SALAH satu hobi atau kesenangan senggang saya adalah membacai dan mengoleksi buku-buku cerita silat (cersil) Cina. Bukan buku-buku Kho Ping Hoo lho, tapi buku-buku yang merupakan saduran dari karya-karya Chin Yung, Liang I Shen, dan Wang Tu Lu—tiga nama yang sejauh ini masih dianggap paling representatif dari khazanah cerita silat. Di Indonesia buku-buku mereka sampai kepada pembacanya lewat tangan Oey Kim Tiang (OKT), Gan Kok Liang (Gan KL), dan beberapa nama lain seperti Gan Kok Hie (Gan KH), SD Liong, Tjan ID. Kecuali Tjan ID, nama-nama lainnya sudah pada pulang ke “langit barat”—alias marhum.
Saya pertama berkenalan dengan genre “novel silat” ini sewaktu kelas 5 SD. Waktu itu ada teman meminjami Istana Pulau Esnya Kho Ping Hoo (KPH) Sampai sekarang saya menganggap buku ini adalah salah satu karya monumental KPH. Selama lebih kurang 3 tahun saya keranjingan membaca buku-buku beliau, tapi kemudian menjadi bosan sendiri karena pola ceritanya ternyata mirip satu sama lain. Buku-buku KPH menurut saya menarik dibaca pada bagian awal sampai pertengahan, tapi sesudahnya malah hilang gregetnya—karena ending yang biasanya sudah terpola, jadi bisa ketebak duluan.
Pada saat kejenuhan pada buku-buku KPH mencapai puncaknya itulah saya berkenalan dengan karya Chin Yung, Sia Tiauw Eng Hiong (Memanah Burung Rajawali). Buku ini, bersama-sama dengan Sin Tiau Hiap Lu (Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar) dan Ie Thien To Liong (Kisah Membunuh Naga) konon katanya merupakan “buku wajib” untuk seorang penggila cerita silat. Menurut saya trilogi Chin Yung ini memang luar biasa. Dibanding dengan buku-buku KPH, oh jauh sekali rentang mutunya. Konon bahkan seorang Gus Dur pun sempat dibuat kesengsem.
Waktu itu saya membaca dengan cara menyewa. Tidak kepikiran untuk membeli apalagi mengoleksinya—lagi pula duitnya nggak ada. Booming buku-buku silat lalu surut memasuki dekade 80-an dan kemudian buku-buku jenis ini seperti raib. Saya pun kemudian seperti melupakannya begitu saja, dan lantas tenggelam dalam jenis bacaaan lain yang kata banyak orang “lebih bermutu” dan “lebih sastrawi” pula.
Suatu malam saya bermimpi—ini beneran lho—berkunjung ke sebuah toko buku. Di rak-rak buku toko itu saya menemukan jejeran buku-buku cerita silat yang pernah saya baca bertahun-tahun yang lalu. Ternyata memang kesenangan saya pada “novel silat” tidak menjadi padam—ia lalu nongol atau memantul lewat mimpi (jadi ingat teori mimpinya Freud). Saya lalu mulai bertanya-tanya di mana bisa mendapatkan kembali buku-buku itu. Pikir saya, kali ini saya harus membeli dan mengoleksinya.
Kemudian saya tahu, kerinduan pada buku-buku “aneh dan langka” itu ternyata bukan hanya menimpa saya. Banyak juga yang rupanya “bermimpi” kepingin memiliki dan membaca ulang buku-buku ini. Di pihak lain ternyata juga ada sejumlah orang “gila” yang berani mempertaruhkan “segalanya” demi menerbitkan ulang buku-buku yang sudah lama terkubur itu. Saya sebut mereka ini “gila”, karena dari kalkulasi dagang proyek ini bisa dipastikan jeblok—dan nyatanya begitu—tapi mereka masih terus juga—sampai hari ini—meneruskan ide gilanya itu.
Melalui orang-orang “gila” inilah akhirnya hasrat saya mengolekksi buku-buku silat itu kesampaian. Selain itu kadang saya sengaja “berburu” ke “liang rase”—istilah untuk menyebut tempat “rahasia” di mana masih dijual buku-buku jenis ini—guna memuaskan dahaga saya "mengembarai" lagi "dunia persilatan". Jadilah saya kolektor buku cerita silat kecil-kecilan. Kecil-kecilan, karena harga buku-buku itu ternyata masih saja terasa mahal—dibanding isi dompet seorang karyawan gurem seperti saya.
Tapi lumayanlah, sejumlah judul penting dan “wajib” seperti trilogi Sia Tiauw Eng Hiongnya Chin Yung, lalu sejumlah judul dari serial Thiansannya Liang I Shen yang termashur itu, serta pantalogi Ho Keng Kun Lunnya Wang Tu Lu sudah bisa saya dapat dan kini nangkring dengan gagahnya di rak buku saya.
Kadang saya berpikir “kegilaan” saya mengoleksi cersil ini jangan-jangan sebentuk rasa cemas tersamar. Kecemasan yang diam-diam merongrong sanubari saya melihat masa depan yang tak menentu. Mungkin dalam suasana gamang itu lantas muncul sebentuk perlawanan—atau usaha melarikan diri?—dengan cara mengawetkan rasa atau pengalaman “nikmat” yang pernah saya dapat sewaktu membaca buku-buku cersil itu di masa lampau. Mungkin, mungkin betul begitu.
Saya pertama berkenalan dengan genre “novel silat” ini sewaktu kelas 5 SD. Waktu itu ada teman meminjami Istana Pulau Esnya Kho Ping Hoo (KPH) Sampai sekarang saya menganggap buku ini adalah salah satu karya monumental KPH. Selama lebih kurang 3 tahun saya keranjingan membaca buku-buku beliau, tapi kemudian menjadi bosan sendiri karena pola ceritanya ternyata mirip satu sama lain. Buku-buku KPH menurut saya menarik dibaca pada bagian awal sampai pertengahan, tapi sesudahnya malah hilang gregetnya—karena ending yang biasanya sudah terpola, jadi bisa ketebak duluan.
Pada saat kejenuhan pada buku-buku KPH mencapai puncaknya itulah saya berkenalan dengan karya Chin Yung, Sia Tiauw Eng Hiong (Memanah Burung Rajawali). Buku ini, bersama-sama dengan Sin Tiau Hiap Lu (Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar) dan Ie Thien To Liong (Kisah Membunuh Naga) konon katanya merupakan “buku wajib” untuk seorang penggila cerita silat. Menurut saya trilogi Chin Yung ini memang luar biasa. Dibanding dengan buku-buku KPH, oh jauh sekali rentang mutunya. Konon bahkan seorang Gus Dur pun sempat dibuat kesengsem.
Waktu itu saya membaca dengan cara menyewa. Tidak kepikiran untuk membeli apalagi mengoleksinya—lagi pula duitnya nggak ada. Booming buku-buku silat lalu surut memasuki dekade 80-an dan kemudian buku-buku jenis ini seperti raib. Saya pun kemudian seperti melupakannya begitu saja, dan lantas tenggelam dalam jenis bacaaan lain yang kata banyak orang “lebih bermutu” dan “lebih sastrawi” pula.
Suatu malam saya bermimpi—ini beneran lho—berkunjung ke sebuah toko buku. Di rak-rak buku toko itu saya menemukan jejeran buku-buku cerita silat yang pernah saya baca bertahun-tahun yang lalu. Ternyata memang kesenangan saya pada “novel silat” tidak menjadi padam—ia lalu nongol atau memantul lewat mimpi (jadi ingat teori mimpinya Freud). Saya lalu mulai bertanya-tanya di mana bisa mendapatkan kembali buku-buku itu. Pikir saya, kali ini saya harus membeli dan mengoleksinya.
Kemudian saya tahu, kerinduan pada buku-buku “aneh dan langka” itu ternyata bukan hanya menimpa saya. Banyak juga yang rupanya “bermimpi” kepingin memiliki dan membaca ulang buku-buku ini. Di pihak lain ternyata juga ada sejumlah orang “gila” yang berani mempertaruhkan “segalanya” demi menerbitkan ulang buku-buku yang sudah lama terkubur itu. Saya sebut mereka ini “gila”, karena dari kalkulasi dagang proyek ini bisa dipastikan jeblok—dan nyatanya begitu—tapi mereka masih terus juga—sampai hari ini—meneruskan ide gilanya itu.
Melalui orang-orang “gila” inilah akhirnya hasrat saya mengolekksi buku-buku silat itu kesampaian. Selain itu kadang saya sengaja “berburu” ke “liang rase”—istilah untuk menyebut tempat “rahasia” di mana masih dijual buku-buku jenis ini—guna memuaskan dahaga saya "mengembarai" lagi "dunia persilatan". Jadilah saya kolektor buku cerita silat kecil-kecilan. Kecil-kecilan, karena harga buku-buku itu ternyata masih saja terasa mahal—dibanding isi dompet seorang karyawan gurem seperti saya.
Tapi lumayanlah, sejumlah judul penting dan “wajib” seperti trilogi Sia Tiauw Eng Hiongnya Chin Yung, lalu sejumlah judul dari serial Thiansannya Liang I Shen yang termashur itu, serta pantalogi Ho Keng Kun Lunnya Wang Tu Lu sudah bisa saya dapat dan kini nangkring dengan gagahnya di rak buku saya.
Kadang saya berpikir “kegilaan” saya mengoleksi cersil ini jangan-jangan sebentuk rasa cemas tersamar. Kecemasan yang diam-diam merongrong sanubari saya melihat masa depan yang tak menentu. Mungkin dalam suasana gamang itu lantas muncul sebentuk perlawanan—atau usaha melarikan diri?—dengan cara mengawetkan rasa atau pengalaman “nikmat” yang pernah saya dapat sewaktu membaca buku-buku cersil itu di masa lampau. Mungkin, mungkin betul begitu.
7 comments:
Mas Ook, saya membaca blog anda, menarik sekali. Disitu terdapat hal-hal yang sesuai dengan minat saya. Saya juga suka sekali cerita mafia, disamping filmnya saya juga punya koleksi buku-buku Mario Fuzo seperti The Last Don, Orang2 Sicilia dan Omerta. Saya juga sejak SMP suka baca silat cina KPH. Sekarang saya ingin membaca lagi silat cina tapi bukan KPH. Kalau anda berkenan boleh nggak saya mengkopi satu atau dua buku GKL, saya mau coba membacanya.
Mas Rasoed, trims untuk kunjungannya.
Tentang buku Gan KL, saya cuma punya beberapa. Buku2 GKL yg dicetak ulang sdh mengalami perobahan gaya bahasa, jadi buat saya kurang asyik bacanya--beda dgn buku OKT yg msh pake gaya bahasa tahun 50/60-an. Lalu, cetakan ulang itu skrg dibundel (gabungan bbrp buku dijadikan satu jilid), jadi kelewat tebal untuk dikopi.
Kalau mau jajal juga GKL, saya sarankan coba beli jilid 1 dan 2 bukunya yg berjudul "Pendekar2 Negeri Tayli". Ini tidak dibundel, jadi agak tipis, skrg dicetak ulang & sdh sampai jilid 11.
Kebetulan saya blom punya buku ini, karena selama ini saya fokusnya ke buku2 OKT. Sepertinya "Pendekar2 Negeri Tayli" ini salah satu buku penting GKL. Saya baca2 sekelebatan kemarin dulu di toko kayaknya menarik juga.
Jadi, silakan nyobain deh ...
Salam
Mas Ook,
Saya adalah salah satu penggemar cersil. Seperti anda saya juga tidak terlalu menyukai tulisan Kho Ping Ho, karena seperti anda katakan, karangannya hanya merupakan siaran ulangan dari judul satu ke judul lainnya. Kurang variasi.
Saya cuman mau memberikan info saja bahwa Gan KH itu masih hidup dan tinggal di Semarang. Saya kebetulan pernah dikenalkan melalui teman.
Sebenarnya ada satu lagi seri yang cukup menarik untuk dibaca yaitu seri dari Peng Coan Thian Lie (Bidadari Sungai Es) yang diawali dengan Peng Cong Hiap Eng. Saya sudah lupa persisnya, tapi serinya cukup banyak dan menarik ceritanya.
Ternyata sampeyan bener. Gan KH sudah meninggal tanggal 30 April 2007. Memang saya ketemu tahun lalu.
saya rasa bukan cermin dari kecemasan akan masa depan lalu melarikan diri pada kesenangan jaman kecil. saya kenal orang2 yg sukses secara materi dan karir (saya percaya bung Ook juga termasuk di dalamnya), namun tetap kecanduan pada cersil. memang cersil terutama karya chin yung, gu long dan sejenisnya membuat ketagihan...
Pak ook, aq lagi cari to liong to yang versi 50/60an yang dulu, kalo emang punya mo dunk di copyin..
He he tentulah anda sedang bercanda, bagaimana mungkin saya mengcopy To Liong To yang 22 jilid itu?
Sepertinya To Liong To dicetak ulang. harganya lumayan mahal. Ada juga versi yg lebih murah, terbitan San Pasar Baru. Entah masih ada atau tidak. Coba cari di Globe pasar baru Jakarta--kalau memang serius.
Post a Comment