Pastor yang terhormat,
Memang menjengkelkan melihat kelakuan umat yang “sembarangan” pada perayaan misa kudus. Tetapi apakah juga tepat kalau kemudian pastor musti mengganti khotbah dengan acara marah-marah? Terus terang saya jadi merasa terganggu dengan gaya pastor dalam beberapa pekan terakhir ini. Sungguh tidak nyaman rasanya jauh-jauh datang ke gereja hanya untuk melihat pastornya mencak-mencak di altar, meskipun menurut Injil, Yesus junjungan kita juga pernah marah besar sewaktu melihat sinagoga dipakai menjadi tempat berjualan. Suatu hal yang kita tahu masih berlangsung sampai saat ini di gereja-gereja modern.
Menurut saya pastor sebaiknya fokus saja pada umat yang memang serius mengikuti misa. Sedang untuk umat yang sibuk cengengesan, atau main SMS itu, bolehlah disindir sesekali—tapi tidak usahlah sampai “kalap” seperti pastor pertontonkan belakangan ini. Umat yang tidak serius adalah fenomena umum. Dalam bidang apa pun—agama, seni, sport, sebutlah apa saja--selalu ada dua kecenderungan itu : kecenderungan untuk “serius” dan kecenderungan untuk “main-main”. Dan biasanya kelompok yang “main-main” jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang yang mengaku “serius”. Itu juga mungkin sudah hukum alam. Umat katolik di manapun pasti juga begitu.
Ah, saya terka pastor akan menyergah seraya mengutip Injil perihal perumpamaan “domba yang hilang “ atau “dirham yang hilang”, bukan? Bahwa sorga akan lebih bersuka-cita kalau umat katolik yang berkelakuan “brengsek” itu bisa dipertobatkan—ketimbang repot mengurusi barisan umat “anak mami” yang tak memerlukan lagi pertobatan. Terserahlah kalau begitu. Artinya, kita berbeda pendapat, dan itu tak apa-apa juga, bukan?
Ada satu hal lagi, harap pastor jangan jadi tersinggung. Mutu umat sedikit banyak juga sangat tergantung pada mutu pastornya. Kita omong fair saja, ada banyak pastor yang memang harus dibilang tidak bermutu. Mereka membawakan misa seperti tanpa penghayatan, doa syukur agung didaraskan secepat kilat, ngebut macam pesawat jet F 16 , belum lagi khotbahnya tidak menggugah samasekali. Lha, kalau pastornya saja memble bagaimana umatnya tidak memble?
Menurut saya wajar dan sah saja kalau umat menuntut pastornya tampil “ekstra”. Umat itu tidak bodoh, pastor, jadi jangan pernah meremehkan mereka. Umat yang datang ke gereja mungkin sudah puyeng dan stres dengan tumpukan masalah sehari-hari. Mereka kepingin mendapatkan yang lain di gereja, mungkin sesuatu yang bisa membuat mereka tercerahkan. Sesuatu yang bisa mereka bawa sebagai bekal pulang, guna melanjutkan ziarah mereka di bumi yang kacau balau ini. Tapi kalau ternyata yang ditemuinya malah pastor-pastor yang menambah puyeng kepala mereka, siapa yang musti disalahkan dalam hal ini?
Ah, sebetulnya saya tak bermaksud menghakimi, tapi tak ada salahnya barangkali seorang pastor sekali-sekali menerima masukan semacam ini. Saya jadi ingat seloroh serius seorang pastor asal Flores yang pernah bilang bahwa “memang banyak pastor yang harus dinjili lagi”, diisi ulang lagi baterenya. Mungkin beliau benar, kan pastor juga manusia biasa saja, sama seperti umat-umat “brengsek” itu, sama dengan saya, dan kita semua.
Memang menjengkelkan melihat kelakuan umat yang “sembarangan” pada perayaan misa kudus. Tetapi apakah juga tepat kalau kemudian pastor musti mengganti khotbah dengan acara marah-marah? Terus terang saya jadi merasa terganggu dengan gaya pastor dalam beberapa pekan terakhir ini. Sungguh tidak nyaman rasanya jauh-jauh datang ke gereja hanya untuk melihat pastornya mencak-mencak di altar, meskipun menurut Injil, Yesus junjungan kita juga pernah marah besar sewaktu melihat sinagoga dipakai menjadi tempat berjualan. Suatu hal yang kita tahu masih berlangsung sampai saat ini di gereja-gereja modern.
Menurut saya pastor sebaiknya fokus saja pada umat yang memang serius mengikuti misa. Sedang untuk umat yang sibuk cengengesan, atau main SMS itu, bolehlah disindir sesekali—tapi tidak usahlah sampai “kalap” seperti pastor pertontonkan belakangan ini. Umat yang tidak serius adalah fenomena umum. Dalam bidang apa pun—agama, seni, sport, sebutlah apa saja--selalu ada dua kecenderungan itu : kecenderungan untuk “serius” dan kecenderungan untuk “main-main”. Dan biasanya kelompok yang “main-main” jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang yang mengaku “serius”. Itu juga mungkin sudah hukum alam. Umat katolik di manapun pasti juga begitu.
Ah, saya terka pastor akan menyergah seraya mengutip Injil perihal perumpamaan “domba yang hilang “ atau “dirham yang hilang”, bukan? Bahwa sorga akan lebih bersuka-cita kalau umat katolik yang berkelakuan “brengsek” itu bisa dipertobatkan—ketimbang repot mengurusi barisan umat “anak mami” yang tak memerlukan lagi pertobatan. Terserahlah kalau begitu. Artinya, kita berbeda pendapat, dan itu tak apa-apa juga, bukan?
Ada satu hal lagi, harap pastor jangan jadi tersinggung. Mutu umat sedikit banyak juga sangat tergantung pada mutu pastornya. Kita omong fair saja, ada banyak pastor yang memang harus dibilang tidak bermutu. Mereka membawakan misa seperti tanpa penghayatan, doa syukur agung didaraskan secepat kilat, ngebut macam pesawat jet F 16 , belum lagi khotbahnya tidak menggugah samasekali. Lha, kalau pastornya saja memble bagaimana umatnya tidak memble?
Menurut saya wajar dan sah saja kalau umat menuntut pastornya tampil “ekstra”. Umat itu tidak bodoh, pastor, jadi jangan pernah meremehkan mereka. Umat yang datang ke gereja mungkin sudah puyeng dan stres dengan tumpukan masalah sehari-hari. Mereka kepingin mendapatkan yang lain di gereja, mungkin sesuatu yang bisa membuat mereka tercerahkan. Sesuatu yang bisa mereka bawa sebagai bekal pulang, guna melanjutkan ziarah mereka di bumi yang kacau balau ini. Tapi kalau ternyata yang ditemuinya malah pastor-pastor yang menambah puyeng kepala mereka, siapa yang musti disalahkan dalam hal ini?
Ah, sebetulnya saya tak bermaksud menghakimi, tapi tak ada salahnya barangkali seorang pastor sekali-sekali menerima masukan semacam ini. Saya jadi ingat seloroh serius seorang pastor asal Flores yang pernah bilang bahwa “memang banyak pastor yang harus dinjili lagi”, diisi ulang lagi baterenya. Mungkin beliau benar, kan pastor juga manusia biasa saja, sama seperti umat-umat “brengsek” itu, sama dengan saya, dan kita semua.
No comments:
Post a Comment