19 November 2008

Adam yang "Sexi", Pertanyaan Anak Saya

“Adam itu seksi ya, nggak pake baju lagi”, celutuk anak saya belum lama ini. Dengan kalem saya mencoba membantahnya. “Adam pasti pake baju, kalau nggak pake nanti masuk angin dong”. Tapi dia tak mau kalah, diangsurkannya buku pelajaran agama dari sekolahnya. “Lihat aja ini gambarnya, nggak pake baju kan”, katanya. Saya juga tidak menyerah begitu saja. “Adam pasti pake baju, yang di gambar itu baru mandi barangkali”. Tapi dia tertawa mendengar jawaban itu. “Baru mandi? Mandinya di kali ya, jorok dong …” Saya tak mencoba lagi membantah atau memperpanjang obrolan kami itu.

Seperti anak saya yang kelas 3 SD itu, ada banyak sekali orang yang sungguh percaya bahwa kisah Adam dan Hawa di Firdaus adalah sebuah kejadian nyata. Para fundamentalis dan barisan panjang pengikutnya terlalu takut (atau malas) untuk membaca dan mencari yang “tersirat” di belakang yang tersurat. Mereka membaca kitab suci bak memelototi kitab sejarah, dan meyakininya mentah-mentah sebagaimana tertulis di sana. Setiap huruf dan noktah dalam buku itu haram untuk dipersoalkan.

Tapi studi kitab suci modern mengajar dan berhasil membuktikan bahwa teks-teks yang dipandang suci itu sebetulnya juga sebuah produk sejarah yang tak bisa dilepaskan dari konteks budaya-tempat-waktu teks itu “diturunkan”. Karena sifatnya yang sedikit banyak “kontekstual” itu, bisa dan wajar jika ada teks yang tak lagi terasa “nyambung” dengan situasi hari ini. Maka supaya teks itu tidak menjadi mubazir perlu ada keberanian (dan kerelaan) untuk membacanya dalam semangat baru.

Kembali ke kisah Adam dan Hawa. Tafsir resmi gereja katolik mengajar bahwa kisah dua sejoli itu beserta sejumlah cerita ikutannya harus dipahami seperti kita membaca mitos. Di dalam mitos bukan kebenaran faktual atau historis yang dipentingkan, melainkan pesan moralnya. Seperti kalau kita membaca dongeng “Kancil dan Buaya”, yang penting di sana bukan soal “apakah betul kancil bisa ngobrol dengan buaya”, tetapi pesan bahwa “kekuatan” (buaya) bisa diatasi oleh “kecerdikan” (kancil).

Para pakar Alkitab katolik sampai pada kesimpulan bahwa sejarah keberadaan manusia hanya bisa terlacak sampai pada zaman Abraham (Ibrahim). Segala hal yang terjadi pada masa pra Abraham sesungguhnya gelap adanya. Dan asal muasal penciptaan dengan demikian tetap tinggal sebagai misteri, yang hanya diketahui ‘apa-bagaimana’nya oleh Sang Khalik sendiri.

Kisah Adam dan Hawa sebetulnya modifikasi dari sebuah dongeng (amat) tua Babilonia. Dongeng itu dicangkokkan oleh para guru Yahudi/Israel purba untuk “menyambung” mata rantai sejarah keselamatan manusia yang terputus jejaknya sampai periode Abraham. Dengan ditambahkannya kisah firdaus mata rantai yang terputus itu sekarang menjadi “lengkap” : semesta memiliki titik awal, dan titik awal itu Allah adanya. Itulah pesan kunci yang mau disampaikan kisah Firdaus—lain-lainnya hanya pelengkap, bumbu, mungkin juga sekadar ornamen.

Jawaban seperti itulah yang mustinya saya sodorkan kepada anak saya, tetapi tentu itu tidak mungkin dilakukan. Bayangkan, ia masih 8 tahun, baru kelas 3 SD, dan seperti jutaan orang lainnya, ia pasti belum siap dan lebih suka tinggal terlelap dalam “kebutaan” teologis yang melenakan, seraya belajar merasa “aman” dan “cukup” dengan kualitas iman yang seperti itu. Mungkin untuk sepanjang hidupnya.

2 comments:

AdNoe SayS said...

Kebenaran teologis memang sulit di pahami,lebih tepatnya siapa yang "benar-benar" tahu kebenarannya selain para pelaku sendiri.
Kebenaran banyak dimediasikan, lalu semakin dimediasikan semakin bertumpuk, tak jelas dimana benang merahnya.
saya suka tulisan anda,jujur saja sangat sederhana tapi menarik...
jadi teringat tulisan umar kayam yang sering saya baca ;)

(saya sebenarnya memilih untuk tidak beragama dulu, tapi kan ini negara pancasila...nanti malah di cap komunis. Memahami ajaran teologis kadang memang butuh waktu,objektif dan peresapan mendalam.Bukan dari dogma2 yang ada sejak kita di lahirkan..bukan begitu?! )

Ook Nugroho said...

Terima kasih untuk kunjungan & komentarnya.

Saya pun baru memutuskan "masuk agama"? Umut 41! Sebelumnya saya "gelandangan" saja, mampir-makan-minum di sembarang "kedai" yang saya suka.

Akhirnya saya nyerah, tapi kesukaan saya hidup "menggelandang" tidak bisa mati sepenuhnya, seperti mungkin terlihat dari sejumlah tulisan saya?

Salam

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...