PENGUMUMAN kenaikan harga BBM pada zaman Orba dan sekarang punya persamaan dan perbedaan. Persamaan kekalnya adalah bahwa pengumuman itu bagi sebagian besar kita identik dengan datangnya “musibah”. Meskipun para petinggi Orba gemar menggunakan kata “penyesuaian” sebagai ganti kata “kenaikan”, kita toh tahu belaka : “penyesuaian” itu adalah “bencana”, titik.
Lalu biasanya beberapa jam sebelum harga baru BBM “diresmikan” akan terjadi drama di pompa-pompa bensin. Mendadak banyak orang jadi seperti kehilangan akal warasnya, mereka rela antre berjam-jam lamanya hanya demi mengirit beberapa rupiah. Padahal kalau mereka membelinya besok, selisih harganya tidak jauh-jauh amat. Barangkali karena kita memang sudah terkondisi hidup dalam situasi yang selalu dibayangi “ketidakpastian”, orang jadi gampang dibikin panik (dan latah) oleh sedikit saja kabar perubahan.
Ada kisah menarik pada pengumuman kenaikan harga BBM jaman dulu. Sering terjadi para petinggi yang ditugaskan mengumumkan “musibah” itu menyampaikannya kepada publik sambil sibuk cengengesan. Adalah sastrawan Bur Rasuanto yang menjadi murka melihat hal ini. Ia lantas menulis dan mengomentari kelakuan “lucu” para petinggi Orba itu sebagai bukti adanya gejala “gangguan jiwa” pada yang bersangkutan.
Para petinggi sekarang agaknya banyak belajar dari kesalahan para seniornya. Mereka biasanya akan memasang mimik wajah “sedih”, “prihatin”, atau minimal menahan diri untuk tidak cengar-cengir saat mengumumkan kabar buruk bagi orang banyak itu. Supaya pementasan paripurna, biasanya akan ada sejumlah kata permohonan maaf dan penyesalan yang mereka ucapkan pula. Tentu semua disampaikan dengan (berpura-pura) takzim dan sedih.
Yang juga berbeda dengan dulu adalah bahwa orang sekarang bisa memprotes kenaikan itu secara terbuka--kalau dulu kan paling kita hanya berani menggerutu di belakang. Model forum protesnya pun bisa beragam : mulai dari talk show necis di layar kaca sampai aksi bakar-bakaran ban bekas plus adu lempar batu dan bom botol di jalanan atau ruang-ruang belajar. Pokoknya meriah dan seru deh.
Hanya sayang, segala forum protes itu akhirnya jatuh menjadi sekadar show belaka. Mereka yang terlibat di sana akhirnya ketahuan sebetulnya punya agendanya sendiri, sementara “rakyat” yang kerap mereka sebut, tertinggal entah di mana. Pun para mahasiswa kemudian terlihat hanya sok hebat dan heroik doang. Aksi-aksi mereka jatuh menjadi sekadar gerakan “premanisme jalanan”, tanpa konsep matang dan sopan santun akademik yang layak dipujikan.
Tapi barangkali itu semua wajar-wajar saja. Wajar dan jamak terjadi di sebuah republik yang menurut sebuah situs berita lokal di sini konon sembilan puluh persen dari penduduknya tengah mengidap depresi alias stress pada stadium akut.
Lalu biasanya beberapa jam sebelum harga baru BBM “diresmikan” akan terjadi drama di pompa-pompa bensin. Mendadak banyak orang jadi seperti kehilangan akal warasnya, mereka rela antre berjam-jam lamanya hanya demi mengirit beberapa rupiah. Padahal kalau mereka membelinya besok, selisih harganya tidak jauh-jauh amat. Barangkali karena kita memang sudah terkondisi hidup dalam situasi yang selalu dibayangi “ketidakpastian”, orang jadi gampang dibikin panik (dan latah) oleh sedikit saja kabar perubahan.
Ada kisah menarik pada pengumuman kenaikan harga BBM jaman dulu. Sering terjadi para petinggi yang ditugaskan mengumumkan “musibah” itu menyampaikannya kepada publik sambil sibuk cengengesan. Adalah sastrawan Bur Rasuanto yang menjadi murka melihat hal ini. Ia lantas menulis dan mengomentari kelakuan “lucu” para petinggi Orba itu sebagai bukti adanya gejala “gangguan jiwa” pada yang bersangkutan.
Para petinggi sekarang agaknya banyak belajar dari kesalahan para seniornya. Mereka biasanya akan memasang mimik wajah “sedih”, “prihatin”, atau minimal menahan diri untuk tidak cengar-cengir saat mengumumkan kabar buruk bagi orang banyak itu. Supaya pementasan paripurna, biasanya akan ada sejumlah kata permohonan maaf dan penyesalan yang mereka ucapkan pula. Tentu semua disampaikan dengan (berpura-pura) takzim dan sedih.
Yang juga berbeda dengan dulu adalah bahwa orang sekarang bisa memprotes kenaikan itu secara terbuka--kalau dulu kan paling kita hanya berani menggerutu di belakang. Model forum protesnya pun bisa beragam : mulai dari talk show necis di layar kaca sampai aksi bakar-bakaran ban bekas plus adu lempar batu dan bom botol di jalanan atau ruang-ruang belajar. Pokoknya meriah dan seru deh.
Hanya sayang, segala forum protes itu akhirnya jatuh menjadi sekadar show belaka. Mereka yang terlibat di sana akhirnya ketahuan sebetulnya punya agendanya sendiri, sementara “rakyat” yang kerap mereka sebut, tertinggal entah di mana. Pun para mahasiswa kemudian terlihat hanya sok hebat dan heroik doang. Aksi-aksi mereka jatuh menjadi sekadar gerakan “premanisme jalanan”, tanpa konsep matang dan sopan santun akademik yang layak dipujikan.
Tapi barangkali itu semua wajar-wajar saja. Wajar dan jamak terjadi di sebuah republik yang menurut sebuah situs berita lokal di sini konon sembilan puluh persen dari penduduknya tengah mengidap depresi alias stress pada stadium akut.
No comments:
Post a Comment