SEBUAH fenomena menarik muncul di pelataran politik negeri ini. Kini orang tak malu-malu lagi mencalonkan diri sebagai “calon presiden”. Mereka pun datang dari latar yang juga agak beragam, meski mayoritas masih didominasi mantan pejabat, atau pensiunan jenderal. Ada yang sudah stok lama, sebagian pendatang baru : Wiranto, Prabowo, Sutiyoso. Dari yang sipil tersebutlah misalnya nama-nama semisal Fajroel Rachman (aktivis), Ratna Sarumpaet (seniman), Rizal Malarangeng (pengamat politik) dan “jago lama” Yusril Ihza Mahendra.
Menarik untuk disimak sebetulnya mengapa sekarang kok banyak bener orang yang pada “berani malu” mencalonkan diri jadi “calon presiden”—hal yang belum terbayangkan bahkan sampai Pemilu paling akhir (2004) kemarin, meski embrionya sudah muncul kala itu.Terus terang saya tak paham, apakah gejala ini pantas disambut dengan gembira, atau sebaliknya malah menambah alasan kita untuk skeptis.
Mungkin untuk adilnya kita kudu melihatnya dari dua sisi. Kabar gembira karena nama-nama baru itu bagaimanapun sudah berhasil memecahkan kebekuan dari anggapan yang selama ini bercokol di benak bahwa calon pemimpin kita dari waktu ke waktu hanya “beberapa orang tua” yang itu-itu saja. .
Kabar buruknya adalah membludaknya pelamar untuk jabatan R1 itu memberi kesan bahwa menjadi presiden adalah urusan “gampang”. Kita tahu belaka republik ini sedang dalam kondisi teramat sulit, maka timbul pertanyaan wajar apakah para pelamar itu sungguh punya tawaran solusi yang pantas dibela? Semestinya begitu, tapi pagi-pagi kita sudah bisa menakar kapasitas para pelamar yang ada. Kalau mau jujur kita pun hanya bisa geleng-geleng : yang begini kok mau jadi presiden …
Tapi barangkali itulah indahnya (dan mahalnya) demokrasi. Panggung menjadi terbuka untuk dimasuki siapa saja. Para pelamar yang serius harus rela bersaing dulu dengan sejumlah badut dan petualang yang cuma iseng doang. Tak mengapa. Kelak pada saatnya, dewan jurilah, yakni publik—yang dari ke hari semogalah semakin jeli menilai—yang akan memastikan nasib mereka. Santai saja.
Menarik untuk disimak sebetulnya mengapa sekarang kok banyak bener orang yang pada “berani malu” mencalonkan diri jadi “calon presiden”—hal yang belum terbayangkan bahkan sampai Pemilu paling akhir (2004) kemarin, meski embrionya sudah muncul kala itu.Terus terang saya tak paham, apakah gejala ini pantas disambut dengan gembira, atau sebaliknya malah menambah alasan kita untuk skeptis.
Mungkin untuk adilnya kita kudu melihatnya dari dua sisi. Kabar gembira karena nama-nama baru itu bagaimanapun sudah berhasil memecahkan kebekuan dari anggapan yang selama ini bercokol di benak bahwa calon pemimpin kita dari waktu ke waktu hanya “beberapa orang tua” yang itu-itu saja. .
Kabar buruknya adalah membludaknya pelamar untuk jabatan R1 itu memberi kesan bahwa menjadi presiden adalah urusan “gampang”. Kita tahu belaka republik ini sedang dalam kondisi teramat sulit, maka timbul pertanyaan wajar apakah para pelamar itu sungguh punya tawaran solusi yang pantas dibela? Semestinya begitu, tapi pagi-pagi kita sudah bisa menakar kapasitas para pelamar yang ada. Kalau mau jujur kita pun hanya bisa geleng-geleng : yang begini kok mau jadi presiden …
Tapi barangkali itulah indahnya (dan mahalnya) demokrasi. Panggung menjadi terbuka untuk dimasuki siapa saja. Para pelamar yang serius harus rela bersaing dulu dengan sejumlah badut dan petualang yang cuma iseng doang. Tak mengapa. Kelak pada saatnya, dewan jurilah, yakni publik—yang dari ke hari semogalah semakin jeli menilai—yang akan memastikan nasib mereka. Santai saja.
No comments:
Post a Comment