PERCINTAAN adalah nasib yang aneh—begitulah bunyi sebuah baris puisi Taufiq Ismail yang saya sukai. Usia perkawinan kami hari ini genap 9 tahun. Sebuah perjalanan yang masih sangat pendek—10 tahun saja belum nyampe. Belum ada apa-apa yang “pantas” diomongkan barangkali. Tapi tak ada salahnya satu dua catatan dibuat—sekedar bahan refleksi pribadi.
Tahukah anda, dulu saya sempat berpikir untuk hidup membujang sampai tua? Karena ketika itu saya teramat yakin tak bakal ada seorang perempuan pun yang akan bisa “menerima” saya. Orang-orang mengenal saya sebagai contoh pribadi yang “sulit”. Sulit diatur, sulit bergaul, sulit rejekinya, dan menampik pula agama, karena saya merasa Tuhan dan agama hanya semacam hiburan palsu. Jadi lengkaplah ke”alienasi”an saya saat itu.
Ketika lalu saya kepincut eksistensialisme—maka itu lebih karena alasan emosional. Filsuf favorit saya Sartre dan Camus.Tentu saja kalimat terkenal Sartre yang pernah berkoar bahwa “orang lain itulah neraka” menjadi salah satu “pegangan” penting saya..Novel Camus yang berjudul “Orang Asing” adalah salah satu bacaan kesukaan saya. Salah satu film favorit saya adalah Alice in Town besutan Wim Wenders, karena film itu berhasil dengan luar biasa menggambarkan situasi terasing kehidupan manusia modern.
Dan kalau diminta merumuskan apa itu hidup, maka saya akan bilang “oh, hidup bagiku hanyalah sebuah perjalanan panjang yang sunyi”—itu konon kata-kata Hemingway yang disadur lewat tokoh pak tua dalam novelnya The Old Man and The Sea. Ungkapan favorit lain yang kerap saya pakai untuk menggambarkan situasi solitaire saya adalah “lonely wolf”. Serigala yang kesepian—ya, itulah saya.
Tapi betul kata Taufiq Ismail, percintaan adalah nasib yang aneh. Banyak hal kemudian jadi berubah—namun terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Yang pasti hari ini usia perkawinan saya genap 9 tahun. Dua anak lahir dari perkawinan itu. Mereka masih kecil-kecil, yang sulung tahun ini baru kelas 2 SD. Kadang terbersit rasa was-was tentang masa depan mereka, mengingat umur saya yang sekarang sudah Ashar, sementara saya hanya seorang karyawan biasa dengan gaji ngepas tiap bulannya.
Tapi seorang teman yang relijius membesarkan semangat saya. Katanya selalu, “Tuhan jauh lebih pandai mengurus anak dibanding kau, jadi tenang sajalah”. Maka, saya pun mencoba tenang. Menjalani hidup seperti jutaan orang lain menjalaninya, melewati sehari demi sehari dengan segala suka dukanya.
Telah saya tanggalkan tema-tema kelam “stranger in the night” model Dostoevski yang lama menelikung saya. Kini saya hanyalah bagian “anonim” dari sebuah kafilah raksasa yang mencoba menyebrangi “the long and winding road” yang membentang tak terbatas di depan kami, sebuah padang gurun kering, sebuah “waste land”, untuk mengutip Elliot —tapi dengan semangat yang—mudah-mudahan betul—sudah berubah.. .
Tahukah anda, dulu saya sempat berpikir untuk hidup membujang sampai tua? Karena ketika itu saya teramat yakin tak bakal ada seorang perempuan pun yang akan bisa “menerima” saya. Orang-orang mengenal saya sebagai contoh pribadi yang “sulit”. Sulit diatur, sulit bergaul, sulit rejekinya, dan menampik pula agama, karena saya merasa Tuhan dan agama hanya semacam hiburan palsu. Jadi lengkaplah ke”alienasi”an saya saat itu.
Ketika lalu saya kepincut eksistensialisme—maka itu lebih karena alasan emosional. Filsuf favorit saya Sartre dan Camus.Tentu saja kalimat terkenal Sartre yang pernah berkoar bahwa “orang lain itulah neraka” menjadi salah satu “pegangan” penting saya..Novel Camus yang berjudul “Orang Asing” adalah salah satu bacaan kesukaan saya. Salah satu film favorit saya adalah Alice in Town besutan Wim Wenders, karena film itu berhasil dengan luar biasa menggambarkan situasi terasing kehidupan manusia modern.
Dan kalau diminta merumuskan apa itu hidup, maka saya akan bilang “oh, hidup bagiku hanyalah sebuah perjalanan panjang yang sunyi”—itu konon kata-kata Hemingway yang disadur lewat tokoh pak tua dalam novelnya The Old Man and The Sea. Ungkapan favorit lain yang kerap saya pakai untuk menggambarkan situasi solitaire saya adalah “lonely wolf”. Serigala yang kesepian—ya, itulah saya.
Tapi betul kata Taufiq Ismail, percintaan adalah nasib yang aneh. Banyak hal kemudian jadi berubah—namun terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Yang pasti hari ini usia perkawinan saya genap 9 tahun. Dua anak lahir dari perkawinan itu. Mereka masih kecil-kecil, yang sulung tahun ini baru kelas 2 SD. Kadang terbersit rasa was-was tentang masa depan mereka, mengingat umur saya yang sekarang sudah Ashar, sementara saya hanya seorang karyawan biasa dengan gaji ngepas tiap bulannya.
Tapi seorang teman yang relijius membesarkan semangat saya. Katanya selalu, “Tuhan jauh lebih pandai mengurus anak dibanding kau, jadi tenang sajalah”. Maka, saya pun mencoba tenang. Menjalani hidup seperti jutaan orang lain menjalaninya, melewati sehari demi sehari dengan segala suka dukanya.
Telah saya tanggalkan tema-tema kelam “stranger in the night” model Dostoevski yang lama menelikung saya. Kini saya hanyalah bagian “anonim” dari sebuah kafilah raksasa yang mencoba menyebrangi “the long and winding road” yang membentang tak terbatas di depan kami, sebuah padang gurun kering, sebuah “waste land”, untuk mengutip Elliot —tapi dengan semangat yang—mudah-mudahan betul—sudah berubah.. .
No comments:
Post a Comment