KABAR bakal segera naiknya harga BBM semakin santer. Presiden malah bilang pada level saat ini masalahnya bukan lagi “naik atau tidak”, melainkan “berapa naik”nya (Koran Tempo, 6 Mei 2008). Saya bukan ekonom, pun “buta huruf” soal ilmu ekonomi. Saya tak paham hitungan orang-orang pintar di atas sana yang menyimpulkan bahwa, dalam kondisi seperti sekarang ini, katanya, tidak menaikkan harga BBM malah akan mencemplungkan bangsa ini ke dalam jurang. Saya, sekali lagi, terlalu pandir untuk bisa memahami logika luhur itu.
Yang saya pahami sungguh teramat sederhana, bahwa kalau BBM harganya dinaikkan maka yang lain-lainnya otomatis harganya harus naik juga—kecuali gaji saya (karena menaikkan gaji bagi majikan hukumnya sunnah, bukan wajib). Dan itulah masalahnya. Anggaran belanja yang sudah mepet selama ini harus lebih dipepetkan lagi. Menu sarapan dan makan siang kudu diatur ulang. Mungkin perlu dipikirkan pula model langkah penghematan ekstra. Misalnya, Senin dan Kamis ditetapkan sebagai hari puasa, yah minimal puasa makan siang.
Ritual kunjungan ke warnet terpaksa dikurangi. Kalau biasanya bisa sampai 3 jam, nanti mungkin cukup maksimal 1 jam—dan cukup seminggu sekali. Satu jam itu harus bisa dimanfaatkan betul : memeriksa dan membuka email, mengecek kondisi blog sendiri, posting (naskahnya harus sudah siap, dibuat di kantor dengan cara curi-curi kesempatan, jadi tinggal copy paste). Sisa waktu baru dipakai blog walking dan browsing sekadarnya. Beruntunglah selama ini saya tak suka ber-chatting ria, jadi pengurangan waktu ini tak masalah.
Ini baru kalkulasi bodoh yang saya bikin untuk saya sendiri, dan hanya untuk beberapa hal yang kebetulan saya ingat saat menulis ini. Belum sempat saya pikirkan bagaimana nanti dengan beban belanja keluarga, biaya sekolah anak-anak, dan macam-macam lagi. Lebih tak terpikirkan lagi bagaimana gerangan saudara-saudara dan teman-teman saya yang “kebetulan” anggaran hidupnya lebih payah lagi dari saya harus menyiasati semua ini. Hampir bisa dipastikan tingkat kriminalitas akan tambah melonjak. Barisan orang stres dan gila akan makin panjang. Dan bunuh diri akan semakin menjadi “pilihan menarik” bagi sejumlah orang. Sungguh, saya jadi merasa tambah pandir saja membayangkan semua kemungkinan seram itu.
Yang juga segera terbayang di kepala saya adalah bahwa akan semakin tak pastilah nasib naskah buku puisi saya untuk bisa diterbitkan. Sejauh ini sudah 3 penerbit (salah satunya penerbit kakap) yang menolak naskah itu. Alasannya seragam dan sangat klasik : buku puisi susah lakunya. Maka ditambah dengan naiknya harga BBM (sesudah sebelumnya didahului kenaikan harga kertas) yang tentu berdampak langsung pada biaya produksi, akan samakin karamlah mimpi saya untuk bisa memiliki buku. Dalam situasi “separuh kiamat” ini tentu saja akan terasa lucu meributkan nasib sebuah naskah puisi dari seorang penulis tanggung yang kurang dikenal. Semua orang akan segera direpotkan dengan urusan mencari sekoci penyelamatnya masing-masing, bukan?
Yang saya pahami sungguh teramat sederhana, bahwa kalau BBM harganya dinaikkan maka yang lain-lainnya otomatis harganya harus naik juga—kecuali gaji saya (karena menaikkan gaji bagi majikan hukumnya sunnah, bukan wajib). Dan itulah masalahnya. Anggaran belanja yang sudah mepet selama ini harus lebih dipepetkan lagi. Menu sarapan dan makan siang kudu diatur ulang. Mungkin perlu dipikirkan pula model langkah penghematan ekstra. Misalnya, Senin dan Kamis ditetapkan sebagai hari puasa, yah minimal puasa makan siang.
Ritual kunjungan ke warnet terpaksa dikurangi. Kalau biasanya bisa sampai 3 jam, nanti mungkin cukup maksimal 1 jam—dan cukup seminggu sekali. Satu jam itu harus bisa dimanfaatkan betul : memeriksa dan membuka email, mengecek kondisi blog sendiri, posting (naskahnya harus sudah siap, dibuat di kantor dengan cara curi-curi kesempatan, jadi tinggal copy paste). Sisa waktu baru dipakai blog walking dan browsing sekadarnya. Beruntunglah selama ini saya tak suka ber-chatting ria, jadi pengurangan waktu ini tak masalah.
Ini baru kalkulasi bodoh yang saya bikin untuk saya sendiri, dan hanya untuk beberapa hal yang kebetulan saya ingat saat menulis ini. Belum sempat saya pikirkan bagaimana nanti dengan beban belanja keluarga, biaya sekolah anak-anak, dan macam-macam lagi. Lebih tak terpikirkan lagi bagaimana gerangan saudara-saudara dan teman-teman saya yang “kebetulan” anggaran hidupnya lebih payah lagi dari saya harus menyiasati semua ini. Hampir bisa dipastikan tingkat kriminalitas akan tambah melonjak. Barisan orang stres dan gila akan makin panjang. Dan bunuh diri akan semakin menjadi “pilihan menarik” bagi sejumlah orang. Sungguh, saya jadi merasa tambah pandir saja membayangkan semua kemungkinan seram itu.
Yang juga segera terbayang di kepala saya adalah bahwa akan semakin tak pastilah nasib naskah buku puisi saya untuk bisa diterbitkan. Sejauh ini sudah 3 penerbit (salah satunya penerbit kakap) yang menolak naskah itu. Alasannya seragam dan sangat klasik : buku puisi susah lakunya. Maka ditambah dengan naiknya harga BBM (sesudah sebelumnya didahului kenaikan harga kertas) yang tentu berdampak langsung pada biaya produksi, akan samakin karamlah mimpi saya untuk bisa memiliki buku. Dalam situasi “separuh kiamat” ini tentu saja akan terasa lucu meributkan nasib sebuah naskah puisi dari seorang penulis tanggung yang kurang dikenal. Semua orang akan segera direpotkan dengan urusan mencari sekoci penyelamatnya masing-masing, bukan?
No comments:
Post a Comment