya sendiri, dan kedua, dihabisi oleh media. Dan itulah sebetulnya wajah kita yang asli seaslinya dalam urusan beginian.
Dewi Persik (dulu ada Inul, dan entah siapa lagi) hanya korban dari sikap hipokrit kita. Kebetulan juga ini sudah dekat Pemilu, kebetulan juga di sana-sini lagi ada musim Pilkada, kebetulan juga ada politisi anu, atau pejabat itu, yang baru saja terpilih tapi merasa masih “utang setoran” kepada orang-orang di kampungnya; singkatnya ini memang lagi waktunya buat politisi “cari muka”, maka dicarilah korban. Dan yang apes kali ini Dewi Persik.
Tapi kalau kita mau berpikir dengan “teori dagang”, segala keributan ini sebetulnya malah berdampak bagus buat sang penyanyi. Ini sungguh promosi gratis yang luar biasa, bukan? Dulu Inul juga “dikerjain”, tapi ujung-ujungnya malah tambah “ngebor” karirnya. Maka kalau Dewi Persik hari ini dapat giliran “dikerjain”, percayalah besok dan lusa ia akan semakin “menggergaji” kita. Sampai di sini jelas sudah, “siapa mengerjai siapa” sebetulnya. Bravo “goyang gergaji”!
Masih ingat kasus pembunuhan seorang dara bernama Christine beberapa tahun lalu? Koran-koran dengan tangkasnya menelanjangi figur wanita yang ternyata sebelum dihabisi sudah sering “digarap” oleh pamannya sendiri itu. Mereka bahkan menjelajah sampai ke wilayah yang sangat pribadi. Misalnya saja perihal perilaku seksual Christine yang dianggap menyimpang tak ketinggalan dibahas juga. Saya masih ingat misalnya, sebuah koran besar (dan terhormat) di sini merasa perlu berkisah perihal ukuran liang dubur Christine yang dianggap “tidak lazim”—sebagai “bukti” bahwa almarhumah memang punya perilaku seksual tidak biasa.
Sedemikian rinci dan “tuntas” koran-koran membeberkan kasus ini sehingga rasanya tidak keliru kalau kita simpulkan bahwa Christine mengalami pembunuhan dua kali : pertama, dibunuh pamannya sendiri, dan kedua, dihabisi oleh media. Dan itulah sebetulnya wajah kita yang asli seaslinya dalam urusan beginian.
Dewi Persik (dulu ada Inul, dan entah siapa lagi) hanya korban dari sikap hipokrit kita. Kebetulan juga ini sudah dekat Pemilu, kebetulan juga di sana-sini lagi ada musim Pilkada, kebetulan juga ada politisi anu, atau pejabat itu, yang baru saja terpilih tapi merasa masih “utang setoran” kepada orang-orang di kampungnya; singkatnya ini memang lagi waktunya buat politisi “cari muka”, maka dicarilah korban. Dan yang apes kali ini Dewi Persik.
Tapi kalau kita mau berpikir dengan “teori dagang”, segala keributan ini sebetulnya malah berdampak bagus buat sang penyanyi. Ini sungguh promosi gratis yang luar biasa, bukan? Dulu Inul juga “dikerjain”, tapi ujung-ujungnya malah tambah “ngebor” karirnya. Maka kalau Dewi Persik hari ini dapat giliran “dikerjain”, percayalah besok dan lusa ia akan semakin “menggergaji” kita. Sampai di sini jelas sudah, “siapa mengerjai siapa” sebetulnya. Bravo “goyang gergaji”!
No comments:
Post a Comment