PERISTIWA kerusuhan Mei 1998—sering disebut Tragedi Mei—genap satu dasawarsa tahun ini. Bagi saya pribadi peristiwa ngeri itu seperti baru terjadi beberapa minggu yang lalu saja. Tak mudah memang melupakannya. Dan kalau kita mau sedikit melongok di beberapa kawasan ibu kota memang masih bisa kita temukan sampai hari ini beberapa “monumen” peninggalan dari horor itu : bangunan bekas toko atau perkantoran yang dibiarkan terlantar membangkai—karena pemiliknya mungkin ikut terbakar mati, sudah kabur entah ke mana, atau jadi kere dan gila.
Pengusutan atas tragedi hitam itu sendiri tampaknya tidak akan membuahkan hasil. Belum pernah memang sebuah kejahatan politik dalam skala besar di negara ini berhasil diungkap tuntas ke publik. Peristiwa G 30 S saja sampai kini masih tetap teka-teki, apalagi kerusuhan Mei 1998 yang “baru kemarin sore”, note bene sebagian korbannya adalah mereka dari kelompok etnis China yang—sudah dari dulu--memang ditargetkan jadi “langganan” untuk sesekali dijadikan tumbal demi “memuaskan” rasa frustrasi sosial di lapisan bawah.
Alih-alih mendapatkan kejelasan, sejumlah orang malah ada yang berani berspekulasi bahwa horor seperti Mei 1998 bukan tidak mungkin bakal terulang lagi. Tapi berdasarkah ketakutan semacam itu? Secara teoritis, selama kondisi negara masih “berantakan” seperti saat ini, dan elit politisi kita tidak kunjung juga belajar berlaku dewasa dalam perilaku politiknya, maka peluang untuk terjadinya kembali kerusuhan semacam Mei 1998 selalu terbuka.
Bukankah keadaan sosial politik pra Mei 1998 dulu sedikit banyak mirip dengan situasi kita hari-hari ini? Kita lihat misalnya di mana-mana barisan orang-orang yang kehilangan pekerjaan semakin panjang, ibu-ibu pada menunggu jatah minyak tanah atau berebut beras murah di siang bolong yang terik, harga bensin sebentar lagi naik, sementara kriminalitas terus meningkat jumlah dan brutalitasnya, dan masih begitu banyak penanda lain yang sebetulnya bisa dirasakan untuk belajar memahami betapa di lapisan bawah suhu sudah begitu “panas” dan “pengap” sekali.
Masalahnya apakah “kepengapan” itu sampai juga ke ruang-ruang sejuk para politisi dan petinggi negara ini? Oh, saya sungguh tak yakin dengan itu. Jadi, timbunan kayu-kayu bakar kering untuk bahan baku meletupkan chaos sudah tersedia lebih dari cukup. Tinggal siapa sekarang yang punya bensin dan menyimpan korek apinya—dan apakah ia cukup punya nyali memulai “permainan” itu kembali. Mungkin judul lakonnya nanti Tragedi Mei Part Two, atau semacam itulah.
Tapi saya berharap, sangat berharap, ini semua hanya ketakutan berlebihan dari saya saja. Saya harap begitu.
Pengusutan atas tragedi hitam itu sendiri tampaknya tidak akan membuahkan hasil. Belum pernah memang sebuah kejahatan politik dalam skala besar di negara ini berhasil diungkap tuntas ke publik. Peristiwa G 30 S saja sampai kini masih tetap teka-teki, apalagi kerusuhan Mei 1998 yang “baru kemarin sore”, note bene sebagian korbannya adalah mereka dari kelompok etnis China yang—sudah dari dulu--memang ditargetkan jadi “langganan” untuk sesekali dijadikan tumbal demi “memuaskan” rasa frustrasi sosial di lapisan bawah.
Alih-alih mendapatkan kejelasan, sejumlah orang malah ada yang berani berspekulasi bahwa horor seperti Mei 1998 bukan tidak mungkin bakal terulang lagi. Tapi berdasarkah ketakutan semacam itu? Secara teoritis, selama kondisi negara masih “berantakan” seperti saat ini, dan elit politisi kita tidak kunjung juga belajar berlaku dewasa dalam perilaku politiknya, maka peluang untuk terjadinya kembali kerusuhan semacam Mei 1998 selalu terbuka.
Bukankah keadaan sosial politik pra Mei 1998 dulu sedikit banyak mirip dengan situasi kita hari-hari ini? Kita lihat misalnya di mana-mana barisan orang-orang yang kehilangan pekerjaan semakin panjang, ibu-ibu pada menunggu jatah minyak tanah atau berebut beras murah di siang bolong yang terik, harga bensin sebentar lagi naik, sementara kriminalitas terus meningkat jumlah dan brutalitasnya, dan masih begitu banyak penanda lain yang sebetulnya bisa dirasakan untuk belajar memahami betapa di lapisan bawah suhu sudah begitu “panas” dan “pengap” sekali.
Masalahnya apakah “kepengapan” itu sampai juga ke ruang-ruang sejuk para politisi dan petinggi negara ini? Oh, saya sungguh tak yakin dengan itu. Jadi, timbunan kayu-kayu bakar kering untuk bahan baku meletupkan chaos sudah tersedia lebih dari cukup. Tinggal siapa sekarang yang punya bensin dan menyimpan korek apinya—dan apakah ia cukup punya nyali memulai “permainan” itu kembali. Mungkin judul lakonnya nanti Tragedi Mei Part Two, atau semacam itulah.
Tapi saya berharap, sangat berharap, ini semua hanya ketakutan berlebihan dari saya saja. Saya harap begitu.
No comments:
Post a Comment