SABTU, 27 Juli 1996. Cuaca cerah saat itu. Tanpa firasat apa pun saya meluncur dari kediaman saya di Bekasi menuju Kwitang Senen. Tujuan saya adalah toko buku Gunung Agung. Sewaktu melewati pertigaan Salemba saya lihat jalanan menuju Diponegoro lengang. Rupanya memang sengaja ditutup. Ada seorang cewek bule mondar-mandir di dekat lampu merah itu. Mungkin seorang wartawati asing, pikir saya.
Saya teruskan perjalanan ke Senen seperti rencana semula. Cukup lama saya berada di toko buku. Lepas tengah hari baru saya pulang, dan kembali melewati pertigaan Salemba. Masih seperti suasana paginya, tertutup dan lengang. Masih tak ada firasat apa-apa yang mengusik saya. Tapi saya tak langsung pulang, malah saya mampir dulu ke toko buku Gramedia di Matraman.
Sewaktu asyik berkeliling di toko buku itu, entah mengapa saya terdorong untuk melangkah ke arah jendela toko di lantai dua. Jendela itu mengarah ke jalan Diponegoro. Saya berdiri di situ beberapa lama, seraya berpikir-pikir seperti apa ya suasana di depan kantor parpol itu. Mendadak saya melihat kepulan asap hitam dari arah jalan Diponegoro. Pada saat itu saya dengan naifnya masih berpikir bahwa itu asap kebakaran biasa.
Beberapa pengunjung toko lain rupanya melihat juga kepulan asap hitam itu, lantas jendela itu jadi penuh dirubung orang. Komentar dan celutukan bermunculan. Seorang cewek dengan bersemangat bertutur bahwa sudah sejak subuh kantor parpol dengan lambang kepala banteng itu diserbu, “banyak yang mati”, katanya berapi-api. Dan satpam toko itu bilang, “perang kok sama bangsa sendiri”.
Baru saat itu saya ngeh, bahwa sesuatu yang hebat sedang berlangsung. Saya langsung pulang, membeli koran sore yang ternyata sudah mengabarkan kejadian itu—tapi tentu hanya sebatas kulitnya. Kabar-kabar lebih seram saya terima lewat selebaran gelap internet. Diceritakan antara lain bagaimana tentara dengan beringas menguber-uber massa demonstran, dan menghajar bahkan mereka yang sudah berhasil sembunyi di toilet Taman Ismail Marzuki.
Kini horor yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa 27 Juli” sudah berlalu 12 tahun. Tidak pernah menjadi jelas apa yang sebetulnya terjadi saat itu. Megawati, yang ketika itu sempat dianggap sebagai “ikon” yang menyuarakan perlawanan ternyata juga tak pernah mengurusi masalah ini. Mungkin dia pun, seperti yang lainnya, merasa “jeri” kalau harus berurusan dengan kelompok militer.
Saya teruskan perjalanan ke Senen seperti rencana semula. Cukup lama saya berada di toko buku. Lepas tengah hari baru saya pulang, dan kembali melewati pertigaan Salemba. Masih seperti suasana paginya, tertutup dan lengang. Masih tak ada firasat apa-apa yang mengusik saya. Tapi saya tak langsung pulang, malah saya mampir dulu ke toko buku Gramedia di Matraman.
Sewaktu asyik berkeliling di toko buku itu, entah mengapa saya terdorong untuk melangkah ke arah jendela toko di lantai dua. Jendela itu mengarah ke jalan Diponegoro. Saya berdiri di situ beberapa lama, seraya berpikir-pikir seperti apa ya suasana di depan kantor parpol itu. Mendadak saya melihat kepulan asap hitam dari arah jalan Diponegoro. Pada saat itu saya dengan naifnya masih berpikir bahwa itu asap kebakaran biasa.
Beberapa pengunjung toko lain rupanya melihat juga kepulan asap hitam itu, lantas jendela itu jadi penuh dirubung orang. Komentar dan celutukan bermunculan. Seorang cewek dengan bersemangat bertutur bahwa sudah sejak subuh kantor parpol dengan lambang kepala banteng itu diserbu, “banyak yang mati”, katanya berapi-api. Dan satpam toko itu bilang, “perang kok sama bangsa sendiri”.
Baru saat itu saya ngeh, bahwa sesuatu yang hebat sedang berlangsung. Saya langsung pulang, membeli koran sore yang ternyata sudah mengabarkan kejadian itu—tapi tentu hanya sebatas kulitnya. Kabar-kabar lebih seram saya terima lewat selebaran gelap internet. Diceritakan antara lain bagaimana tentara dengan beringas menguber-uber massa demonstran, dan menghajar bahkan mereka yang sudah berhasil sembunyi di toilet Taman Ismail Marzuki.
Kini horor yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa 27 Juli” sudah berlalu 12 tahun. Tidak pernah menjadi jelas apa yang sebetulnya terjadi saat itu. Megawati, yang ketika itu sempat dianggap sebagai “ikon” yang menyuarakan perlawanan ternyata juga tak pernah mengurusi masalah ini. Mungkin dia pun, seperti yang lainnya, merasa “jeri” kalau harus berurusan dengan kelompok militer.
No comments:
Post a Comment